Lebih Dekat Pondok Tremas, Tradisi 'Naun' Lahirkan Dokter hingga Ulama Besar

Pondok pesantren Tremas (Halopacitan/Dias Lusiamala)

Pacitan, Balinesia.id - Pondok Pesantren Tremas di Kabupaten Pacitan Jawa Timur memiliki tradisi kuat yang disebut "Naun' di mana santri tidak boleh pulang selama tiga tahun untuk mendalami ilmu agama. Berkat tradisi Naun Pesantran Tremas telah melahirkan tokoh-tokoh besar mulai yang berprofesi sebagai dokter pengusaha hingga ulama atau kyai.

Ada sebuah tradisi di Ponpes Tremas yang bernama “Naun” yaitu tinggal di pondok selama 3 tahun berturut-turut tidak pulang sama sekali.

Tradisi ini dimaksudkan sebagai tradisi mengalap berkah, supaya dimudahkan dalam belajar, rizki dan hal baik lainnya. Rata-rata hampir semua santri sudah pernah mencicipi tradisi naun tersebut.

Aktivitas di pondok setiap harinya ada kelas belajar mengajar, karena jumlah murid yang banyak, kelas dibagi menjadi dua kelas.

Kelas pagi untuk santriwati MA, sedangkan kelas sore untuk santriwati MTs. Selain kelas belajar mengajar, ada juga ekstrakulikuler seperti baca qiro’ (melagukan bacaan quran), nasyid / hadrah, dan bulutangkis. Prestasi yang terakhir kali dicapai, menjadi juara umum porseni di Pacitan.

Lulusan dari Ponpes Tremas banyak yang sukses kembali di kota asalnya. Contohnya pendiri Pondok Lirboyo Kediri salah satunya adalah lulusan Ponpes Tremas. Sama halnya dengan pendiri Pondok Al Fatih Temboro pun didirikan oleh alumni Ponpes Tremas.

“Alhamdulillah banyak alumni yang sudah jadi orang atau sukses lulus dari sini, ada yang jadi dokter, perawat, guru. Bahkan pendiri Pondok Lirboyo Kediri. Pendiri Pondok Al-Fatih Temboro alumni sini mbak,” ,tutur Titik Diansari (25) warga asli Pekalongan alumni Ponpes Tremas, yang juga menjabat sebagai guru dan pengurus sekretariat putri pondok.

Pondok pesantren Tremas merupakna salah satu perguruan Islam tertua di Indonesia. Dari tempat ini telah lahir ulama-ulama besar yang berjasa dalam pengembangan Islam di bumi Nusantara.

Pondok yang sekarang berada di Jalan Patrem No.21 Tremas Arjosari ini didirikan pada 1830 atau hampir dua abad yang lalu. Jauh lebih tua dari negara Indonesia itu sendiri.

 

Aktivitas santri putri/Dias Lusiamala

Sejarah berdirinya Perguruan Islam “Pondok Tremas” Pacitan tidak lepas dari sejarah pendirinya yaitu KH Abdul Mannan putra R. Ngabehi Dipomenggolo seorang Demang di daerah Semanten pinggiran kota Pacitan.

Dikutip dari pondoktremas.com, KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso dan terkenal cerdas serta tertarik terhadap problematika religius. Pada masa remajanya dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari.

Selama mondok Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunan, kerajinan dan kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso dalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya.

Setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu, dia pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok Tegalsari sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang datang mengaji.

Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah dia menikah dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.

 

Tempat pendidikan/Dias Luiamala

Berdasarkan pertimbangan itulah maka Bagus Darso kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “.

Tremas sendiri berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan Mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita.

Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah Raja Keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.

 

Pembagian seragam untuk santri putri/Dias Lusiamala

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan).

Maka dari itu setelah meminta izin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.

Seiring waktu Pondok Tremas terus berkembang. Jenjang pendidikan di pondok ini mulai TK hingga MA serta Ma’had Ali (setara dengan universitas). Mata pelajaran yang diajarkan mengedepankan tentang agama, seperti fiqih, hadits, nahwu saraf (bahasa arab), dan pelajaran agama lainnya.

 

Kompleks pondok pesantren/Dias Lusiamala

Pelajaran umum disini hanya yang diajarkan pelajaran dasar saja. Jika dibuat perbandingan, pelajaran agama 90% dan pejalaran umum 10%.

Apabila ada calon santri lulusan dari SD umum (bukan dari Ponpes Tremas) maka ada yang namanya masa transisi atau persiapan kelas selama 1 tahun, untuk belajar bahasa arab membaca nulis, sebelum masuk ke jenjang MTs di pondok. Jika lulusan dari SMP umum pun juga sama bedanya hanya lama waktunya, untuk jenjang ini butuh 2 tahun masa persiapannya.

Jika hendak menimba ilmu di Pondok Pesantren Tremas bisa langsung ke sekretariat pondok yang letaknya berada di depan Masjid Tremas. (roh) ***

 

Tulisan ini telah tayang di halopacitan.com oleh Dias Lusiamala pada 08 Feb 2022 

Editor: Rohmat
Bagikan

Related Stories