Kinerja Koperasi dan Catatan bagi Revisi UU Perkoperasian

ilustrasi (Image by Freepik)

Dukungan atas mendesaknya (urgent) revisi Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian telah diberikan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). Kepastian itu telah dinyatakan kepada publik oleh Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi, di Jakarta, pada Hari Selasa, 26 September 2023 terkait Surat Presiden (Surpres) kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terkait revisi UU tersebut. 

Meskipun, sangat disayangkan bahwa status revisi UU 25/1992 tersebut bersifat kumulatif terbuka, yaitu tidak termasuk dalam agenda Prolegnas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Artinya, pemerintah sebagai lembaga tinggi eksekutif negara telah memberikan komitmen yang serius atas gerakan pro ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), tinggal menunggu keseriusan lembaga tinggi negara legislatifnya. 

Alasan revisi UU Perkoperasian memang sangat masuk akal (logis) dan faktual, yaitu UU No. 25/1992 telah berusia senja, lebih dari 30 tahun, tidak relevan lagi dan semakin tumbuhnya jumlah koperasi di Indonesia. Publik berharap, para anggota DPR RI tidak menunggu protes yang massif atas kemendesakan (urgency) revisi UU 25/1992 ini sehingga segera memasukkannya dalam daftar prioritas Program legislasi nasional (Prolegnas).

Kontribusi Ekonomi
Secara data faktual, selama tahun 2022, jumlah Koperasi aktif di Indonesia berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) telah berjumlah 130.354 unit. Jumlah unit ini telah berhasil membukukan volume usaha sejumlah Rp197,88 triliun atau sebesar 1% lebih atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Jumlah volume usaha tersebut meningkat sebesar 1,96% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sejumlah 127.846 unit dengan jumlah volume usaha Rp182,35 triliun. Terdapat peningkatan jumlah Koperasi yang berbanding lurus dengan peningkatan jumlah volume usaha, semakin menegaskan kesegeraan penataan UU Perkoperasian agar lebih mampu meningkatkan kontribusinya secara sektoral dalam perekonomian nasional.

Selain itu, data Kemenkop UKM juga menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan daerah dengan jumlah koperasi paling banyak di Indonesia. Data ini menunjukkan adanya ketiimpangan kontribusi sekaligus partisipasi jika dibandingkan daerah lain jumlah koperasinya lebih kecil. 

Secara geografis, jumlah Koperasi terbanyak diurutan pertama terdapat di Provinsi Jawa Barat, yaitu berjumlah 16.000 unit. Diurutan kedua,  terdapat di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah koperasi mencapai 14.000 unit. Artinya, kontribusi jumlah unit koperasi dan volume usahanya juga didominasi oleh kedua wilayah tersebut, yaitu sebesar hampir 30 persen.

Tentu menjadi pertanyaan publik, mengapa Koperasi tidak tumbuh menjadi kekuatan penggerak ekonomi di daerah-daerah luar Pulau Jawa? Apakah mungkin ketidaktertarikan masyarakat pada badan usaha ini lebih banyak disebabkan oleh adanya kasus-kasus hukum terkait jenis Koperasi Simpan Pinjam yang massif atau karena peraturan (regulasi) yang mempersulit pertumbuhannya. 

Oleh karena itu, alasan kinerja dan kontribusi Koperasi menjadi faktor mendesak pentingnya revisi UU Perkoperasian diagendakan menjadi Prolegnas prioritas oleh  DPR RI. Apabila kinerja ekonomi Koperasi ditambahkan dengan skala UMKM, maka total kontribusinya terhadap PDB adalah 65 persen, lebih besar daripada sumbangan korporasi swasta tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ketidakacuhan DPR RI atas kinerja kontributif Koperasi justru akan menjadi bumerang para anggota DPR RI saat ini dan calon-calon legislatif pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Apalagi pada ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 jelas dinyatakan, bahwa: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan", bukan perekonomian orang per orang atau sekelompok oranglah yang diutamakan! 

Tindakan ini jelas merupakan penyimpangan atas mandat konstitusi ekonomi dan mengabaikan perasaan mayoritas warga bangsa. Semoga menjadi perhatian serius para anggota DPR RI yang terhormat! (*)
 

*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 


Related Stories