Efektivitas Struktur Organisasi BUMN

Menteri BUMN, Erick Thohir saat melakukan tinjauan ke "Kawasan Ekonomi Khusus” untuk melihat progress perkembangan KEK Sanur menjelang Soft Opening kawasan tersebut, Kamis 6 Juli 2023. (Balinesia)

Setelah kebijakan holding-sub holding dijalankan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap perusahaan negara, memang banyak capaian kinerja yang telah diraih. Namun begitu, menilai capaian kinerja BUMN hanya dari aspek keuangan ansich tentu juga tidak wajar dan obyektif. Kenapa demikian, tidak lain karena BUMN sangat berbeda dengan perusahaan atau korporasi swasta pada umumnya.

BUMN, dalam operasionalnya harus berpedoman pada tidak saja ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN (UU 19/2003) tetapi juga UU  17 tahun 2003 Keuangan Negara serta UU sektoral terkait bisnis intinya (core business). 

Sementara, korporasi swasta terkait organisasinya hanya diatur oleh UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan tidak ada kewajiban penugasan publik atau lebih lentur (fleksibel) terhadap berbagai perubahan kebijakan dan perkembangan pasar.

Selain ketentuan normatif ini, BUMN juga masih dijejali tugas tambahan yang tidak dibebankan kepada korporasi swasta secara berlebihan, diantaranya tanggap cepat dan darurat (force majeur) pada saat musibah atau bencana alam, kejadian luar biasa (seperti pandemi Covid19) dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan/TJSL (Corporate Social Responsibility/CSR). 

Maka, dengan berbagai kewajiban dan tanggungjawab publik itu, semestinya struktur organisasi BUMN pada jajaran Dewan Direksi dan Dewan Komisaris seharusnya tidak boleh lebih dari 5 personalia.

Sebagai contoh, jumlah jajaran Direksi Pertamina 6 orang dan Komisaris berjumlah 7 orang, PLN Dewan Direksinya berjumlah 10 orang dan Dewan Komisaris sejumlah 10 orang. 

Begitu pula halnya yang terjadi pada Anak Perusahaan (AP) yang saat menjadi sub holding dan menurut Putusan MK bukanlah BUMN menjadi besar peluang sesuka hati dalam menetapkan jumlah personalia. Konsekuensi jumlah dewan manajemen yang tidak standar ini jelas tindakan pemborosan dan bertentangan dengan tujuan efisiensi dan efektifitas perusahaan, apalagi jika dibandingkan dengan struktur organisasi korporasi swasta yang ramping.

Oleh karena itu, tujuan efisiensi dan efektivitas BUMN atau korporasi hanya akan bisa tercapai kalau jajaran direksi dan komisarisnya lebih ramping, bukan jadi kepentingan ajang bagi-bagi jabatan sebagai imbal jasa dukungan politik pada pemerintahan. 

Bahkan, disinyalir Menteri BUMN Erick Tohir menetapkan sebuah kebijakan yang mengatur komposisi direksi dan komisaris serta jabatan struktural BUMN dengan keharusan porsional, yaitu 30 persen untuk kelompok perempuan, 30 persen kelompok millenial. Apa dasar Menteri BUMN menetapkan kebijakan ini dan mengabaikan aspek-aspek umum manajerial dan kinerja karyawan yang telah mengabdi bertahun-tahun?

Kewenangan Menteri BUMN meskipun leluasa diberikan oleh Pasal 14, UU 19/2003 tetapi tidak bisa menjadi justifikasi menetapkan jumlah jajaran direksi dan komisaris semau gue. 

Standarisasi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris BUMN harus ditetapkan tidak hanya didasarkan pada rentang kendali perusahaan, tapi juga kemampuan keuangannya agar efisiensi dan efektifitas perusahaan tidak hanya menjadi beban karyawan. Revisi UU BUMN sangat mendesak dilakukan oleh DPR dan Presiden jika tidak ingin BUMN mengalami kebangkrutan dengan modus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).   *

* Defiyan Cori,  Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Rohmat

Related Stories