Kemendes Memaksakan UPK Menjadi Bumdesma Melalui PP Nomor 11 Tahun 2021

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Kebijakan yang diambil oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), khususnya Pasal 73 tidak saja ahistoris tapi jelas memaksakan kehendak dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Terlebih hal itu ditindaklanjuti oleh Menteri Desa dan PDTT melalui surat tertanggal 11 Februari 2021 pada urutan nomor 1 yang menyatakan kata wajib bagi pengelola kegiatan Dana Bergulir Masyarakat (DBM) eks Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) untuk membentuk Bumdes Bersama (Bumdesma) jelas tidak memahami aturan yang lebih tinggi diatas PP 11/2021 ini.

Kesalahan pemahaman (misleading) Mendes dan PDTT ini tidak hanya terjadi dalam kebijakan memaksakan Unit Pengelola Kegiatan (UPK) eks PNPM-MPd menjadi Bumdesma ini, sebelumnya Mendes dan PDTT Halim Iskandar juga akan melakukan transformasi UPK ini menjadi Lembaga Keuangan Desa (LKD). Menurut Menteri Desa dan PDTT Abdul Halim Iskandar rencana tersebut telah dibahas dengan Ketua OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Gubernur Jawa Timur sebagai lokasi pencanangan pendirian Lembaga Keuangan Desa (LKD) yang disampaikan dalam konferensi pers virtual dari Jawa Timur, pada Hari Rabu, tanggal 21 Oktober 2020 lalu.

Terdapat sesat pikir Mendes Halim Iskandar dalam pembuatan PP No.11/2021 tersebut dan bisa mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), bahkan penyimpangan konstitusi dan hukum (abuse of constitution and law), setidaknya pada 2 (dua) aspek, yaitu latar belakang kedua program pemerintah dan ketentuan perUndang-Undangan serta peraturan terkait lainnya. Secara umum, Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang merupakan lembaga pengelola dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) eks PNPM di Indonesia sampai Tahun 2020 sekitar 5.300 unit. Sementara, jumlah kecamatan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2019 adalah 7.252, seharusnya jumlah UPK kurang lebih sama dengan jumlah kecamatan terdata, tidak termasuk wilayah perkotaan.

Sementara itu, latar belakang kehadiran Bumdes yang saat ini dikelola sebagai program oleh Kemendes dan PDTT diinisiasi oleh kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lalu, muncullah kemudian permasalahan legalitas atau keberadaan secara hukum kedua lembaga yang telah dibangun oleh pemerintah ini yang dapat menimbulkan friksi atau konflik ditengah masyarakat atas perbedaan tafsir pemangku kebijakan (stakeholders).

Perbedaan Paradigmatik
Secara hukum, memang sampai saat ini, UPK yang telah terbentuk tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang kuat dan jelas, sebab PNPM yang diinisiasi awalnya sebagai program penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dengan nama Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di perdesaan telah membangun kelembagaan masyarakat, salah satunya adalah UPK. Berdasarkan data Asosiasi UPK Negara Kesatuan Republik Indonesia (AUPK-NKRI) sampai Tahun 2019 UPK telah mengelola total dana bergulir masyarakat sejumlah kurang lebih Rp12,7 Triliun, dengan nilai harta kekayaan (asset) berjumlah Rp594 Miliar (jumlah ini perlu konfirmasi karena terlalu kecil) di seluruh Indonesia.

Atas data dan informasi itu, sebagai pembanding saja, mengacu pada data Asosiasi UPK-NKRI Provinsi Sumatera Barat harta kekayaan ex PNPM pada Tahun 2020 totalnya berjumlah Rp800 Miliar. Tidak itu saja, untuk memastikan PPK/PNPM berjalan sesuai ketentuan yang dibuat oleh pemerintah saat itu melalui dokumen Pedoman Umum (Pedum) dan Petunjuk Teknis Operasional (PTO), maka proses dan mekanisme program dilaksanakan melalui pendampingan oleh tenaga konsultan/fasilitator profesional yang diseleksi secara ketat sesuai persyaratan kualifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah di masing-masing lokasi sasaran.

Menteri Desa dan PDTT lalu berargumentasi, bahwa dengan adanya pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yang di dalam pasal 177 UU tersebut menetapkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sebagai badan hukum. Kemudian mengambil tafsir sepihak dalam menindaklanjuti diskusi bersama OJK dengan berupaya mentransformasikan UPK eks PNPM tersebut menjadi LKD atau Bumdesma dengan alasan menyelamatkan dana bergulir yang berjumlah Rp12,7 Triliun agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan warga masyarakat desa yang miskin. Benar dan tepatkah langkah atau kebijakan Kemendes dan PDTT itu dalam perspektif inisiasi PPK/PNMN sejak Tahun 1998 yang juga merupakan program pemerintah? Pernyataan Mendes Halim Iskandar jelas sebuah tindakan sepihak dan tidak mempertimbangkan apalagi memperhitungkan segala potensi yang telah dikeluarkan oleh masyarakat lokasi sasaran semenjak awal program sampai berakhirnya pendampingan oleh tenaga konsultan/fasilitator PNPM dengan adanya serah terima program kepada Pemerintah Daerah (Pemda) pada Tahun 2014.

Selanjutnya, paradigma PPK/PNPM berbeda secara diametral dengan Bumdes yang merupakan kelembagaan usaha dengan alokasi bantuan dari dana desa. Sedan PPK/PNPM merupakan program penanggulangan kemiskinan yangmana isu dan permasalahan ekonomi-sosialnya telah muncul pada Tahun 1972 serta telah diatasi oleh Pemerintah dengan berbagai proyek dan program (crash program). Namun, penanggulangan kemiskinan yang berdasarkan pada (poverty alleviation based on community development) Pemberdayaan Masyarakat tahap inisiasinya telah mulai dilakukan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) pada Tahun 1994 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Dan, ketika Indonesia pada Tahun 1998 kembali mengalami krisis ekonomi dan politik, yang berdampak pada meluasnya cakupan masalah kemiskinan di wilayah Indonesia, maka Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang suatu program penanggulangan kemiskinan lebih komprehensif dengan pendekatan pembangunan partisipatif.

Dengan dasar ini pula, maka Pemerintah merancang Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan di Perdesaan (PPK) yang dimulai pada Tahun 1998. Terdapat beberapa perubahan model program penanggulangan kemiskinan yang telah lebih awal dilakukan oleh IDT dan P3DT, yaitu dari program cepat (crash program) menjadi pemberdayaan masyarakat berdasar pada komunitas (empowering based on community development). Sistem dan mekanisme program ini juga dirancang berdasarkan keberpihakan yang lebih terseleksi dengan menggunakan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pedoman Umum (Pedum) dan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) masing-masing program. PPK kemudian memberi akronim pada prinsip-prinsip program tersebut dengan sebutan SIKOMPAK (transparanSI, Keberpihakan pada Orang miskin, deMokrasi, Partisipasi, Akuntabilitas, dan Keberlanjutan).

Pusat pengelolaan program dalam pengambilan keputusan akhir alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) juga berbeda, yaitu di kelurahan untuk P2KP dan kecamatan bagi PPK dengan pola partisipasi dimulai dari tingkat terendah wilayah masing-masing. Ciri yang menonjol dari P2KP dan PPK sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah pengelolaan dana BLM yang merupakan hibah dari Pemerintah ini dilakukan secara kelembagaan dengan memfasilitasi proses dan tahapan usulan pembentukan organisasi atau lembaga serta alokasi kegiatan (proyek) yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat melalui proses musyawarah di Kelurahan untuk P2KP dan Kecamatan untuk PPK, yaitu Musyawarah Antar Desa (MAD) sebagai fungsi legislasi dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK) sebagai fungsi ekseskusi (manajemen). Inilah proses terbentuknya UPK dalam perspektif pengelolaan keuangan dana BLM yang telah dihibahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah (Pemda) pada Tahun 2014.

Pasca Alih Kelola Program
Pergantian atau estafet kepemimpinan pemerintahan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko Widodo ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan hadirnya Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai kementerian teknis yang berfungsi mengelola program pembangunan di perdesaan. Berbeda dengan PPK dan atau PNPM, maka sasaran wilayah dan alokasi dana desa mengacu pada UU Desa ini berubah dari Kecamatan menjadi Desa serta BLM menjadi Dana Alokasi Desa atau Dana Desa yang langsung ke Pemerintahan Desa.

Pertanyaan mendasarnya adalah, bagaimana dengan eksistensi kelembagaan PNPM yang di dalamnya terdapat UPK secara hukum pasca berakhirnya pendampingan program dan kehadiran serta posisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) ataupun BUMDES Bersama yang diinisiasi oleh Kementerian Desa dan PDTT dengan menerbitkan PP No.11 Tahun 2021, Pasal 73 dan Peraturan Menteri Desa lainnya dengan mengganti kelembagaan masyarakat menjadi LKD atau Bumdesma?

Lebih jauh dari itu, sekalipun Mendes PDTT mengklaim pembentukan LKD merupakan aspirasi dari para pengelola UPK eks PNPM disebabkan alasan legalitas UPK dalam situasi yang tidak jelas, bukan berarti pilihan kebijakannya dapat dibenarkan serta merta sah secara hukum dan mengabaikan peraturan pemerintah yang lainnya. Apalagi menggunakan istilah lembaga keuangan desa, dengan merujuk pada  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dengan kegiatan usaha LKM meliputi 3 (tiga) hal, yaitu penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, dan pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha.

Mendasarkan pada UU LKM ini, justru telah mengkerdilkan peran dan fungsi kelembagaan UPK itu sendiri dengan membatasi pada perputaran dana simpan pinjam yang identik dengan pola dan mekanisme perbankan. Tidak hanya itu, bagaimana halnya dengan UU lain yang juga secara legal menjadi diskresi daerah setelah alih kelola program, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan juga pada Undang-undang No. 23 Tahun 2014 sebagai acuan kebijakan otonomi daerah dengan tujuan agar pemerintah daerah dapat memajukan daerah melalui berbagai potensi yang ada didaerah masing-masing sehingga dapat mensejahterakan masyarakat.

Disamping itu, sebagai sebuah sistem, maka proses dan mekanisme di MAD dan UPK merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 untuk membangun perekonomian sebagai Usaha Bersama berdasar azas kekeluargaan (musyawarah) di tingkat desa dan kecamatan. Jika proses dan mekanisme ini diintervensi oleh kehadiran BUMDES dan atau diakuisi menjadi BUMDES Bersama melalui kewenangan Kemendes sepihak atau bahkan menjadikannya sebagai LKD , maka tindakan ini tidak saja ahistoris terhadap program, melainkan pelanggaran terhadap konstitusi.

Selayaknya eksistensi MAD dan UPK harus diformulasikan dalam bentuk kebijakan yang lebih akomodatif atas keberlanjutan pemberdayaan masyarakat pasca alih kelola PNPM melalui kebijakan yang tidak didasarkan pada kapitalisasi modal dana BLM yang telah dihibahkan itu. Apalagi porsi perhatian pemerintah telah berkurang dalam pembinaan setelah alih kelola program dan tidak adanya program pendampingan yang berkelanjutan, sementara dana hibah BLM itu telah dipergulirkan secara mandiri oleh UPK dan berkembang pesat. Artinya, dana hibah BLM itu tidak saja bagian dari alokasi yang diserahkan pemerintah, namun juga merupakan dana pinjaman masyakarat itu sendiri, bagaimana mungkin dana ini diklaim hanya milik pemerintah atau Kemendes PDTT?

Secara logis, semestinya UPK yang pengelolaannya berpusat di kecamatan dapat menjadi induk BUMDES sebagai lembaga eksekusi dan akumulasi modal, sedangkan operasinya tetap pada masing-masing wilayah. MAD melalui UPK dapat saja mengambil keputusan membentuk kelembagaan tersendiri sesuai kearifan lokal (local contents) di luar BUMDES apabila ada usulan dari masing-masing dalam wilayah kecamatan dan menjadi keputusan bersama yang disepakati dalam Musyawarah Antar Desa (MAD). UPK, dalam konteks ini dapat menjadi embrio lembaga pembiayaan pemberdayaan masyarakat antar desa yang terap menjalankan mekanisme dan prinsip SIKOMPAK. Terkait harta kekayaan (asset) desa dan antar desa, maka Kemendes PDTT juga harus mengacu pada ketentuan Kementerian Dalam Negeri yang tertuang pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur harta kekayaan (asset) desa dan Permendagri Nomor 96 Tahun 2017 tentang Kerjasama Antar Desa.

Kelembagaan UPK bisa saja akan berbeda di masing-masing kecamatan, walau proses, mekanisme dan prinsip-prinsip pengelolaannya tetap mengacu pada UU Desa memerlukan amandemen tersebut, atau bisa saja UPK menjadi UNIT PEMBIAYAAN KOMUNITAS. UPK ini merupakan salah satu organisasi yang sejalan dengan pelaksanaan Ekonomi Konstitusi selain Koperasi yang merupakan Usaha Bersama dengan berbasis keanggotaan. Perbedaan basis keanggotaan UPK dan Koperasi adalah, pada komunitas dan yang lainnya adalah pribadi (personal) yang membentuk kelompok atau organisasi sesuai kebutuhan atau kepentingan anggota (interest membership) atau dalam terminologi PNPM adalah Kelompok Usaha Ekonomi Produktif. Maka, inilah relevansi terbitnya payung hukum UPK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang DAPM (Perpres 2/2015). Perpres tersebut terdapat 3 (tiga) opsi payung hukum yang dapat diambil  bentuknya, yaitu Koperasi, Persatuan Terbatas (PT),dan Perkumpulan Berbadan Hukum (PBH).

Pilihan kebijakan yang lebih bijaksana dan secara komprehensif menata pelembagaan secara formal UPK sesuai UU yang mengikat serta Perpres 2/2015 itu juga perlu dipertimbangkan dalam kerangka kepemerintahan, tidak saja dalam perspektif kewenangan Kemendes PPDT.  Sebab, yang lebih utama adalah membuka akses dan kerjasama kelembagaan secara lebih luas dengan pihak lain diinternal pemerintahan sendiri dalam memberdayakan masyarakat miskin antar desa untuk tujuan kemandirian desa dan pada akhirnya adalah KEMANDIRIAN EKONOMI bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang terpenting bukanlah kapitalisasi dana perguliran dari modal hibah BLM, namun tersedianya dana masyarakat yang relatif cukup dan mudah diakses dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di desa dan antar desa/kecamatan, bukan mengubahnya menjadi lembaga kapitalisme berbentuk LKD. Ini sama saja halnya ibarat memutar kembali ujung menjadi pangkal,  menghadirkan bentuk baru "penjajahan ekonomi" masyakarat desa dan antar desa yang tidak sejalan dengan perintah konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945.

Tidak bisa pemerintah apalagi hanya Kemendes PDTT memerintahkan melalui kebijakan PP No.11/2021 tersebut  mengintervensi dana hibah yang telah dikelola masyarakat kecamatan atau antar desa. Apalagi melakukan transformasi UPK secara sepihak menjadi Bumdesma, bahkan kalaupun sistem dan mekanismenya diadopsi, justru semakin menggugurkan alasan logis membentuk Bumdes dan atau Bumdesma. Jangan sampai kebijakan Mendes Halim Iskandar atas Bumdesma ini ditengarai oleh berbagai pihak hanya untuk klaim politik jangka pendek menjelang Tahun 2024 sebab latar belakang sosoknya yang kerabat Ketua Umum salah satu partai politik. (*)

 

* Defiyan Cori,  Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri
 


Related Stories