Opini
Hapuskan Kompensasi Energi, Alokasikan Optimal untuk Subsidi
Apakah itu kompensasi energi yang disebutkan oleh pemerintah alokasi dananya sejumlah tertentu? Padahal selama ini publik hanya mengenal pengertian alokasi subsidi untuk kelompok masyarakat miskin tertentu? Layakkah kelompok penerima kompensasi energi dalam pengertian mandat konstitusi ekonomi dan sila ke-5 Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada Hari Senin, tanggal 18 April 2022, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memberikan keterangan kepada publik, bahwa kenaikan harga minyak dunia yang semakin tinggi akan berpotensi membuat subsidi energi membengkak. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kecenderungan harga minyak mentah dunia yang terus bergerak naik sejak bulan Januari 2022, dari US$88 per barrel ke level di atas US$103-105 per barrel pada pertengahan bulan Maret 2022.
Pada perdagangan 18 April 2022 saat Menteri ESDM menyampaikan penjelasan soal subsidi dan kompensasi energi tersebut, harga minyak mentah berjangka Brent telah berada di level US$113,02 per barrel, namun kembali turun ke harga US$103-104 per barrel pada tanggal 25 April 2022.
- BI Bali Proyeksikan Kebutuhan Uang Tunai Jelang Idul Fitri Rp1.524 Miliar
- Tokocrypto Bangun TokoVerse, Ekosistem Blockchain Pertama di Indonesia
- PT Gas Pertamina Dukung Festival Balkonjazz 2022 di Balkondes PGN Karangrejo
Menteri ESDM lalu berasumsi, apabila harga minyak dunia bertahan di level US$103-113 per dollar, maka pemerintah berisiko mengeluarkan tambahan alokasi dana untuk subsidi dan kompensasi BBM dan elpiji sejumlah Rp320 Triliun, dan jumlah ini belum termasuk untuk alokasi listrik. Sementara itu standar harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) telah mencapai per Maret 2022 mencapai US$98,4 per barrel, sedangkan dalam asumsi APBN saat ini harga ICP hanya sebesar US$63 per barrel, dengan perhitungan alokasi subsidi dan kompensasi BBM serta elpiji hanya sekitar Rp130 Triliun.
Artinya, kalau besaran alokasi subsidi BBM dan Elpiji tetap dipertahankan melalui skema keekonomian tersebut, maka pemerintah membutuhkan tambahan alokasi dana sejumlah Rp190 Triliun.
Realisasi Membengkak
Artinya, selain harus memenuhi kewajiban pembayaran bunga utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 (TA 2022) sejumlah Rp405,9 Triliun. Dengan adanya pembengkakan alokasi dan kompensasi subsidi BBM dan Elpiji itu, maka beban belanja pemerintah bertambah dalam APBN TA 2022, dari Rp2.714,2 Triliun menjadi Rp2.904,2 Triliun dan defisit semakin melebar dari awalnya ditetapkan Rp868 Triliun bertambah menjadi Rp1.058 Triliun atau lebih dari 4 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
- Kuasai Twitter, Elon Musk Rogoh Anggaran Rp634,7 Trilliun
- Dikenalkan Gubernur Bali, Kopi Arak Jadi Andalan Kafe di Ubud
- BLT Minyak Goreng Perkuat Bantalan Sosial Masyarakat
Realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Elpiji yang dialokasikan dalam APBN selalu melebihi pagu anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Pada Tahun 2018, sebagaimana disampaikan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Kementerian Keuangan, realisasinya sebelum tahun anggaran berakhir (September 2018) telah melampaui pagu APBN TA 2018 hingga 115,9%, atau telah melebihi rencana alokasi subsidi tersebut sebesar 15,9 persen.
Berdasarkan angka realisasi yang melebihi pagu alokasi subsidi itu, berarti rata-rata realisasi subsidi BBM per bulan adalah Rp6,03 Triliun. Jika angka ini konstan atau disiplin dialokasikan, maka total alokasi subsidi BBM dan Elpiji hanya mencapai Rp72,39 Triliun saja, lalu kenapa realisasi subsidi dan kompensasi energi (BBM dan Elpiji) diluar listrik pada TA 2021 mencapai Rp131,5 Triliun, apakah memang alokasi ini hanya untuk kelompok miskin atau kurang mampu?
Terdapat terminologi lain yang disampaikan oleh Menteri ESDM, maka dapat disimpulkan realisasi anggaran subsidi energi yang melebihi pagu itu juga digunakan untuk alokasi kompensasi. Tentu saja terminologi kompensasi energi ini jelas tidak dialokasikan kepada kelompok keluarga miskin atau kurang mampu. Atas perlakuan kompensasi itu, maka sejak TA 2017 dan tahun berikutnya realisasi subsidi dan kompensasi energi telah melewati angka Rp100 Triliun, yaitu TA. 2018 sejumlah Rp153,5 Triliun, 2019 Rp136,9 Triliun, 2020 Rp108,8 serta TA. 2021 mencapai Rp140,4.
Mengacu pada perhitungan Menteri ESDM, maka sejumlah Rp10,4 Triliun adalah kompensasi untuk listrik Badan Usaha Milik Negara PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Angka kompensasi listrik PLN ini jika berdasarkan pengajuan tambahan alokasi subsidi dan kompensasi energi bisa mencapai Rp25 Triliun lebih. Oleh karena itu, publik mendesak kepada pemerintah dalam rangka alokasi subsidi yang tepat sasaran dan menyelamatkan keuangan negara dalam APBN TA. 2022, sebaiknya kompensasi energi yang faktanya untuk sektor industri besar dan rumah tangga mampu dihapuskan.
Konsekuensi membengkaknya realisasi kompensasi dari alokasi kompensasi energi, baik itu BBM, Elpiji dan listrik juga akan merugikan posisi keuangan BUMN Energi, Pertamina dan PLN. Bahkan, jika mengambil pembengkakan realisasi subsidi dan kompensasi energi selama 4 tahun ini, maka jumlah penerima kompensasi sangat besar, yaitu 50 persen. Sedangkan subsidi energi bagi kelompok masyarakat yang jelas-jelas masuk kategori miskin dan kurang mampu sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2021 berjumlah lebih besar dibandingkan jumlah orang mampu. Pantaskah kelompok industri besar dan kelompok masyarakat mampu memakan hak subsidi rakyat miskin!? ***
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri