BPH Migas Berpotensi Melanggar Kebijakan Kuota BBM

Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Wilayah Jatimbalinus Deden M Idhani menyampaikan dari pemantauan kondisi di lapangan pasca gempa, sampai dengan saat ini dilaporkan bahwa penyaluran BBM dan LPG tidak terkendala. (Pertamina Jatimbalinus)

Kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menjadi polemik publik yang tak berkesudahan, bahkan digunakan pula untuk kepentingan politik praktis. Dan, dengan serta merta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Holding Minyak dan Gas Bumi (Migas) Pertamina menjadi sasaran kesalahan tanpa memeriksa berbagai peraturan dan per-Undang-Undangan yang berlaku. 

Sebab, segala hal kebijakan yang berkaitan dengan  kepentingan hajat hidup orang banyak harus memiliki dasar aturan yang jelas agar dapat dipertanggungjawabkan.

Awal mula permasalahan  terjadi, yaitu saat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyoal beban subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terlalu besar dan sudah tak masuk akal, yaitu Rp502,4 Triliun. 

Bahkan, alokasi subsidi energi ini yang lebih besar dibandingkan dengan biaya pembangunan Ibukota Negara (IKN) baru sejumlah Rp446 Triliun, dan alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemberdayaan desa dan masyarakat desa selama kurun waktu 2015-2020 sejumlah Rp332,32 Triliun.

Atas persoalan yang dikeluhkan Presiden itu, tentu publik harus dipahamkan dengan peraturan per-Undang-Undangan berlaku, khususnya pengelolaan sektor energi dan Migas nasional. Termasuk di dalamnya soal kewenangan sektor hulu Migas sampai ke penentuan kuota dan subsidi untuk sektor hilirnya, dalam hal ini Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Benarkah semua adalah kewenangan dan tanggung jawab Pertamina?

Dasar Kuota Dan Subsidi 
Pasca reformasi tahun 1998 semua produk per-Undang-Undangan berubah, yang terjadi bukannya menguatkan dasar atau fundamental perekonomian Negara, tetapi justru liberalisasi kebijakan ekonomi nasional yang berlebih-lebihan. 

Pusat perhatian publik hanya tertuju pada monopoli serta inefisiensi dan inefektifitas yang terjadi atas pengelolaan BUMN, dan tidak melihat fakta mengguritanya konglomerasi yang akhirnya menjadi korporatisme. Pengelolaan Migas pun sudah dirubah dasarnya melalui melalui UU Nomor 22 tahun 2001 (UU 22/2001), mengubah  posisi dan kedudukan Pertamina sebagai operator penyelenggaraan Public Service Obligation (PSO) dengan kegiatan usaha sektor hulu ke hilirnya.

Di sektor hulu, posisi dan kewenangan Pertamina diambil alih oleh badan usaha lain yang mengatur industri Migas nasional, yaitu dihulu oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sementara di sektor hilir posisi dan kewenangannya diberikan kepada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. 

Tidak hanya itu, gerak langkah Dewan Manajemen BUMM juga diatur oleh UU Nomor 19 Tahun 2003 sebagai landasan terbentuknya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KBUMN).

Banyak publik yang tidak tahu atau tak mau tahu, dan mungkin tidak paham mengenai  posisi BUMN pasca reformasi disebabkan oleh faktor kontruksi politik dimasa Orde Baru.  Lalu, masih berpikiran menempatkan posisi BUMN sama dan sebangun dengan kebijakan sebelumnya, walaupun telah terjadi perubahan kebijakan atas pengelolaannya. 

Terkait BBM subsidi dan non subsidi selain terdapat pada pasal 66 UU 19/2003 tentang BUMN, maka pemerintahan Presiden Joko Widodo juga melakukan pengaturan pelayanan kemanfaatan publik atau PSO itu dengan berulangkali merevisi aturan mengenai penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebijakan yang mengatur harga BBM ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.69 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 191 Tahun 2014 dan 43 Tahun 2018)  yang ditandatangani pada 3 Agustus 2021.

Perpres ini juga mengatur tentang ketentuan harga jual eceran jenis BBM tertentu (JBT) dan jenis BBM khusus penugasan (JBKP) tersebut. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 14 berkaitan dengan harga jual eceran BBM yang ditetapkan melalui peraturan atau keputusan Menteri Energi  Sumber Daya Mineral (ESDM), termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Berbagai perangkat aturan dalam mengelola PSO inilah  yang membuat tidak leluasanya BUMN Pertamina bergerak sebagai korporasi. Bahkan, jika ada persetujuan perubahan harga jual BBM sekalipun dari pemerintah, tidak semua jenis produknya otomatis mengalami penyesuaian.

Namun begitu, tidak ada satupun pasal dan atau ayat dalam ketentuan dan peraturan tersebut yang menyatakan secara jelas dan tegas kewenangan BPH Migas mengatur soal kuota dan subsidi BBM. Lebih dari itu, pengertian dasar atau terminologi kuota di satu sisi dan subsidi di sisi yang lain pihak adalah memiliki maksud serta tujuan peruntukan kelompok sasaran pemanfaat yang berbeda. 

Menurut pengertian yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata kuota adalah jumlah tertinggi yang diperuntukkan bagi alokasi tertentu. Misalnya, orang yang boleh masuk (keluar) ke (dari) atau berkunjung di suatu negara (seperti ketika menunaikan ibadah haji). Lalu, apa maksudnya kuota dilekatkan pada kata subsidi, sedangkan terminologinya berbeda secara diametral?

Anehnya, data dan fakta atas realisasi subsidi energi yang semakin meningkat itu justru ditanggapi oleh Kementerian Keuangan dengan mengajukan tambahan anggaran alokasi subsidi nya pada bulan April 2022 lalu menjadi sejumlah Rp 74,9 Triliun. 

Bahkan, pengajuannya telah disetujui oleh  Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat pada Hari Kamis, 19 Mei 2022, meliputi alokasi untuk subsidi BBM dan elpiji sejumlah Rp 71,8 Triliun dan Rp 3,1 Triliun untuk subsidi listrik. Dengan tambahan alokasi itu, maka jumlah anggaran yang ditujukan untuk subsidi BBM dan elpiji yang semula direncanakan sejumlah Rp 77,5 triliun menjadi naik sejumlah Rp149,3 Triliun, dan sisanya untuk subsidi listrik sejumlah Rp39,6 Triliun. Tambahan anggaran itu membuat biaya negara untuk subsidi energi Tahun 2022 menjadi Rp208,9 Triliun atau membengkak sebesar 55,9 persen.

Pertanyaannya, kepada kelompok masyarakat mana kuota ini diberikan, sedangkan subsidi secara politik ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah 26 juta lebih. Tidak mungkin kelompok masyarakat miskin adalah orang-orang yang mampu membeli kendaraan bermotor roda empat atau mobil mewah lainnya. Oleh karena itu, verifikasi atas pengertian kuota dan subsidi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, jika tidak ingin keadaan keuangan negara semakin memburuk. *

*Defiyan Cori,  Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri
 

Editor: Rohmat

Related Stories