Apresiasi Atas Kinerja BPK Selamatkan Uang Negara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaannya memiliki permasalahan yang krusial. (Ist)

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas pemeriksaan keuangan pada 11 (sebelas) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) patut dijunjung tinggi dan didukung publik. Pemeriksaan BPK dalam kurun waktu periode 2017-2022 sungguh menyiratkan seberkas cahaya disaat masalah yang dihadapi oleh satu atau dua oknum anggotanya, yaitu Achsanul Qosasi dan Pius Lustrilanang. 

Seperti ada skenario yang sedang "menghantam" kelembagaan BPK RI untuk melupakan andil ribuan pemeriksa yang berdedikasi dalam menyelamatkan keuangan negara yang disimpangkan oleh BUMN dan kementerian/lembaga lainnya selama ini.

Dengan temuan kasus disejumlah BUMN atau anak perusahaan yang diperiksa BPK, antara lain PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero), hingga PT Waskita Karya (Persero) Tbk. atas pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi pada beberapa BUMN tersebut menunjukkan saratnya penyimpangan keuangan pada perusahaan negara. 

Dan, BPK telah berhasil menunjukkan darma bakti yang sungguh-sungguh meningkatkan kinerja penyelamatan keuangan negara dari pengelolaan operasional perusahaan negara sendiri.

Setidaknya BPK menemukan bahwa rata-rata BUMN tidak mengacu pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan analisa biaya dan manfaat (cost benefit analysis) yang akan terjadi dalam pengelolaan korporasi. 

Selain itu, juga tidak didukung dengan jaminan yang memadai, yakni dokumen parent company guarantee tidak dieksekusi, seperti kasus PT PGN atau nilai jaminan fidusia yang tidak memadai sebagaimana dalam temuan jaringan pipa PT BIG senilai Rp16,79 miliar yang jauh lebih kecil dibandingkan nilai uang muka yang diberikan.

Atas temuan ini, maka BPK RI menunjukkan bukti bahwa kinerja lembaganya tidak terpengaruh oleh adanya goncangan sesaat atas kedua anggotanya. Namun demikian, publik berharap hasil temuan BPK yang baru dipublikasikan terjadi hanya pada 11 (sebelas) BUMN saja jangan hanya berhenti pada Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (LIHPS) saja. 

BPK RI harus menyampaikan kepada publik secara transparan dan detil atas hasil temuan (audit) dimaksud secara lebih mudah dan dimengerti. Hal ini penting dilakukan oleh BPK RI disebabkan tindak penyelidikan dan penyidikan tidak berada dibawah otoritasnya.

Khusus untuk catatan keempat dari LIHPS yang menemukan tidak adanya analisis keuangan dan uji tuntas (due diligence) yang memadai dan beban kewajiban terkini (current liability) rekanan kerjasamanya BUMN diduga menjadi kasus umum yang terjadi pada BUMN-BUMN. 

Oleh karena itu, BPK RI harus memperjuangkan haknya lebih jauh agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tubuh BUMN dapat ditindaklanjuti secara hukum. Jika ini tidak dilakukan, maka pengkerdilan peran dan fungsi BPK RI akan terus berlanjut oleh adanya kasus korupsi yang dilakukan segelintir anggotanya. Sedangkan, para pemeriksa BPK yang bekerja secara profesional, berintegiritas, jujur dan bersih akan terkena dampaknya.  (*)

* Defiyan Cori,  Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories