Menguak Potensi Besar Singkong, Peluang Ekonomi dan Ketahanan Pangan Indonesia

Menguak Potensi Besar Singkong, Peluang Ekonomi dan Ketahanan Pangan Indonesia (unsplash)

JAKARTA - Sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki kondisi tanah yang subur dan iklim tropis yang mendukung. Kondisi geografis ini tentu sangat mendukung pertumbuhan tanaman singkong yang dikenal dapat tumbuh di berbagai jenis tanah.

Singkong tak hanya menjadi komoditas penting bagi perekonomian nasional tetapi juga bagi ketahanan pangan dunia. Di Indonesia, singkong diolah dalam berbagai bentuk, dari makanan sederhana hingga produk olahan industri, menjadikannya sumber penghidupan bagi banyak petani. Komoditas singkong juga mulai menarik perhatian pasar global, membuka peluang ekspor yang menjanjikan di masa depan.

Produksi Singkong di Indonesia

Indonesia memproduksi singkong dalam jumlah yang sangat besar. Pada tahun 2023, produksi singkong nasional mencapai 18,3 juta ton. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia salah satu negara penghasil singkong terbesar di dunia. Daerah produksi tersebar di 13 provinsi, dengan lima provinsi penghasil singkong terbesar yaitu Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.

Lampung, sebagai salah satu pusat utama produksi, terus menunjukkan peningkatan produksi dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Ida Rachmawati, Kepala Bidang Tanaman Pangan di Dinas Ketahanan Pangan dan Tanaman Pangan Hortikultura Provinsi Lampung, produksi singkong di daerahnya mencapai 7,1 juta ton pada tahun 2023 dari lahan seluas 243 ribu hektare. 

Ida optimis pada tahun 2024, produksi Singkong di Lampung akan meningkat menjadi 7,5 juta ton, dengan perluasan lahan hingga 254 ribu hektare.

"Lampung merupakan salah satu daerah produsen singkong secara nasional, dan pada 2024 ini diproyeksikan produksi mencapai 7,5 juta ton dari lahan seluas 254 ribu hektare," terang Ida, dilansir Antara, Jumat, 11 Oktober 2024.

Singkong yang dihasilkan di Lampung sebagian besar dipasok untuk industri tapioka, yang menjadi salah satu industri penting di sektor pangan Indonesia. 

Tapioka, yang terbuat dari pati singkong, memiliki beragam aplikasi dalam industri makanan, farmasi, dan tekstil, menjadikannya produk bernilai tinggi yang sangat dibutuhkan di dalam negeri dan internasional.

"Sebagian besar singkong ini diproduksi untuk pemenuhan kebutuhan industri tapioka, sedangkan yang untuk konsumsi sekitar 10 persen dari total produksi dalam setahun," tambah Ida.

Peluang Ekspor, Mengubah Singkong Jadi Komoditas Global

Indonesia memiliki peluang besar untuk memperluas pasar singkong ke kancah internasional. Produk olahan singkong, seperti keripik dan tepung singkong, mulai menarik perhatian konsumen di Amerika Serikat dan Eropa. 

Konsumen di wilayah ini menganggap singkong sebagai camilan premium, yang memberikan peluang bagi produsen lokal untuk menembus pasar baru.

Minat internasional terhadap singkong, terutama di pasar Barat, disebabkan oleh meningkatnya tren makanan sehat dan bebas gluten, di mana singkong menjadi salah satu bahan yang populer. 

Tepung singkong, misalnya, banyak digunakan sebagai alternatif tepung terigu dalam diet bebas gluten. Selain itu, produk olahan singkong, seperti keripik singkong dan produk berbasis tapioka, juga dipasarkan sebagai makanan ringan yang lebih sehat dibandingkan produk lain berbasis kentang atau jagung.

Pasar global yang semakin terbuka memberikan peluang besar bagi petani dan produsen Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan diversifikasi produk singkong, sekaligus meningkatkan daya saing mereka di pasar internasional.

Nilai Gizi dan Manfaat Kesehatan Singkong

Singkong tidak hanya memiliki potensi ekonomi yang besar, tetapi juga kaya akan nilai gizi. Sebagai sumber energi yang rendah lemak dan bebas kolesterol, singkong menjadi pilihan makanan yang baik untuk kesehatan. 

Meskipun kaya kalori, singkong mengandung serat yang tinggi, sehingga membantu menjaga pencernaan. Selain itu, singkong juga mengandung protein, vitamin K, vitamin B, magnesium, dan tembaga, yang berkontribusi pada kesehatan tulang, fungsi otak, dan sistem kekebalan tubuh.

Dengan kandungan gizi yang beragam ini, singkong bukan hanya menjadi pilihan makanan pokok bagi masyarakat di wilayah tropis seperti Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, tetapi juga mulai diminati oleh konsumen yang lebih peduli dengan gaya hidup sehat di negara-negara maju.

Salah satu keunggulan utama singkong adalah kemampuannya beradaptasi dengan perubahan iklim. Singkong dapat tumbuh dengan baik di berbagai jenis lahan, bahkan di daerah yang kurang subur atau terkena kekeringan. 

Hal ini menjadikan singkong sebagai tanaman yang tahan terhadap kondisi ekstrem, yang semakin penting ditengah meningkatnya kekhawatiran tentang perubahan iklim global.

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, singkong menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan kemampuannya beradaptasi, singkong dapat menjadi alternatif penting dalam menjaga ketahanan pangan di masa depan, terutama jika tanaman pangan lain, seperti padi dan jagung, mengalami penurunan produksi akibat perubahan cuaca.

Persaingan Global dalam Produksi Singkong

Meskipun Indonesia memiliki potensi besar, persaingan dalam produksi singkong di pasar global tetap ketat. Nigeria, misalnya, menjadi produsen singkong terbesar di dunia dengan produksi mencapai 60 juta ton pada tahun 2020. 

Negara Afrika lainnya, Republik Kongo, juga menjadi produsen utama dengan produksi sekitar 41,01 juta ton. Di Asia, Thailand menghasilkan sekitar 28,9 juta ton, sementara Ghana menyumbang 21,8 juta ton singkong pada tahun yang sama.

Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya dengan negara-negara ini melalui modernisasi teknik pertanian, peningkatan efisiensi produksi, serta diversifikasi produk berbasis singkong yang mampu menarik pasar global. 

Dukungan pemerintah dalam hal kebijakan ekspor dan pengembangan industri olahan singkong juga menjadi faktor penting dalam mendorong Indonesia menjadi pemimpin dunia dalam produksi singkong.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 11 Oct 2024 

Editor: Redaksi

Related Stories