seni
Kamis, 26 Mei 2022 19:16 WIB
Penulis:Rohmat
Editor:E. Ariana
Bangli, Balinesia.id – Desa Jehem, Kecamatan Kintamani, Bangli menyimpan beragam potensi. Satu di antaranya adalah potensi ekonomi berbasis pada kerajinan sanggah atau bangunan suci umat Hindu di Bali.
Menariknya, usaha kerajinan bernilai ekonomis ini tidak saja digeluti oleh masyarakat kalangan tua. Para pemuda di Jehem justru secara kolaboratif menggeluti sekaligus mengembangkan kerajinan sanggah.
Salah seorang pemuda Desa Jehem yang menggeluti usaha kerajinan sanggah, Putu Ariesva, kepada Balinesia.id, Kamis, 26 Mei 2022 mengatakan bahwa dalam produksi sebuah sanggah ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, mulai dari merakit, mengukit, dan finishing. Bagian-bagian produksi itulah yang kemudian dibagi oleh para pemuda dan dikerjakan di tempat-tempat berbeda.
"Tahapan pembuatan sanggah di sini itu ada tiga tahap. Nah, kalau di rumah saya ini pembuatan kerangka atau ngakit dalam bangunan sanggah, kemudian setelah jadi akan dikirim ke tukang ukir, untuk diisi ornament, dan yang terakhir dikirim lagi ke tukang cat. Jadi, khusus masing-masing orang punya keahliannya sendiri-sendiri," katanya.
Baca Juga:
Hal tersebut duakui perajin lainnya, Nengah Gunawan. Ia mengatakan cara kerja pembuatan sanggah di Desa Jehem memang digarap secara kolaboratif antara satu perajin dengan perajin lainnya sesuai spesifikasi masing-masing.
"Kalau di sini biasanya memang begitu, dalam satu sanggah itu dikerjakan berbeda-beda. Ini saya dapat kiriman untuk membuat ukiran pembuatan sanggah, nanti setelah jadi ukiran ini akan di proses lagi," katanya.
Gunawan juga menceritakan kalau produksi sanggah di Jehem secara masif sudah mulai dari tahun 1980-an. "Pembuatan kerajinan sanggah ini sudah lama mulainya. Saya sendiri belajar dari turun-temurun, dan saling berdiskusi bersama teman untuk belajar ngukir. Selain itu, saya juga pernah mengikuti pelatihan ukir di Denpasar. Saya sudah kurang lebih 15 tahun menjadi tukang ukir,” katanya.
Mengenai motif gaya ukiran di desa Jehem, Gunawan menjelaskan memiliki perbedaan tapi masih mengikuti pakem ukiran Bali. Ia sendiri secara khusus mengerjakan motif ukir punggel dan bun. Menurut pengakuannya, masing-masing motif itu memiliki kerumitannya sendiri-sendiri.
“Kalau di Bali biasanya pakai dasar patra punggel, kemudian dimodifikasi sesuai gaya Jehem yang mana ukirannya agak rapat, baik itu punggel atau bun. Motif bun jenis ukirannya lebih gampang bisa saya kerjakan setengah hari namun biayanya relatif lebih murah, sedangkan motif punggel jenis ukirannya lebih sulit kadang saya bisa menyelesaikan sehari, tapi biayanya lebih mahal. Jadi permintaan tergantung konsumen juga,” kata dia.
Sementara itu, perajin Putu Krisnaka Putra yang secara sfesifik mengerjakan finishing sanggah mengatakan dirinya secara khusus memang melakukan pengecetan setelah dua proses sebalumnya dilalui.
“Saya hanya mengerjakan pengecetan dalam pembuatan sanggah setelah selesai dirakit dan diukir. Untuk proses pengecatanya sendiri itu dilakukan beberapa tahapan. Pertama dicat dasar lebih dulu untuk menutupi pori-pori kayu, kemudian dichat merah, baru di cat dasar prada, kemudian diservis dan terakhir baru di pernis. Pengerjaan untuk satu bangunan sanggah kurang lebih satu minggu sudah selesai,” kata dia.
Baik Aris, Gunawan, dan Krisna mengatakan permintan pembuatan sanggah sempat mengalami penurunan saat pandemi Covid-19. Namun, akhir-akhir ini permintaan sudah mulai kembali menggeliat. Mereka berharap semoga kedepan permintaan bisa semakin banyak lagi seperti sebelum pandemi.
Harga sebuah sanggah di Jehem sangat beragam. Ada sanggah yang dibandrol seharga Rp3 juta per buah, namun ada juga yang dijual dengan harga Rp30 juta. Semua itu sesuai dengan bentuk dan kerumitan setiap sanggah. oka