Baliview
Widyatula Bulan Bahasa Bali, Dua Penyarikan Bincangkan Air
Denpasar, Balinesia.id – Dua penyarikan (sekretaris adat), yakni Penyarikan Agung Majelis Desa Adat, I Ketut Sumarta dan Jero Penyarikan Duuran Batur (IK Eriadi Ariana) membincangkan persoalan air Bali dalam widyatula atau diskusi Peringatan Bulan Bahasa Bali IV Tahun 2022. Diskusi daring bertema “Banyu Jeroning Sastra” atau “Air di dalam Sastra” itu dilaksanakan Rabu, 23 Februari 2021.
Jero Penyarikan Batur menilai Bulan Bahasa Bali ke-4 tahun 2022 yang bertema “Danu Kerthi: Gitaning Toya Ening” merupakan momentum yang baik untuk melihat kondisi air di Bali saat ini dan solusi-solusi yang bisa diambil. “Saat ini Bali menghadapi berbagai masalah air, tiga yang mengkhawatirkan adalah pencemaran air permukaan, penyusutan air tanah, dan intrusi air laut,” katanya dalam kegiatan yang dipandu Penyuluh Bahasa Bali, I Wayan Artha Diptha.
Terhadap kondisi tersebut, jebolan Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana ini menilai penting kembali melihat sastra-sastra yang membincangkan air. Nilai-nilai yang dikandung di dalam karya-karya sastra itu diyakini dapat digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk kembali memuliakan air.
Baca Juga:
- https://balinesia.id/read/yayasan-puri-kauhan-ubud-seminarkan-empat-kertas-akademik-untuk-aksi-penyelamatan-air
- https://balinesia.id/read/minyak-goreng-langka-pedagang-pasar-gunung-agung-terdampak
- https://balinesia.id/read/suarakan-perubahan-iklim-kmhdi-hijaukan-indonesia
Ia merinci sejumlah karya sastra Bali tradisional yang menyinggung persoalan air, misalnya dalam Kakawin Ramayana, Kakawin Siwaratrikalpa, Adiparwa, Tantu Panggelaran, Usana Bali, Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, Kakawin Purwaning Gunung Agung, termasuk teks Raja Purana yang tersimpan di Pura Ulun Danu Batur, tempatnya mengabdi.
Dalam ranah tradisi, Jero Penyarikan menjelaskan sebuah sistem pemuliaan air yang mengandung nilai tinggi, yakni Pasihan Batur. Pasihan, katanya, adalah daerah-daerah yang meyakini menerima aliran air dari Danau Batur, sehingga merasa “berhutang” dengan Danau Batur. Hutang itu secara tradisi kemudian “dibayar” melalui praktik ngaturang sawinih ketika Ngusaba Kadasa di pura yang terletak di Kintamani itu.
“Konsep pasihan ini dijelaskan pada Babad Patisora, Pangaci-aci Ida Bhatara, dan Pratekaning Usana Siwa Sasana. Ketiganya adalah bagian dari Purana Batur. Berpijak pada teks-teks tersebutlah terjadi hubungan antara masyarakat hulu dan hilir, yang pada intinya menekankan solidaritas sosial. Artinya, pelestarian danau itu adalah tanggung jawab kita bersama,” katanya.
Sejalan dengan hal tersebut, Ketut Sumarta memandang saat ini yang diperlukan dalam upaya pelestarian air dan sumber mata air adalah mengimplementasikan konsep-konsep warisan leluhur ke dalam laku hidup yang nyata.
“Panca dresta (lima tradisi, red) yang meliputi kuna atau purwa dresta, sastra dresta, loka dresta, desa dresta, dan kula dresta perlu diterjamahkan dalam regulasi yang tepat saat ini,” kata dia.
Terhadap hal itu, ia menyebut Pemerintah Provinsi Bali kini telah menelurkan banyak regulasi terkait dengan pelestarian lingkungan. Regulasi-regulasi misalnya Perda Bali No. 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik; Pergub Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai; Pergub Bali No. 48 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber; Pergub Bali No. 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut; Pergub Bali No. 29 Tahun 2020 tentang Pelestarian Tanaman Lokal Bali sebagai Taman Gumi Banten, Puspa Dewata, Usada, dan Penghijauan; serta SE Gubernur Bali No. 04 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi. “Regulasi-regulasi tersebut dituangkan lebih terperinci ke dalam peraturan desa dan perarem desa adat di Bali,” katanya.
Sumarta juga menyinggung keluhuran manusia Bali dalam menilai air. Menurutnya, seluruh tindak-tanduk manusia Bali tidak bisa dipisahkan dengan air. Sebab, air atau apah memang satu dari lima elemen air yang menyusun alam semesta dan tubuh. “Manusia lahir dari yeh, dari kama petak-kama bang (sperma dan sel telur, red), dipelihara oleh air susu, kemudian 70 persen tubuhnya adalah air, dihidupi air, dimandikan dengan air, bahkan hingga dikembalikan ke lautan ketika sudah meninggal,” kata dia. jpd