Tidak (Hanya) Antam yang "Dihantam" Kasus

Ilustrasi Galeri Antam (Panji Asmoro/TrenAsia)

Harus diakui secara obyektif dan faktual, bahwa pengelolaan Perusahaan Negara atau dikenal dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak yang salah kelola (mismanagement) dan terjadi berbagai kasus penyimpangan keuangan! Bahkan, saat baru menjabat Menteri BUMN dalam suatu kesempatan Erick Tohir sempat memelesetkan dengan nada sinis akronim BUMN tersebut, yaitu: "memangnya badan usaha milik nenek lu"! Menteri BUMN ini tentu bukan asal bunyi terkait permasalahan yang menghinggapi perusahaan milik rakyat, bangsa dan negara hasil nasionalisasi perusahaan swasta Belanda serta asing lainnya pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Tidak hanya soal penguasaan Sumber Daya Alam (SDA), yang mana seharusnya berdasar perintah konstitusi Pasal 33, ayat 3 dikuasai oleh negara justru sektor pertambangan, khususnya nikel banyak terjadi pelanggaran hukum. Pemerintah sendirilah yang mengakui melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengklaim (Ditjen BC Kemenkeu) bahwa pelaku dari kegiatan ekspor ilegal bijih nikel ke China sebanyak 5 juta ton selama 2021-2022 merupakan tindak pidana! Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah mengungkapkan bahwa lembaga rasuah itu menemukan dugaan ekspor ilegal dari Indonesia ke Cina  periode 2020-2022 jumlahnya 5,3 juta ton biji ore nikel yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp14,5 triliun.

Pertanyaan pentingnya, yaitu apakah benar ekspor ini illegal dalam artian tidak diketahui atau memperoleh izin dari pejabat berwenang dalam pemerintahan? Rasanya absurd dan naif saja apabila pemerintahan yang memiliki perangkat penuh diberbagai bidang sampai kecolongan ekspor bahan mentah nikel yang telah dilarang ini. Presiden Joko Widodo langsung menyampaikan pelarangan ini dan oleh karena itu publik meminta ketegasan Kepala Negara menindak para pelakunya tanpa pandang bulu!

Kasus Transaksi Jual Beli

Selain itu, PT Aneka Tambang (Persero)Tbk. (ANTAM) yang adalah salah satu BUMN tambang terbesar dimiliki Indonesia yang memproduksi komoditas tunggal juga didera berbagai kasus. Perseroan yang berdiri tahun 1968 sebagai hasil penggabungan (merger) dari beberapa perusahaan pertambangan nasional itu kalah dalam kasus gugatan perdata yang dilayangkan pengusaha asal Surabaya, Budi Said di tingkat kasasi. Akibatnya, BUMN Antam harus membayar emas batangan seberat 1.136 kilogram kepada pengusaha yang memenangi gugatannya dan harus membayar uang senilai Rp92.092.000.000.

Anehnya, pengusaha Budi Said yang dikenal dengan sebutan "crazy rich" ini, bukanlah satu-satunya penggugat BUMN Antam. Perusahaan negara yang juga telah melantai di pasar Bursa Efek Indonesia dengan kode ANTM ini juga tengah menghadapi gugatan lain, salah satunya dari PT Loco Montrado atawa LoMon. Dari berbagai data yang dipublikasi ke publik, diperoleh informasi jika LoMon telah mendaftarkan gugatan wanprestasi atau cedera janji melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. LoMon menggugat bahwa ANTM belum melaksanakan seluruh kewajiban dalam perjanjian pengolahan anoda logam yang ditandatangani Perusahaan dan LoMon pada Mei 2017.

Sehubungan dengan kasus hukum ini, LoMon menggugat ANTM untuk melakukan penyerahan anoda logam sebanyak 5,36 ton dengan kandungan emas sekitar 1%-5%, serta membayar kerugian materiil dan immateriil sebesar masing-masing Rp1,5 miliar dan Rp800 miliar. Disamping itu, KPK juga mengendus adanya dugaan korupsi dalam proyek tersebut dan telah mulai melakukan penyidikan terkait kasus tersebut. Atas penyidikannya itu, KPK sudah menetapkan salah satu tersangka, yaitu Direktur Utama PT Loco Montrado, Siman Bahar.

Namun, Siman Bahar mengajukan praperadilan dan menang. Kasus ini bermula dari perjanjian penjualan bijih nikel pada 23 Februari 2017 dengan PT. Dexin, tetapi pembayaran atas salah satu pengapalan yang bernilai sejumlah Rp33 miliar ditahan oleh pembelinya setelah kapal pengangkutnya tenggelam. Lalu, pada tanggal 20 Desember 2021, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mengeluarkan putusan yang mewajibkan Dexin untuk membayar US$2,4 juta (setara Rp34 miliar) kepada Antam yang ternyata per 31 Desember 2019 belum dicatatkan dalam laporan keuangan.

Kasus-kasus transaksi jual beli komoditas antara BUMN dengan korporasi swasta ini jumlahnya cukup banyak, diantaranya terjadi juga disektor minyak dan gas bumi (migas). Salah satu diantaranya, yaitu antara BUMN Pertamina melalui anak usaha (sub holding C&T) PT. Pertamina Patra Niaga (PPN) dengan dengan pengusaha Samin Tan pemilik PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), anak usaha Borneo Lumbung Energi & Metal (BLEM) sejumlah  Rp451,66 miliar. Dan, ada juga kasus transaksi jual beli dari hasil ikhtisar pemeriksaan (audit) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kerjasama sinergis dengan salah satu perusahaan migas di Filipina.

Berbagai kasus yang terjadi pada tubuh BUMN-BUMN tersebut jelas mengernyitkan dahi rakyat yang waras dan berakal sehat terkait tata kelola korporasi yang baik (good coorporate governance). Begitu banyak sekali kerugian dan potensi hilangnya pendapatan negara oleh oknum-oknum yang memegang otoritas manajerial dan pengambil kebijakan. Jika Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan, pendapatan BUMN naik 18,8 persen menjadi US$160 miliar atau sekitar Rp2.295 triliun pada tahun 2021. Dan, keuntungan konsolidasi BUMN pun melonjak sebesar 838 persen dari Rp13 triliun pada 2020 menjadi Rp124,7 triliun di tahun 2021 serta kontribusi BUMN berupa dividen mencapai Rp39,7 triliun tahun 2021 atau lebih tinggi Rp3 triliun dibanding tahun 2020.

Sedangkan pada tahun 2022, BUMN mampu mencatatkan laba konsolidasi sejumlah Rp303,7 triliun atau naik sebesar 142,4% dibanding periode 2021, dan setoran dividen ke kas negara senilai Rp80,2 triliun atau naik sejumlah Rp40,5 triliun. Semestinya, tanpa kasus-kasus transaksi jual beli wanprestasi yang terjadi di BUMN tersebut, kinerja laba dan dividen BUMN lebih besar lagi jumlahnya. Dengan harta kekayaan (asset) konsolidasi BUMN yang juga meningkat cukup signifikan dari sebelumnya Rp 8.978 triliun menjadi Rp 9.567 triliun, seharusnya perolehan laba dan dividen BUMN bisa mencapai minimal 10 persen atas total asset, yaitu Rp956,7 triliun.

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan laba dan dividen BUMN-BUMN itu, maka publik menunggu aksi dan gebrakan penegakan hukum Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Sebab, jumlah kasus dan penyimpangan transaksi jual beli tersebut cukup signifikan dalam menyelamatkan keuangan negara serta mengurangi beban utang atas pembiayaan pembangunan nasional!

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 


Related Stories