Perjuangan Berat Menjadi Dokter Spesialis: Tantangan yang Harus Dihadapi

Perjuangan Berat Menjadi Dokter Spesialis: Tantangan yang Harus Dihadapi (Reuters/Amr Alfiqy)

JAKARTA - Menjadi dokter spesialis adalah salah satu impian yang dimiliki oleh banyak mahasiswa kedokteran di Indonesia. Namun, perjalanan meraih gelar tersebut ternyata tidaklah mudah. Selain memerlukan waktu yang panjang, biaya pendidikan tinggi dan berbagai tantangan lain seringkali menjadi hambatan besar bagi calon dokter spesialis. 

Untuk menjadi dokter spesialis, seorang dokter umum harus menjalani pendidikan tambahan yang dapat memakan waktu antara 4 hingga 6 tahun.  Hal tersebut jauh lebih lama dibandingkan dengan pendidikan sarjana (S1) pada umumnya. 

Selama periode ini, mahasiswa harus mengikuti berbagai pelatihan intensif, residensi, dan praktek klinis yang membutuhkan dedikasi tinggi dan komitmen penuh waktu.

Tantangan Menjadi Dokter Spesialis

Biaya Pendidikan yang Tinggi

Biaya pendidikan dokter spesialis di Indonesia sangat bervariasi tergantung pada universitas dan program spesialisasi yang dipilih. 

Misalnya, di Universitas Gadjah Mada (UGM), dilansir dari ugm.ac.id, biaya per semester untuk program reguler berkisar antara Rp11 juta hingga Rp30 juta, sementara untuk program non-reguler berkisar antara Rp15 juta hingga Rp30 juta. 

Jalur khusus seperti LPDP dan Kemitraan memiliki biaya yang lebih tinggi, yaitu berkisar antara Rp25 juta hingga Rp32 juta per semester.

Dilansir dari unpad.ac.id, Universitas Padjadjaran (Unpad) menawarkan biaya per semester untuk program spesialisasi berkisar antara Rp17,5 juta hingga Rp20 juta untuk Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Rp 40 juta hingga Rp50 juta untuk Iuran Pengembangan Institusi (IPI). 

Sementara itu, Menurut website resmi  Universitas Indonesia (UI), UI menetapkan biaya UKT untuk program reguler antara Rp16 juta hingga Rp51 juta dan biaya IPI antara Rp7,5 juta hingga Rp25 juta. 

Selain itu untuk program khusus, biaya UKT berkisar antara Rp26 juta hingga Rp51 juta dan biaya IPI antara Rp10 juta hingga Rp25 juta. Kebanyakan universitas yang menawarkan program spesialisasi berada di kota-kota besar dengan biaya hidup yang tinggi. 

Selain biaya kuliah, mahasiswa harus mempertimbangkan biaya akomodasi, makanan, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.  Tidak hanya itu, biaya tambahan seperti buku-buku referensi, seminar, lokakarya, dan ujian juga menjadi beban tersendiri. 

Beberapa program studi bahkan mengharuskan mahasiswa melakukan penelitian, yang tentunya memerlukan biaya besar. Pelatihan dan praktikum yang harus dijalani oleh calon dokter spesialis sangat intensif. 

Mereka harus menguasai penggunaan peralatan medis canggih dan terkini, serta menerima bimbingan dari para ahli di bidangnya. Kualitas pelatihan ini tentu saja sebanding dengan biayanya yang tinggi.

Kursi Terbatas dan Kasus Bullying

Permintaan untuk menjadi dokter spesialis sangat tinggi, namun jumlah kursi yang tersedia di program spesialisasi terbatas.  Hukum ekonomi pun berlaku. Semakin tinggi permintaan dengan keterbatasan pasokan, semakin tinggi biaya yang harus dibayar.

Bullying di dunia kedokteran memang terjadi, termasuk di Indonesia, terutama pada dokter residen yang sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Bentuk intimidasi yang mereka alami bervariasi. Secara verbal, mereka bisa menerima makian, kata-kata kasar, atau sebutan tidak pantas, termasuk yang terkait dengan SARA. 

Meskipun intimidasi fisik jarang terjadi, namun tidak menutup kemungkinan adanya kekerasan fisik. Dari segi finansial, perundungan bisa berbentuk pungutan liar di luar biaya pendidikan resmi. 

Dokter residen juga sering kali diberikan tugas yang tidak wajar, seperti mengerjakan pekerjaan non-medis atau tugas domestik. Selain itu, pelecehan, terutama yang terkait dengan gender atau hal-hal bersifat pribadi, juga merupakan bentuk perundungan yang sering terjadi.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 05 Jun 2024 

Editor: Redaksi

Related Stories