Opini
Menyoal Pembelian Asset Negara (MCTN) oleh Perusahaan Negara
Siapa yang tak gembira dan senang tiada terkira saat Blok Rokan kembali dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina kebanggaan rakyat Indonesia walau berjuang dengan segenap tenaga dan biaya, termasuk Signature Bonus (SB) saat itu sejumlah US$780 juta.
Lalu, bagaimana halnya dengan akuisisi MCTN oleh BUMN lainnya, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN), apakah juga pemangku kepentingan (stakeholders) memiliki perasaan yang sama? Tunggu dulu!
Polemik Proses Lelang
PLN telah sah disebut mengakuisisi 100% saham MCTN, dan dengan demikian PLN bersiap mengelola pembangkit listrik Blok Rokan sebagai upaya pemenuhan kelistrikan menjelang alih kelola dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). PLN secara resmi menandatangani Sales and Purchase Agreement (SPA) atau perjanjian jual beli saham, pada hari Selasa tanggal 6 Juli 2021 dengan mengambil alih 100% saham PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang dimiliki oleh Chevron Standard Limited.
Penandatanganan SPA tersebut dilakukan oleh Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril dan Regional Director Chevron Standard Limited, Jennifer Ferratt melalui media dalam jaringan (daring). Maka, dengan akuisisi saham ini PLN bakal mengoperasikan aset PLTGU untuk pasokan (suplai) kelistrikan di wilayah Blok Rokan.
Pasokan listrik dengan PLTGU inipun disampaikan Direktur Utama PLN merupakan rencana jangka pendek, sedangkan kebutuhan listrik Blok Rokan dalam jangka panjang diharapkan dapat dipenuhi melalui sistem kelistrikan Sumatra.
Sebelum terjadi proses akuisi MCTN dengan pengambilalihan saham Chevron Standard Limited 100 persen, maka pihak PLN pernah menyatakan keberatan dengan harga penawarannya. Selain itu, proses pelelangan yang telah berlangsung tersebut juga mengundang tanda tanya besar serta bisa menjadi polemik publik terhadap transparansinya.
Adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan Bob Syahril menilai harga yang ditetapkan dalam proses lelang pembangkit listrik milik PT MCTN di Blok Rokan sangat mahal atau kemahalan.
Harga ditetapkan pihak pengelola lelang, yaitu sebesar US$ 300 juta atau setara Rp4,35 Triliun (US$1 = Rp14.500), padahal saat pembelian pada 20 tahun yang silam harganya hanya sebesar US$ 190 juta. Terdapat selisih yang menaik sekitar US$110 juta, wajarkah peralatan lama dengan usia pemakaian puluhan tahun lebih tinggi nilainya?
Dengan telah diakuisinya saham MCTN itu, tentu publik mempertanyakan penolakan harga penawaran yang telah disampaikan PLN sebelumnya dengan jumlah realisasi pembelian yang telah terjadi.
Apabila PLN melakukan akusisi MCTN dengan mengeluarkan senilai US$300 juta atau setara Rp4,35 Triliun (kurs US$1= Rp14.500), maka untuk tujuan apa penolakan sebelumnya? Namun, jika PLN membeli saham MCTN lebih rendah dari Rp4,35 Triliun, maka berapa nilai uang yang telah dikeluarkan kepada pihak Chevron Standard Limited? Apalagi kalau dikemudian hari ternyata diperoleh bukti, bahwa harta kekayaan (asset) MCTN sejatinya telah menjadi milik negara berdasar kontrak alih kelola dengan mengkompensasinya dari biaya operasi yang telah dikeluarkan kontraktor (cost recovery).
Atas ketidaklogisan dan ketidakwajaran harga serta ketidaktransparan proses akuisisi MCTN atas lelang peralatan yang bernilai buku dan teknis sudah menyusut, maka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melakukan pemeriksaan investigatif. Harga wajar dari MCTN dengan penyusutan assetnya sangat bisa dihitung secara akuntansi berdasar jangka waktu pemakaian operasional selama hampir 20 tahun.
Kontrak MCTN tentu terikat dengan CPI dan kalau telah berakhir otomatis harta kekayaan (asset) nya menjadi milik negara, atau tidak perlu lagi PLN sebagai perusahaan negara membelinya karena bisa dinyatakan tambahan modal (ekuitas) Negara.
Lantas, kenapa ada proses pelelangan (tender), kemana dana pengembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor migas selama cadangan belum ditemukan hingga diproduksi secara komersial (cost recoverynya)? Tentu tidak soal jual beli MCTN ini saja yang dipermasalahkan, bagaimana halnya dengan beban kewajiban dan tanggungjawab masa lalu korporasi ini, apakah otomatis dialihkan ke PLN juga? (*)
* Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Defiyan Cori