Menguak Perjalanan Ekonomi Myanmar yang Hancur Akibat Rezim Militer

menguak-perjalanan-ekonomi-myanmar-yang-hancur-akibat-rezim-militer
Menguak Perjalanan Ekonomi Myanmar yang Hancur Akibat Rezim Militer (Bangkok Post)

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. RUU tersebut disetujui dalam sidang paripurna yang berlangsung di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Kamis, 20 Maret 2025.

Salah satu perubahan signifikan dalam revisi ini adalah pemberian izin bagi personel militer aktif untuk menempati 14 jabatan sipil. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah penting dalam struktur pemerintahan Indonesia.

Keputusan ini menimbulkan beragam respons dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, masyarakat sipil, dan mahasiswa di berbagai daerah.

Gelombang aksi protes terjadi di sejumlah wilayah, dengan masyarakat sipil menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI. Demonstrasi tersebut diwarnai berbagai tindakan intimidasi, kekerasan, serta ancaman yang menargetkan aktivis, mahasiswa, dan jurnalis.

Demonstrasi yang digelar mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil untuk menolak pengesahan revisi UU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025 yang berlangsung serentak di berbagai kota, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Manado.

Aksi protes yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi kericuhan di beberapa daerah setelah aparat kepolisian menggunakan kekuatan berlebihan. Sejumlah laporan menyebutkan adanya peserta aksi yang mengalami luka-luka serta beberapa orang yang ditangkap.

Dilansir dari amnesty.id, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan teror, intimidasi dan kekerasan terhadap aktivis, jurnalis, dan mahasiswa adalah cara yang melanggar hak asasi manusia. "Bahkan menunjukkan penguatan praktik-praktik otoriter terhadap suara-suara kritis di ruang sipil.”

Amnesty International Indonesia mencatat di beberapa kota, seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Manado, aparat kepolisian menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi aksi protes terhadap pengesahan RUU TNI. Tindakan tersebut mencakup penggunaan pentungan, gas air mata, meriam air, serta berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan fisik yang dinilai tidak perlu.

Situasi yang terjadi pada hari pertama menandakan revisi UU TNI tidak hanya membuka peluang bagi militer aktif untuk menduduki posisi sipil, tetapi juga berpotensi membawa pendekatan militeristik ke dalam ruang sipil, yang bertentangan dengan prinsip hukum sipil. Hal ini menjadi awal yang kurang baik.

Selain itu, aksi teror berupa pengiriman paket berisi kepala babi kepada seorang jurnalis perempuan sekaligus host siniar Bocor Alus Politik (BAP) Tempo, FCR, menjadi bukti nyata serangan terhadap kebebasan pers. Padahal, pers merupakan pilar keempat dalam demokrasi yang seharusnya dilindungi.

Belajar dari Kasus Myanmar 

Kasus di Myanmar tampaknya dapat menjadi pengingat dan refleksi agar tidak timbul perpecahan di NKRI. Diketahui, Myanmar menjadi salah satu negara yang porak-poranda di bawah kekuasaan militer. Sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, Myanmar telah menghadapi berbagai pemberontakan. 

Kudeta pertama di negara ini terjadi pada 2 Maret 1962, ketika Tatmadaw—angkatan bersenjata Myanmar yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win—menjatuhkan pemerintahan sipil dan mendirikan rezim otoriter.

Kudeta ini terjadi karena pemerintah sipil saat itu dianggap lemah dan tidak mampu menangani berbagai tantangan, terutama dalam menghadapi konflik etnis yang berlarut-larut di Myanmar.

Rezim otoriter militer Tatmadaw menguasai semua Angkatan bersenjata, termasuk mengendalikan setiap sektor ekonomi di Myanmar.

Keputusan ekonomi sepenuhnya ditentukan oleh militer, yang lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri, sementara kesejahteraan masyarakat dan pembangunan negara sering kali diabaikan.

Adapun, pada Agustus 1988, Myanmar kembali dilanda protes massal yang berujung pada tergulingnya Jenderal Ne Win. Namun, kekuasaannya justru digantikan oleh junta militer yang baru. Demonstrasi ini muncul sebagai respons terhadap ketimpangan ekonomi di bawah pemerintahan militer dan menjadi tuntutan bagi reformasi menuju demokrasi.

Dilansir dari hrw.org, pada 8 Agustus 1988, ribuan mahasiswa, biksu Buddha, pegawai negeri, dan masyarakat umum menggelar aksi mogok nasional yang memicu gelombang protes serentak di berbagai kota di seluruh Burma. Para demonstran menuntut peralihan menuju sistem demokratis serta diakhirinya pemerintahan militer.

Besarnya skala aksi ini mengejutkan pihak berwenang, yang kemudian merespons dengan tindakan represif. Pasukan keamanan dikerahkan untuk membubarkan protes dengan kekerasan, menembaki demonstran damai hingga menyebabkan ratusan korban tewas dan luka-luka.

Sementara banyak yang memilih melarikan diri, sebagian lainnya melawan dengan bom molotov, pedang, panah beracun, dan jeruji sepeda yang diasah tajam, mengakibatkan korban jiwa di pihak polisi dan aparat pemerintah.

Aksi pada tahun 1988 dikenal sebagai Perlawanan 8888 dan tercatat sebagai salah satu aksi dengan tingkat kekerasan paling brutal oleh aparat keamanan. Diperkirakan sekitar 5.000 orang tewas akibat tindakan represif militer.

Kekerasan ini mencerminkan besarnya dominasi dan kekuatan militer dalam menguasai negara, bahkan dengan cara yang kejam.

Pada tahun yang sama, Aung San Suu Kyi mendirikan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dengan tujuan mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Pada 1990, Myanmar menggelar pemilu yang dimenangkan oleh NLD.

Namun, junta militer menolak hasil pemilu dan menempatkan tahanan rumah kepada Suu Kyi hingga 2010. Sementara, junta militer tetap berkuasa melalui Dewan Hukum Negara dan Restorasi Ketertiban.

Untuk mempertahankan kendali militer dalam pemerintahan, Tatmadaw merancang konstitusi baru yang mengalokasikan 25% kursi di parlemen nasional dan daerah bagi perwakilan militer.

Berdasarkan konstitusi tersebut, pemilihan umum kembali digelar pada 2011, dengan kemenangan diraih oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP).

Pada Februari 2021, Jenderal Senior Min Aung Hlaing bersama para pemimpin militer lainnya kembali melakukan kudeta. Langkah ini diambil setelah partai proksi militer, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), mengalami kekalahan telak dalam pemilu 2020.

Dalam pemilu tersebut, partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan 396 dari total 476 kursi parlemen di majelis rendah dan tinggi.

Junta Myanmar secara resmi menahan dan mendakwa Aung San Suu Kyi dengan tuduhan korupsi serta berbagai pelanggaran lainnya.

Mereka menggulingkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis dengan menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, serta beberapa tokoh senior NLD. Setelah itu, militer Myanmar mengumumkan bahwa mereka akan memerintah negara setidaknya selama satu tahun.

Mereka berdalih tindakan tersebut diambil karena adanya dugaan kecurangan dalam pemilu 8 November, yang membuat NLD mendominasi parlemen.

Militer juga mengumumkan Panglima Angkatan Bersenjata Min Aung Hlaing telah dilantik sebagai presiden. Setelah kudeta berlangsung, sebanyak 11 pejabat baru setingkat menteri diangkat untuk membentuk pemerintahan baru.

Di sisi lain, kudeta militer dan penahanan Aung San Suu Kyi memicu gelombang kemarahan di seluruh negeri. Puluhan ribu demonstran, mayoritas dari kalangan anak muda, menggelar empat aksi protes terpisah menentang kudeta militer di Myanmar.

Aksi ini berlangsung di tengah pengamanan ketat serta pemblokiran jalan di Yangon, kota terbesar di negara tersebut.

Sementara, militer Myanmar secara brutal menindak warga yang menentang rezim mereka, baik melalui pembantaian maupun penangkapan. Berdasarkan data dari Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik hingga 2021, tercatat sebanyak 510 orang tewas dan lebih dari 3.000 orang ditahan sejak kudeta dimulai pada 1 Februari.

Pada pekan 28 Maret 2021, Militer Myanmar semakin memperluas operasi mereka dengan menargetkan wilayah pedesaan dan perbatasan yang dihuni oleh berbagai kelompok etnis.

Salah satu daerah yang terdampak adalah sebuah desa di negara bagian Karen, di mana sekitar 3.000 penduduk terpaksa melarikan diri ke Thailand demi menghindari serangan jet tempur yang dilancarkan oleh Militer Myanmar.

Militerisme yang berlangsung selama beberapa dekade menyebabkan kehancuran serius pada perekonomian Myanmar.

Sektor-sektor utama seperti pertanian, industri, dan infrastruktur gagal berkembang secara optimal, sementara rakyat Myanmar harus menghadapi ketidakadilan serta ketidakstabilan politik yang dipicu oleh rezim militer.

Nilai tukar mata uang Myanmar, Kyat, merosot lebih dari 60%, memicu inflasi serta lonjakan harga kebutuhan pokok. Selain itu, tingkat pengangguran di negara tersebut turut melonjak.

Di bawah pemerintahan militer, utang negara hampir dua kali lipat, dari 39% pada 2020 menjadi lebih dari 60% pada periode 2021-2024. Hingga saat ini, kondisi militer Myanmar masih dikuasai oleh kelompok militer dan diwarnai berbagai kekerasan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 24 Mar 2025 

Editor: Redaksi
Bagikan

Related Stories