Opini
Maporina, Kembali ke Fitrah dan Alam
Selain isu energi bersih dan ramah lingkungan yang menjadi kecenderungan perhatian negara-bangsa di dunia untuk eksistensi kehidupan manusia. Semenjak Tahun 1990, isu pertanian organik telah mulai berhembus keras di berbagai negara belahan dunia, terutama kawasan benua Eropa. Isu ini diawali oleh ketiadaan pengelolaan limbah organik yang berupa sisa tanaman (jerami, dedaunan, sayur-sayuran, dan lain-lain) yang menimbulkan permasalahan lingkungan. Kemudian, memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai tersadarkan akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis di sektor industri pertanian. Maka itu, untuk menjaga keberlangsungan pola hidup sehat manusia dan keberlanjutan lingkungan hidup yang hijau dan lestari menjadi pilihan arif dengan mengkonsumsi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.
Adalah data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO, 2002) yang mengkonfirmasi, bahwa selama 10 tahun terakhir ini banyak bermunculan penyakit akibat keracunan zat kimia yang digunakan untuk pertanian (pestisida dan pupuk kimia). Produk pertanian yang memiliki residu bahan kimia beracun dapat memicu proses degradasi kronik, penuaan dini, dan penyakit degeneratif. Pestisida kimia merupakan bahan beracun yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Pestisida kimia bersifat polutan sehingga dapat menyebarkan radikal bebas yang mengakibatkan kerusakan organ tubuh, mutasi gen, dan gangguan susunan saraf pusat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bukti, bahwa terdapat hubungan pestisida sebagai penyebab timbulnya kanker, tingkat kesuburan menurun, dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Salah satu kajian kasus dampaknya pernah dilakukan di beberapa Negara benua Asia terhadap pekerja wanita yang bekerja di perkebunan dan berhubungan langsung dengan penggunaan pestisida, seperti para pekerja yang ada di Malaysia. Para pekerja wanita yang hampir setiap hari menggunakan pestisida telah mengakibatkan gangguan kesehatan yang kronis dan akut, seperti gatal-gatal, sesak napas, sakit dada, nyeri otot, mata rabun, pusing, sakit kanker, serta perut mual dan nyeri.
- Tandang ke Gianyar, PSP Pemprov Bali Menang Tipis Atas Pemkab Gianyar FC
- Penerbangan Internasional di Bandara Ngurah Rai Bertambah 8 Rute Maskapai
- Pasca-WNA Menari Telanjang, Desa Adat Batur Laksakan Masapuh-sapuh
Peluang Dan Potensi
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meminimalisir perluasan penyakit tersebut, yaitu memilih gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi bahan pangan alami. Slogan “Back to Nature” yang pada akhirnya menjadi arah baru (trend) masyarakat dunia harus ditindaklanjuti dengan mengakomodasi kebutuhan masyarakat konsumen akan produksi pangan organik. Menanggapi perkembangan yang terjadi ditengah masyarakat dunia tersebut, mau tidak mau sistem budidaya seharusnya meninggalkan pola produksi lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Dengan demikian, pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.
Apakah itu Pertanian Organik? Pertanian organik adalah sebuah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan kepada bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Pertanian organik juga merupakan kegiatan bercocok tanam yang ramah atau akrab dengan lingkungan dengan cara berusaha meminimalkan dampak negatif bagi alam sekitar dengan ciri utamanya, yaitu menggunakan varietas lokal, pupuk, dan pestisida organik dengan tujuan untuk menjaga kesuburan tanah dan sumberdaya air serta kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan. Budidaya pertanian organik yang utama, adalah tidak menggunakan pupuk buatan yang berasal dari bahan bakar minyak, pestisida, atau makanan dari hasil modifikasi genetika.
Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat.
- Bentuk Kader Kebencanaan, PMI Buleleng Gelar Pelatihan Duta Kemanusiaan
- Tandang ke Gianyar, PSP Pemprov Bali Menang Tipis Atas Pemkab Gianyar FC
- Pasca-WNA Menari Telanjang, Desa Adat Batur Laksakan Masapuh-sapuh
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar dipasok (supply) oleh negara-negara maju yang telah memiliki kesadaran organik tinggi seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea. Hal ini juga disebabkan oleh luas lahan (areal) tanam pertanian organik terluas juga terdapat di Australia dan Oceania, yaitu sekitar 7,7 juta hektar (Ha). Benua Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing memiliki luas lahan sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Sedangkan luas lahan tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar.
Komoditas organik yang mendominasi diperdagangkan di pasar internasional, yaitu sayuran, kopi dan teh di samping produk peternakan. Namun, potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri masih sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada subsidi dan insentif terkait harga yang memadai bagi para petani dan sektor pertanian organik, 2) kemapanan dalam budidaya non organik membuat pengembangan produksi terhambat karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) konsumsi pasar didalam negeri masih terbatas sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut, sementara potensi ekspor terkendala oleh standar dan prosedur sertifikasi.
Permasalahan yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian organik antara lain: 1) belum tersedianya kapasitas pupuk kompos/pupuk organik yang memadai. 2) pupuk organik digunakan pada pertanian organik untuk memperkaya hara dalam tanah dan menyehatkan tanaman serta memperkecil unsur basa yang berpengaruh. 3) dukungan teknologi tepat guna yang masih terbatas sehingga proses produksi pertanian organik belum efektif dan efisien. 4) proses dan mekanisme sertifikasi pertanian organik dalam negeri yang mengacu pada SNI 6729:2013 tidak dapat dijangkau para petani maupun sertifikasi yang diwajibkan oleh negara-negara tujuan ekspor.
Untuk mendukung gerakkan Pro Petani dan Pertanian Organik ini, di Indonesia telah terbentuk sebuah organisasi Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA) yang dideklarasikan pada tgl 1 Februari 2000 di Malang, Provinsi Jawa Timur. Berbagai komoditas atau produk pertanian organik dari produksi lokal Indonesia seperti beras organik, sayuran organik, kopi organik, teh organik dan beberapa produk lainnya telah beredar di pasaran Indonesia meskipun dalam jumlah sangat terbatas, di satu sisi. Disisi yang lain, tngginya permintaan produk organik di Tanah Air yang terjadi selama masa pandemi Covid-19 khususnya produk pertanian ternyata belum diimbangi oleh tingkat produksi dari lahan yang memadai.
Berdasarkan data dan informasi dari Aliansi Organis Indonesia (AOI), telah terjadi peningkatan permintaan produk organik di Indonesia hingga 300 persen pada Tahun 2013. Kenaikan ini dipicu oleh munculnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan lewat gaya hidup sehat guna meningkatkan daya tahan tubuh. Sementara, luas lahan organik Indonesia yang tersertifikasi hanya mencapai 90.000 Ha, sedangkan yang belum tersertifikasi atau melakukan budidaya pertanian organik tidak memiliki sertifikasi resmi organik, sekitar 225.000 Ha.
Potensi yang tinggi, tetapi tidak didukung oleh luas lahan pertanian organik dan kebijakan yang memadai mengakibatkan bahagian pasar (market share) yang bisa diserap masih sangat kecil. Secara keseluruhan, pertanian organik Indonesia mempunyai total market share hanya 0,2 persen jika dibandingkan dengan negara lainnya, seperti China sebesar 0,3 persen, India 0,7 persen , dan negara-negara Eropa lebih dari 5 persen, dan terbesar Jerman sebesar 6,5 persen.
Memperhatikan kendala dan permasalahan itu, maka selayaknya sertifikasi produk organik untuk pasar dalam negeri bisa disederhanakan. Hal itu dapat dilakukan sejalan misalnya dengan melakukan pendampingan atau bantuan teknis yang mendukung proses sertifikasi produk organik kepada para petani lebih mudah dan terpercaya Alih-alih menggenjot ekspor produk organik, pemerintah seharusnya menggencarkan promosi dan menggenjot konsumsi produk organik di dalam negeri. Bukan berarti menyasar negara tujuan ekspor atau pasar internasional yang menurut Bayu Krisnamurthi (mantan Wakil Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu) nilainya mencapai US$150 juta tidak penting, tetapi masih lebih utama fokus dalam mengembangkan pasar produk organik dalam negeri dahulu.
Untuk meningkatkan konsumsi produk pertanian organik, Pemerintah harus memberikan level of playing field yang sama kepada komoditas organik dan non organik kalau benar-benar pihak non organik ingin berkompetisi dengan wajar. Khusus untuk produksi beras di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sebagai contoh, luas panen padi pada Tahun 2021 berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan Provinsi diperkirakan sejumlah 285,47 ribu hektar dengan produksi sejumlah 1,36 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Konsumsi beras di Sumbar per tahunnya mencapai sekitar 560.000 ton, sementara produksi beras pada Tahun 2020 lalu mencapai 903.000 ton. Artinya, Provinsi Sumbar masih mengalami surplus beras pada Tahun 2021 dan tidak membutuhkan impor beras, malah mampu memasok untuk kebutuhan luar wilayahnya. Apabila potensi produksi beras tersebut merupakan produk beras organik, maka Sumbar telah mampu menjawab tantangan ekspor produk pertanian organik.
Oleh karena itu, ditengah suasana Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriyah yang memiliki nilai dan makna bagi orang berIman untuk kembali kepada fitrahnya, momentum ini dapat dimanfaatkan juga untuk tujuan kembali ke alam. Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Sumbar harus melakukan pemihakan atau pro organik secara utuh dan komprehensif yang ditunjukkan oleh dukungan jajaran birokrasi dalam memberikan kemudahan bagi peningkatan produksi dan konsumsi produk-produk pertanian organik. Kembali ke Fitrah asal muasal manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berarti kembali menggunakan cara-cara yang tidak merusak tanah beserta lingkungannya, menghasilkan produk atau komoditas yang bersih, sehat, bergizi serta menyehatkan manusia secara alamiah, tidak perlu suntikan kimia olahan pabrikan.
Komitmen pro organik yang sudah dicanangkan oleh Gubernur Sumatera Barat tentu akan didukung oleh MAPORINA wilayah Provinsi Sumbar yang telah dikukuhkan secara bersamaan dengan Pengurus Pusatnya dan 14 Pengurus Wilayah lainnya oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada tanggal 22 Februari 2022 lalu. Bahkan, Presiden juga menegaskan, Indonesia harus secepatnya membangun sistem pertanian modern yang ramah lingkungan, terutama menghadapi ancaman ketahanan pangan dan krisis global, dan Indonesia tidak boleh bergantung pada pasokan pangan dari luar. Dan, MAPORINA siap mendukung dan mensukseskan program pemerintah Kembali ke Fitrah, Kembali ke Alam melalui kebijakan pertanian organik tersebut. ***