Feature
Gen Z di Dunia Kerja: Terjebak Gaji Stagnan dan Status Kontrak Tak Berujung
JAKARTA – Sudah bertahun-tahun bekerja, tapi gaji tak kunjung naik dan status kepegawaian tetap belum didapat. Itulah gambaran nyata yang dialami banyak pekerja muda saat ini, khususnya dari generasi Z dan milenial awal.
Mereka bukan hanya digaji rendah, tapi juga dibebani pekerjaan berlebih, minim jaminan sosial, dan kesulitan meningkatkan taraf hidup. Meski begitu, kondisi di lapangan jauh dari hitam putih, banyak anak muda tetap bertahan dalam sistem kerja kontrak tanpa kejelasan jenjang karier atau peningkatan penghasilan, hanya untuk bisa terus bertahan di tengah mahalnya biaya hidup di kota besar.
- Cara Jitu Menabung Dana Darurat Meski Gaji Pas-pasan
- BRI Luncurkan Social Bond Perdana di Indonesia Senilai Rp5 Triliun
- 10 Rekomendasi Aktivitas Seru Saat Libur Sekolah untuk Gen Z
Gaji Mentok, Tapi Beban Kerja Jalan Terus
Dini (27), content strategist di sebuah startup lifestyle, sudah bekerja tiga tahun. Tapi kenaikan gajinya tak pernah lebih dari Rp300 ribu per tahun. “Awalnya semangat karena lingkungan kerjanya fleksibel, tapi lama-lama terasa stuck. Tugas bertambah, tapi kompensasi minim,” katanya kepada TrenAsia.id pada Jumat, 20 Juni 2025.
Ia mengaku pernah mencoba negosiasi, tapi selalu dijawab dengan alasan kondisi bisnis belum stabil. Akhirnya, seperti banyak pekerja muda lain, Dini mencoba bertahan sambil cari "cuan sampingan" lewat freelance atau side job.
Sayangnya, tidak semua pekerja muda sadar bahwa mereka bisa secara mandiri mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan BPU (Bukan Penerima Upah) atau bahkan iuran pensiun mandiri. Pemerintah sebenarnya membuka akses ini, tapi literasinya masih rendah.
Di saat yang sama, platform teknologi finansial juga mulai menghadirkan produk perlindungan mikro untuk freelancer dan gig worker, seperti asuransi hari tua, asuransi kerja harian, dan tabungan otomatis berbasis proyek. Namun ekosistem ini masih butuh penguatan kebijakan dan insentif agar benar-benar menjangkau kalangan pekerja muda.
Pekerja lain, Surya (26) mengaku harus mengiklaskan BPJS Kesehatan di kantornya untuk tidak didaftarkan. Namun sebagai gantinya ia diberikan sistem reimbursement (klaim mandiri) jika sakit, biaya pengobatan diganti secara belakangan oleh perusahaan. “Saya diberi tahu kalau saya pilih sendiri tidak daftar BPJS, nanti perusahaan ganti jika ada biaya,” kata Surya.
Tanpa BPJS karyawan, Surya tak punya fasilitas kontrol rutin, imunisasi, atau akses pelayanan primer gratis. Hal ini bisa membuat karyawan menunda pemeriksaan dini dan akhirnya menjadi biaya besar di kemudian hari.
Kekhawatiran Surya adalah, banyak perusahaan menetapkan syarat ketat tentang maksimum penggantian (plafon), jenis pelayanan, atau batas waktu klaim. Dokumen kurang lengkap bisa membuat klaim ditolak atau dipotong sepihak oleh perusahaan
Realita dunia kerja saat ini menuntut adaptasi dari dua sisi. Di satu sisi, regulasi dan praktik perusahaan harus diperketat agar tidak menormalisasi kontrak abadi dan gaji mentok. Di sisi lain, pekerja muda juga perlu berani bersuara, menawar, dan melindungi diri sendiri secara proaktif.
Pada akhirnya, naik kelas finansial bukan sekadar soal rajin kerja, tapi juga soal memahami kapan harus menolak stagnasi dan mulai memetakan jalan sendiri di tengah sistem yang belum tentu berpihak.
Kapan Saatnya Pindah? Bagaimana Negosiasi Gaji?
1. Setelah stagnasi 2–3 tahun tanpa kenaikan signifikan
Jika gaji Anda tidak naik lebih dari 3–5% per tahun — padahal inflasi dan biaya hidup melonjak — ini sinyal saatnya mulai lihat peluang baru.
2. Status kerja tidak stabil
Pekerja muda yang berada di kontrak jangka pendek (PKWT/outsource) sulit untuk mengakses KPR maupun tunjangan kesehatan. Jika Anda terjebak pola semacam ini tanpa ada tanda-tanda akan diangkat tetap, pindah bisa jadi jalan keluar.
3. Saat pencapaian dan skill Anda dihargai rendah
Jika Anda merasa kontribusi signifikan Anda diabaikan (misalnya meningkatkan engagement, menambah klien, atau tangani proyek besar), dan tidak dibarengi kompensasi, ini juga momen tepat untuk mempertimbangkan pindah .
Waktu Yang Tepat Negosiasi Gaji
Right after job offer (internal or external)
Negosiasi gaji paling ideal dilakukan setelah ada tawaran resmi, tetapi sebelum tanda tangan kontrak. Ini saat Anda punya leverage tertinggi: perusahaan sudah memilih Anda.
Atau saat performance review tahunan
Jika Anda tetap di perusahaan lama, waktu terbaik adalah setelah review tahunan atau setelah Anda berhasil menyelesaikan proyek besar. Gunakan momen tersebut untuk menunjukkan impact dan minta penyesuaian gaji .
Hindari negosiasi terlalu awal atau emosional
Jangan tanyakan soal gaji di awal interview. Diskusi seputar alasan pribadi “mobil rusak”, “biaya hidup naik” justru bisa merugikan. Negosiasikan dengan data dan logika, bukan emosi .
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 23 Jun 2025