BRI Perlu Terobosan Mempertahankan Kinerjanya

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI/BBRI) telah memperkenalkan program KPR Green Financing sejak tahun 2021 sebagai bagian dari komitmennya dalam mendukung Green Development. (Ist)

Capaian kinerja salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perbankan, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) kembali mengagumkan publik. Mengacu pada laporan keuangan tahunan perseroan tahun 2023 yang dipublikasikan, BRI berhasil mencatatkan laba bersih sejumlah Rp60,4 triliun. Terdapat kenaikan laba bersih sejumlah Rp9 triliun dibandingkan capaian tahun 2022 yang sejumlah Rp51,4 triliun atau tumbuh sebesar 17,54 persen secara tahunan (yoy). Bahkan, kinerja BRI pada periode 2022 yang membukukan laba bersih sejumlah Rp51,4 tersebut melesat sebesar 67,15 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

Kinerja tersebut semakin mengokohkan prestasi laba bersih BRI diantara anggota  Himpunan bank-bank pemerintah (Himbara) dari tahun ke tahun, bahkan sejak tahun 2007. Raihan laba bersih tahun 2023 juga meloncat hampir dua (2) kali lipat dibanding tahun 2021 yang sejumlah Rp31,07 triliun. 

Hanya pada tahun 2020 saja, BRI mencatatkan laba bersih sejumlah Rp 18,66 triliun atau mengalami penurunan sebesar 45,70% dari laba bersih tahun 2019 sejumlah Rp 34,37 triliun yang merupakan dampak dari pandemi Covid19. Tentu saja, kinerja BRI itu tidak lepas dari orang yang berada dibelakang BRI (the man behind the gun) pengelolaan korporasinya, yaitu Direktur Utama (Dirut) Sunarso dan Wakil Dirut Catur Budi Harto.

Pengaruh Captive Market
Sebagai Dirut BRI, Sunarso ditunjuk secara resmi oleh Kementerian BUMN pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) sejak 2 September 2019 atau telah memimpin selama empat (4) tahun. Disamping itu, BRI juga telah tercatat sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia/BEI (berkode BBRI) pada 10 November 2003 melalui penawaran saham perdana yang dijual dengan harga Rp875/ lembar saham. 

BRI juga telah melakukan memecahbagikan sahamnya (stock split) sebanyak dua kali, yaitu pada Januari 2011 dan November 2017, sehingga harga sahamnya saat ini telah meningkat lebih dari 54 kali jika dibandingkan dengan harga pada saat pertama kali IPO. Perkembangan kinerja BRI di pasar BEI cukup positif dan telah mampu memberikan kontribusi terbaiknya bagi Negara dibandingkan BUMN lain yang telah IPO juga, namun justru menghasilkan kinerja buruk, seperti BUMN-BUMN Karya.

Tidak dapat dipungkiri, kinerja BRI dalam peta persaingan industri perbankan tidak tertandingi, termasuk oleh bank swasta nasional terbesar Bank Central Asia (BCA) yang hanya mampu membukukan laba bersih tahun 2023 sejumlah Rp48,6 triliun atau naik sebesar 19,4 persen terhadap tahun 2022. Rata-rata perolehan laba yang berhasil dicapai oleh BRI selama sewindu atau 8 tahun (sejak 2015) terakhir adalah Rp18-35 Triliun, dengan perolehan terendah pada Tahun 2020 sebesar Rp18,66 Triliun, sedang Bank Mandiri hanya mencatatkan laba sejumlah Rp17,1 Triliun. Selain prestasinya yang mengejutkan publik, kinerja kedua pimpinan BRI ini juga melampaui capaian kinerja kolega sesama BUMN perbankan lainnya, seperti BNI, Bank Mandiri dan BTN.

Sebelum duet Sunarso dan Catur menjabat, laba BRI berkisar rata-rata pada angka Rp15-30 triliun (tahun 2015-2018). Setelah keduanya resmi menjabat kursi Dirut dan Wadirut BRI, maka langsung menorehkan capaian laba tahunan sejumlah Rp34,41 triliun. 

Selanjutnya, BRI tahun 2023 menempati urutan pertama dalam kinerja jumlah alokasi dan pertumbuhan kredit yang sebelumnya ditempati Bank Mandiri. Sebagai lembaga intermediasi, BRI telah menyalurkan kredit sebesar Rp1.197,75 triliun pada tahun 2023, terdapat juga pinjaman syariah secara konsolidasi sejumlah Rp13,67 triliun dan piutang pembiayaan sebesar Rp55 triliun sehingga secara total kredit dan pembiayaan BRI menjadi Rp1.266,43 triliun, atau terjadi kenaikan 11,18% (yoy).

Dibandingkan tahun 2022, total kredit dan pembiayaan BRI Group hanya sejumlah Rp1.139,08 triliun atau meningkat hampir 30% terhadap tahun sebelumnya. Capaian kinerja korporasi itu juga meningkatkan total kekayaan (asset) BRI menjadi Rp1.865,64 triliun atau naik sebesar 11,18% dibandingkan tahun 2021. Padahal, pada tahun 2019 BRI alokasi kreditnya hanya mencapai Rp908,88 triliun, pada saat duet pimpinan eksekutif bank rakyat Indonesia tersebut baru menerima amanah. 

Lebih baik dibanding capaian tahun 2015 yang anya berhasil menyalurkan alokasi kredit sejumlah Rp558,4 Triliun, sementara Bank Mandiri saat itu telah mencapai Rp595,5 Triliun. Di tahun 2016-pun jumlah alokasi kredit BRI hanya Rp635,3 Triliun terpaut dibawah Bank Mandiri yang berhasil mencapai alokasi kredit sejumlah Rp662 Triliun.

Peningkatan juga terdapat pada total harta kekayaan (asset) BRI sejumlah Rp448, 84 atau naik sebesar kurang lebih 30 persen dibandingkan total kekayaan tahun 2019 yang berjumlah Rp1.416,8 triliun. Meskipun demikian, total kekayaan BRI berada pada urutan kedua terbesar di bawah Bank Mandiri yang berjumlah Rp1.992 triliun. 

Kinerja cemerlang BRI itu, memang ditopang oleh kelompok (segmen) Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) yang merupakan entitas dengan perolehan kredit terbesar, yaitu pada tahun 2022 sejumlah Rp 965,30 triliun atau 84,74% dari portofolio kredit.

Begitu pula halnya dengan kredit macet (Non Performing Loan/NPL) nya rata-rata sebesar 2 persen, berbanding BNI dan Bank Mandiri yang mencapai rata-rata 3 persen. Pada tahun 2023, kelompok UKM masih menjadi mayoritas penyaluran kredit BRI, tercatat sejumlah Rp1.068 triliun, atau berkontribusi sebesar 84,4 persen. 

Kredit macet atau bermasalah BRI atau Non Performing Loan (NPL) pada tahun 2021 masih diatas 2 persen, yaitu 2,8 persen. Dan, pada tahun 2022 NPL ini berhasil dikendalikan dengan baik sehingga hanya mencapai 2,67 persen saja. Namun sayangnya, rasio kredit bermasalah BRI atau NPL-nya menjadi sebesar 2,95 persen tahun 2023 atau naik 0,28 persen dibandingkan tahun lalu.

Lalu, bagaimana langkah taktis yang akan dijalankan BRI tahun 2024 dan perencanaan strategis jangka panjang 5 tahun mendatang? Mengacu pada data perkembangan kinerja BRI tersebut, maka keberhasilan BRI didukung oleh konsistensinya dalam merawat pangsa pasar tradisional (captive market).  Pertumbuhan kredit UKM, kenaikan total harta kekayaan (asset) dan menjaga NPL dibawah 3 persen adalah kunci capaian kinerja BRI. Namun demikian, BRI juga harus mulai berhati-hati atas penguasaan pangsa pasar UKM ini disaat lebih baiknya pertumbuhan kredit sektor yang sama oleh BCA. Bukan tidak mungkin, pangsa pasar tradisional BRI bisa diambil oleh penguasaannya oleh bank-bank swasta nasional lainnya.

Oleh karena itu, BRI perlu terobosan melalui peningkatan jumlah dan alokasi kreditnya melalui pengembangan manajemen perbankan non konvensional. Salah satu yang bisa ditempuh adalah menggunakan pendekatan pendampingan manajemen kepada para debitur UKM agar lebih mampu meningkatkan skala ekonomis usahanya. 

Termasuk menekan jumlah dan alokasi kredit korporasinya yang sebesar 16 persen dengan tingkat kredit bermasalah atau NPL diatas 3,1 persen atau lebih dari Rp30 triliun. Tidak hanya melalui pencadangan dana untuk mengantisipasi peningkatan resiko NPL, namun lebih kepada menjaga keberlanjutan kinerja manajemen usaha melalui tindakan preventif dan kuratif. *

* Defiyan Cori, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories