BEM FH Unud dan Robi Navicula Dorong Pemanfaatan SDA Berkonsep Tri Hita Karana

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana ( BEM FH UNUD) menggelar diskusi menghadirkan narasumber Robi Supriyanto (Navicula) dengan tema Pemanfaatan Sumber Daya Alam sesuai Tetamian Leluhur. (BEM FH Unud)

Buleleng, Balinesia.id - Tidak hanya kawasan suci, seluruh kawasan hutan wajib dijaga kelestariannya dan bukan dieksploitasi sehinga dapat mewujudkan konservasi dengan konsep Tri Hita Karana yang luhur.

Hal itu terungkap saat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana ( BEM FH UNUD) menggelar diskusi menghadirkan narasumber Robi Supriyanto (Navicula) dengan tema Pemanfaatan Sumber Daya Alam sesuai Tetamian Leluhur.

Diskusi serangkaian kegiatan penutupan Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan BEM FH UNUD 2022 di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.

Kegiatan dihadiri Perbekel Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, juga Putu Ardana selaku Ketua Bagaraksa Alas Mertajati serta Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.

Alas Mertajati merupakan kawasan hutan yang dikelola Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dengan konsep Tri Hita Karana, Konsep Tri Hita Karana dalam Agama Hindu bermakna bahwa penyebab kesejahteraan dan kemakmuran itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya.

Robi Navicula menyampaikan, jika berbicara soal kemakmuran manusia seringkali hanya memikirkan materi semata padahal makmur itu tidak hanya terkait dengan ekonomi.

“Definisi kemakmuran adalah suatu kondisi dimana terpenuhinya kebutuhan hidup salah satunya yaitu kebutuhan primer contohnya sandang, pangan dan papan dengan tetap memperhatikan tanpa merusak alam dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut” ungkap Robi.

Bali tidak diragukan lagi memiliki beragam budaya dengan biodiversitasnya masing-masing seperti tradisi dan kekayaan alam. Tradisi di  Bali khususnya Agama Hindu dalam upacaranya seringkali menggunakan kekayaan alam asli yang berasal dari hutan/alam daerah yang bersangkutan.

Hal ini semakin mendorong masyarakat Bali untuk semakin melestarikan tidak hanya hasil hutan namun juga segala aspek yang menjaga kelestarian hutan itu seperti danau, tanaman sebagai sumber resapan dan juga satwa didalamnya.

“Penting bagi kita untuk tetap menjaga apa yang leluhur wariskan pada kita, pemanfaatan sumber daya alam yang tak terkendali memicu kesenjangan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem alam” tegas Cahya Donatha, Ketua Panitia Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan.

Situasi saat ini keberadaan Alas Mertajati semakin terdegradasi, hal ini sangat memprihatinkan mengingat didalam Alas Metajati terdapat danau Tamblingan yang merupakan sumber air bagi beberapa wilayah di Bali seperti  Tabanan dan Denpasar.

Kawasan Alas Mertajati tidak hanya meliputi kawasan hutan semata yang digunakan sebagai tempat wisata namun juga merupakan kawasan suci yang didalamnya terdapat 17 pura yang hingga kini masih di jaga kesuciannya oleh masyarakat setempat, terutama Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.

Keberadaan pura-pura tersebut menjadi salah satu alasan mereka untuk mempertahankan Alas Mertajati dan melakukan renaturing terhadap ekosistem didalamnya.

Dikhawatirkan jika dibiarkan begitu saja kami akan kehilangan sumber kehidupan kami dan sebagaimana yang diwariskan oleh leluhur kami untuk menjaga hutan dan ekosistem didalamnya dari segala bentuk perbuatan manusia yang mengancam kelestarian Alas Mertajati” ungkap Putu Ardana, Ketua Bagaraksa Alas Mertajati.

Senada dengan Putu Ardana, Robi Navicula menambahkan sebenarnya tidak hanya kawasan suci, seluruh kawasan hutan wajib dijaga kelestariannya. Bukan dieksploitasi sehinga dapat mewujudkan konservasi dengan konsep Tri Hita Karana yang luhur dengan harapan kemakmuran Tri Hita Karana yang sesungguhnya.

”Di Bali tak hanya Alas Mertajati banyak kawasan suci kini mulai terdegradasi karena peradaban manusia dan pengaruh teknologi seperti Danau Batur di Kintamani yang kini daerah dipinggiran danau banyak dijumpai permukiman penduduk yang mencemari ekosistem danau," tuturnya.

Langkah-langkah pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam tidak hanya terbatas untuk upacara agama tapi juga untuk menjaga keseimbangan alam, keberadaan Tri Hita Karana merupakan sebuah konsep spiritual yang menjadi pedoman masyarakat hindu bali bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang luhur.

Sementara, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Gusti Agung Arya Suryaningrat mengungkapkan bahwa keberadaan alam merupakan bagian jiwa dan hidup manusia.

Kata dia, falsafah dan pandangan hidup yang kita pegang sebagai orang hindu bali adalah Tri Hita Karana yang salah satunya mengatur hubungan manusia dengan alam, maka dari itu perlu ditekankan bahwa alam tidak butuh manusia tetapi kita yang butuh alam.

Untuk itu, sedini mungkin mulai dari hal kecil dari kebiasaan sehari-hari dalam merawat alam dengan cara masing-masing.

"Penutupan Sosialisasi Hukum dan Desa Binaan BEM FH UNUD 2022 bukan berarti pengabdian kami berhenti sampai disini, masih ada hal yang harus kita kawal terkait Alas Mertajati,yang dimana kami BEM FH UNUD siap dan tidak akan abu abu dalam mengambil sikap untuk membantu masyarakat” ajak Gusti Agung Suryandiningrat. *** 

Editor: Rohmat

Related Stories