Menguak 7 Kontroversi Rodrigo Duterte yang Ditangkap Atas Perintah ICC

menguak-7-kontroversi-rodrigo-duterte-yang-ditangkap-atas-perintah-icc
Menguak 7 Kontroversi Rodrigo Duterte yang Ditangkap Atas Perintah ICC (nytimes.com - Anthony Kwan/Getty Images)

JAKARTA – Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, ditangkap di Manila pada Selasa, 11 Maret 2025, berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Menurut pernyataan resmi pemerintah Filipina, Duterte diamankan di Bandara Manila setibanya dari perjalanan ke Hong Kong.  

Tokoh populis berusia 79 tahun ini, yang mengakhiri masa jabatannya pada 2022, selama ini dikenal memiliki pengaruh besar di Filipina. Meskipun menghadapi berbagai tuduhan terkait kebijakan antinarkoba yang dijalankannya, ia sebelumnya relatif terlindungi dari proses hukum.  

Selama kepemimpinannya dari 2016 hingga 2022, Duterte menerapkan kebijakan perang terhadap narkoba dengan pendekatan keras, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa.

Dikutip dari New York Times, Selasa, ICC pertama kali mencatat dugaan pelanggaran ini pada 2016 dan mulai melakukan penyelidikan pada 2021. Investigasi tersebut mencakup kasus-kasus yang terjadi sejak November 2011, ketika Duterte masih menjabat sebagai Wali Kota Davao, hingga Maret 2019, sebelum Filipina secara resmi menarik diri dari ICC.

Mantan juru bicara kepresidenan Duterte, Salvador Panelo, mengecam penangkapan tersebut. Ia menegaskan tindakan tersebut tidak sah karena Filipina sudah keluar dari ICC. Namun, ICC sebelumnya menyatakan mereka tetap memiliki yurisdiksi atas Filipina untuk menyelidiki dugaan kejahatan yang terjadi sebelum negara tersebut resmi menarik diri sebagai anggota.

Sementara, Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina menyambut penangkapan Duterte sebagai “momen bersejarah.”

Tahun Kekuasaan Duterte yang Berdarah 

Dilansir dari Amnesty International, sejak menjabat sebagai Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dan pemerintahannya telah melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, menekan serta memenjarakan para pengkritiknya, dan menciptakan atmosfer tanpa hukum.

Dengan menggunakan kekuasaan tertinggi di negara tersebut, Duterte secara terbuka mendukung tindakan kekerasan yang menyebabkan ribuan eksekusi di luar hukum dalam kampanye antinarkoba pemerintah. Jumlah korban ini bahkan melampaui mereka yang tewas selama pemerintahan represif Ferdinand Marcos pada 1972-1981.

“Duterte berjanji akan membasmi kejahatan di Filipina. Namun, yang terjadi justru ribuan orang tewas oleh—atau atas perintah—kepolisian yang bertindak di luar hukum, mengikuti arahan seorang presiden yang tidak menunjukkan rasa hormat terhadap hak asasi manusia maupun mereka yang berjuang untuk menegakkannya,” ujar James Gomez, Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik.

“Kampanye kekerasan Duterte tidak berhasil menghapus kejahatan atau menyelesaikan permasalahan terkait narkoba. Sebaliknya, kampanye ini justru menjadikan Filipina semakin berbahaya, melemahkan supremasi hukum, dan membuatnya dikenal sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas kematian ribuan warganya sendiri.”

Pada Februari, Amnesty International merilis hasil investigasi yang mengungkap bagaimana kepolisian beroperasi layaknya sindikat kriminal—menargetkan warga miskin yang dicurigai sebagai pengguna atau pengedar narkoba, membayar pihak lain untuk melakukan pembunuhan, serta menjarah barang milik korban, merekayasa barang bukti, dan menghindari pertanggungjawaban hukum.

Perang Terhadap Kaum Miskin

Adapun, perang terhadap narkoba yang diklaim Duterte sebagian besar menyasar warga dari lingkungan termiskin. Di daerah kumuh kota-kota Filipina, jasad berlumuran darah sering ditemukan tergeletak di jalan, terkadang disertai tanda yang melabeli mereka sebagai “pengedar,” seolah-olah tindakan mereka membuat kematian itu tak terhindarkan.

Polisi menerima bayaran secara ilegal untuk melakukan pembunuhan tersebut, beroperasi berdasarkan daftar nama yang disusun oleh pejabat lokal. Selain itu, mereka juga merekrut pembunuh bayaran untuk menjalankan eksekusi atas perintah mereka.

Alih-alih meminta pertanggungjawaban polisi, Duterte justru berjanji melindungi mereka. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak akan membiarkan tentara atau polisi dipenjara karena "menghancurkan industri narkoba."

Dalam kasus yang banyak mendapat sorotan, di mana Wali Kota Albuera, Rolando Espinosa Sr., dan rekan selnya ditembak mati saat berada dalam tahanan polisi, dakwaan terhadap petugas yang terlibat diturunkan dari pembunuhan menjadi pembunuhan tidak berencana, sehingga tidak lagi mencerminkan beratnya kejahatan.

“Pemerintahan Duterte terus menolak pertanggungjawaban di setiap tahap. Tidak ada penyelidikan yang kredibel dari pihak berwenang, dan mereka juga tidak bekerja sama dengan Pelapor Khusus PBB. Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional dapat memerintahkan penyelidikan awal atas pembunuhan massal ini. Mengingat impunitas yang merajalela, langkah ini mungkin menjadi opsi terbaik,” ujar James Gomez.

Pernyataan Kontroversial Rodrigo Duterte

Dilansir dari Time, berikut beberapa pernyataan kontroversial Rodrigo Duterte yang paling terkenal:

1. Bercanda Tentang Warga Australia yang Diperkosa dan Dibunuh

Pada tahun 1989, seorang warga negara Australia Jacqueline Hamill menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan saat terjadi kerusuhan di penjara tempatnya bekerja di Davao City, Filipina selatan. Duterte, yang saat itu menjabat sebagai wali kota, terekaman dalam rekaman menyebut insiden tersebut dalam sebuah pidato kampanye.

“Mereka memperkosa semua wanita,” katanya kepada massa, sebagaimana dilaporkan oleh Agence France-Presse.

“Ada seorang misionaris awam asal Australia ... saat mereka mengeluarkan para korban ... saya melihat wajahnya dan berpikir: ‘Bajingan. Sayang sekali... mereka memperkosanya, mereka semua berbaris. Saya marah karena dia diperkosa tetapi dia sangat cantik. Saya pikir, walikota seharusnya menjadi yang pertama.’”

2. Menyebut Paus sebagai Anak Pelacur

Saat itu, Duterte melontarkan hinaan kepada Paus Fransiskus dengan menyebutnya sebagai anak pelacur karena dianggap memperburuk kemacetan lalu lintas di Manila selama kunjungan resminya.

Tak lama setelah itu, Duterte mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Vatikan guna meminta maaf secara langsung kepada pemimpin Gereja Katolik tersebut.

“Wali kota berulang kali menyatakan ingin berkunjung ke Vatikan, menang atau kalah, bukan hanya untuk menghormati Paus, tetapi karena merasa perlu menjelaskan kepada Paus dan meminta maaf,” ujar juru bicaranya, Peter Lavina, kepada media.

Duterte juga menyampaikan permintaan maaf melalui surat, yang kemudian mendapat tanggapan dari Vatikan dengan menawarkan “jaminan doa” selama masa kampanyenya.

Negaranya merupakan tempat tinggal bagi sekitar 75 juta umat Katolik di Filipina.

3. Menyebut Duta Besar AS untuk Filipina sebagai Anak Pelacur yang Gay

Duterte memicu ketegangan diplomatik dengan Washington setelah melontarkan hinaan terhadap Philip Goldberg, Duta Besar AS untuk Filipina, dengan menyebutnya sebagai “anak pelacur yang gay.”

Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidatonya di hadapan pejabat militer di Cebu City. Insiden ini membuat pemerintah AS memanggil perwakilan diplomatik Filipina di Washington untuk memberikan penjelasan atas pernyataan tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh The Guardian.

4. Ingin Memberikan Penghargaan kepada Produsen Viagra, Pfizer

Dalam sebuah pertemuan Liga Dewan Filipina di SMX Convention Center, Pasay, Duterte mengungkapkan rasa terima kasihnya terhadap Viagra dan ingin memberikan penghargaan kepada produsennya, Pfizer, pada Festival Kadayawan.

“Saya akan memberikan penghargaan kepada Pfizer,” ujar Duterte, seperti dilaporkan oleh Inquirer.net. “Dulu, ketika ayah dan saudara kita mencapai usia 50-an, hanya sampai di situ kemampuannya. Tapi sekarang, bahkan saat memasuki usia 60-an dan 70-an, berkat kecerdasan Pfizer, hidup bisa lebih lama.”

5. Menolak Bertemu dengan Sekjen PBB Ban Ki-Moon dan Menyebut PBB sebagai Organisasi Bodoh

Duterte menyatakan ia tidak akan bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, dalam KTT ASEAN di Laos karena mengaku “tidak punya waktu,” sebagaimana dilaporkan oleh Business Standard.

Pernyataan ini muncul setelah ia menyebut PBB bodoh karena terlibat dalam perang melawan narkoba di Filipina.

6. Mengancam Tokoh Gereja Katolik: “Jangan Macam-Macam dengan Saya”

Duterte melontarkan serangan terhadap Gereja Katolik dengan menyebut para uskup setempat sebagai “anak pelacur yang korup” dan menuduh mereka bertanggung jawab atas pesatnya pertumbuhan penduduk di Filipina, menurut laporan Deccan Chronicle.

Dalam konferensi pers yang berlangsung di kampung halamannya, Davao, ia juga memperingatkan para pemuka agama yang mengkritiknya dengan mengatakan, “Jangan macam-macam dengan saya.”

7. Membanggakan Diri Memiliki Dua Istri dan Dua Pacar

Dalam sebuah pidato di hadapan 10.000 pendukungnya di Taguig City, Davao, saat masih menjabat sebagai wali kota, Duterte mengungkapkan ia tidak hanya memiliki dua istri, tetapi juga dua pacar.

“Saya punya istri yang sedang sakit. Lalu saya punya istri kedua yang berasal dari Bulacan,” ujarnya, seperti dilaporkan oleh Inquirer.net. “Saya juga punya dua pacar. Satu bekerja sebagai kasir, sementara yang lainnya bekerja di toko kosmetik di mal. Yang bekerja di toko kosmetik lebih muda, sedangkan yang satunya lebih tua tapi lebih cantik.”

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 11 Mar 2025 

Editor: Redaksi

Related Stories