Indonesia
Kamis, 30 Mei 2024 12:58 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
JAKARTA – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kini masih mengundang berbagai kontroversi.
Berbagai negara sebenarnya telah menerapkan berbagai kebijakan untuk memudahkan warga memperoleh rumah dengan harga terjangkau. Indonesia sendiri dilaporkan mengikuti pola yang diterapka oleh Kenya, sebuah negara di Afrika. Lantas bagaimana hasil program tersebut di Kenya?
Pada tahun 2018, pemerintah Kenya di bawah kepemimpinan Presiden Uhuru Kenyatta meluncurkan agenda Empat Besar untuk pembangunan transformasional. Salah satu fokus utamanya adalah menyediakan perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
Pasal 43 (1)(b) Konstitusi Kenya menyatakan, setiap orang berhak atas perumahan yang mudah diakses dan memadai, serta standar sanitasi yang wajar. Meski demikian perumahan telah menjadi tantangan besar di Kenya, terutama di pusat perkotaan, di mana sekitar 61% rumah tangga tinggal di permukiman informal.
Dilansir dari Equal Times Rabu, 29 Mei 2024 menurut data dari LSM perumahan internasional Habitat for Humanity, pemerintah Kenya saat ini hanya menyediakan 50.000 rumah setiap tahunnya. Jauh di bawah kebutuhan sebenarnya yakni 250.000 unit . Angka ini untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi 55 juta penduduk Kenya.
Rencana awal Presiden Kenyatta adalah untuk membangun 500.000 unit rumah dalam lima tahun di kota-kota dan wilayah metropolitan di seluruh negeri melalui skema perumahan terjangkau. Program ini sendiri dikenal sebagai Boma Yangu (yang berarti ‘Rumahku’ dalam bahasa Kiswahili), dengan kontribusi dari pekerja melalui sistem potongan gaji (check-off).
Bagi mereka yang bekerja di sektor informal, mereka harus memberikan kontribusi sukarela untuk mengumpulkan uang jaminan sebesar 10%. Uang ini diperlukan untuk memulai perjalanan menjadi pemilik rumah.
Namun, muncul beberapa masalah seperti pendanaan yang tidak mencukupi untuk program tersebut, hipotek yang tidak terjangkau, dan kekurangan lahan yang tersedia untuk pembangunan. Situs pengecekan fakta Africa Check mencatat lebih dari 3% (13.529 unit) dari target 500.000 unit rumah akhirnya dibangun pada akhir tahun 2022 telah rusak.
Seorang pedagang buah di pasar pinggir jalan di ibu kota Kenya, Nairobi, Pauline Wanjiru, termasuk di antara mereka yang cepat mendaftar dalam program ini.
Dia memberikan kontribusi bulanan yang berbeda dengan tujuan mengumpulkan 250.000 shilling Kenya atau sekitar Rp31 juta (kurs Rp124) dalam waktu tiga hingga empat tahun. In merupakan setoran minimum yang diperlukan untuk skema ini. Jika mendapat alokasi rumah, dia akan melunasi sisa utangnya melalui rencana hipotek yang berjangka 15 hingga 20 tahun.
Meski terkadang ia tidak membayar cicilan hingga dua bulan, ia tetap membayar skema tersebut. Bahkan ketika Kenya menghadapi tantangan ekonomi sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020.
Namun, nasib skema yang kemudian berganti nama menjadi Program Perumahan Terjangkau, saat ini tidak pasti. Hal tersebut karena adanya penolakan terhadap retribusi wajib yang diberlakukan pada pekerja berpenghasilan tetap di Kenya.
Pemerintah setempat telah mendirikan Dana Pembangunan Perumahan Nasional untuk mendanai pembangunan 250.000 unit rumah setiap tahun. Rumah akan dijual kepada warga Kenya yang memenuhi syarat dengan harga antara 1 juta hingga 3,5 juta shilling Kenya (sekitar Rp123 hingga Rp432 juta). Tergantung pada apakah mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan perumahan sosial, perumahan terjangkau, atau hipotek di pasar terbuka.
Namun gaji bulanan rata-rata Kenya menurut data terbaru dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2019 adalah sekitar 14.000 shilling Kenya (sekitar Rp1,7 juta). Dengan gaji tersebut bahkan apa yang disebut sebagai ‘rumah terjangkau’ menjadi hal yang mustahil dan di luar jangkauan.
Seorang pekerja mengatakan kepada Al-Jazeera, “Saya tidak ingin membayar retribusi perumahan untuk rumah yang tidak akan pernah saya atau anak-anak saya tinggali.”
Salah satu poin terbaru dari kebijakan Tapera di Indonesia yang menarik perhatian adalah pemotongan gaji para pekerja. Termasuk karyawan swasta dan pekerja mandiri sebesar 3% per bulan sebagai iuran peserta Tapera.
Menanggapi hal itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan, Tapera yang disetor paling lambat tanggal 10. Dan itu bukan uang yang hilang, tetapi digunakan untuk membiayai anggota dalam membeli rumah.
“Jadi, bukan uang hilang, ada jaminan hari tua, ada ini, ada itu, tapi itu bukan uang hilang,” ujar Basuki di Jakarta, pada Selasa, 28 Mei 2024.
“Melalui program ini masyarakat yang terdaftar bisa memanfaatkannya sebagai bantalan ekonomi guna memiliki rumah,” katanya.
Tetapi sejumlah kritik keras muncul. salah satunya dari Yenny Wahid,aktivis demokrasi yang juga putri Gus Dur. Melalui akun Instagram @YennyWahid dia menyebut Tapera memberatkan.
Dalam perhitungannya, dengan gaji sekitar Rp7 juta per bulan, seorang pekerja akan mendapatkan potongan sebesar Rpz25.000 per bulan dan baru akan memperoleh rumah setelah 3.468 bulan atau setara dengan 285 tahun. “Dapat kerjaan susah, giliran udah dapat kerja, pas gajian potongannya di luar nurul,” ujarnya.
Yenny juga mengkritik pengelolaan dana Tapera. Dia mengatakan, para pekerja yang sudah membayar iuran akan menghadapi masalah transparansi dalam penggunaan dana, hal yang sering menjadi keluhan dalam program jaminan sosial lainnya yang dijalankan pemerintah.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 29 May 2024