Singapura
Rabu, 17 Desember 2025 13:15 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi

JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa pengumuman kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 dijadwalkan pada Selasa, 16 Desember 2025. Jadwal yang sempat mengalami penundaan tersebut memunculkan kekhawatiran di berbagai pihak, baik dari kalangan pekerja maupun pelaku usaha.
“Tadi sudah di meja beliau. Kalau bisa hari ini ditandatangani, kalau enggak besok ditandatangani. Sesudah itu nanti saya umumkan, Insya Allah,” kata Yassierli usai menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin, 15 Desember 2025.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan menolak besaran UMP 2026. Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan bahwa sikap tersebut dikaitkan oleh adanya perumusan RPP tentang Pengupahan yang menjadi dasar penetapan UMP 2026. Pembahasan RPP Pengupahan tersebut dinilai mengabaikan peran buruh hingga mengesampingkan ketentuan kebutuhan hidup yang layak.
“KSPI menolak peraturan pemerintah tentang pengupahan yang terbaru dan menolak nilai kenaikan upah minimum 2026 yang berasal dari peraturan pemerintah yang dimaksud,” ucap Said dalam konferensi pers secara virtual.
Dalam tayangan Youtube @BeritaSatuChannel pada acara Investor Market Today, beberapa waktu lalu, ekonom senior Universitas Indonesia, Nina Sapti Triaswati menyatakan penundaan pengumuman UMP 2026 bisa berdampak pada ekonomi. Berikut ulasannya.
Perlu diingat bahwa kebijakan Upah Minimum sebenarnya hanya menjangkau sekitar 40% pekerja di sektor formal. Namun, sekitar 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal yang tidak terikat aturan upah ini.
Dari kelompok formal pun, hanya sebagian kecil yang memiliki perjanjian kerja tetap, sehingga efektivitas UMP dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas sebenarnya cukup terbatas.
Untuk menghindari konflik antara buruh dan pengusaha, pemerintah disarankan menggunakan data detail dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data mengenai pengeluaran rata-rata rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi antarsektor harus menjadi fondasi utama. Dengan landasan data yang kuat, penentuan variabel "Alfa" diharapkan dapat lebih akurat dan dapat diterima oleh semua pihak tanpa menimbulkan gejolak sosial.
Penetapan upah yang tidak proporsional berisiko menjadi bumerang bagi penciptaan lapangan kerja. Jika kenaikan upah dipaksakan tanpa melihat kemampuan industri, perusahaan akan cenderung mengerem rekrutmen atau bahkan melakukan efisiensi.
Tren penurunan penciptaan lapangan kerja yang sudah terlihat sejak semester lalu menjadi sinyal bahwa kebijakan upah harus menjaga keseimbangan agar tidak mematikan industri.
Salah satu pemicu perdebatan adalah penggunaan variabel Alfa yang sering kali disamaratakan untuk semua sektor. Padahal, ada sektor yang tumbuh pesat seperti industri pengolahan, tetapi ada juga yang sedang merosot seperti pertambangan.
Jika hanya menggunakan angka rata-rata, sektor yang sedang sulit akan terbebani, sementara sektor yang tumbuh tinggi menjadi tidak adil bagi pekerjanya. Idealnya, variabel ini harus lebih mendalam dan spesifik per sektor.
Meskipun penundaan pengumuman UMP tidak langsung mengubah angka pertumbuhan ekonomi secara drastis, risiko makro yang mengintai adalah kenaikan pengangguran terselubung. Selain itu, fokus utama harus tertuju pada Upah Riil.
Jika inflasi meningkat sementara kepastian upah belum ada, maka daya beli riil masyarakat akan merosot karena nilai pendapatan mereka kalah cepat dibanding kenaikan harga barang.
Kini, semua masyarakat menunggu pengumuman resmi dari pemerintah terkait kenaikan UMP 2026. Kejelasan informasi bukan hanya soal angka kenaikan, tetapi juga sebagai instrumen untuk menjaga kepercayaan publik terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Penantian ini diharapkan segera berakhir, agar masyarakat dan pelaku usaha dapat melangkah ke tahun 2026 dengan perencanaan yang lebih matang dan terukur.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Maharani Dwi Puspita Sari pada 17 Dec 2025
3 bulan yang lalu