10 Poin Penting Uji Materi UU Cipta Kerja yang Kini Telah Dikabulkan MK

Jumat, 01 November 2024 20:02 WIB

Penulis:Redaksi

Editor:Redaksi

10 Poin Penting Uji Materi UU Cipta Kerja yang Kini Telah Dikabulkan MK
10 Poin Penting Uji Materi UU Cipta Kerja yang Kini Telah Dikabulkan MK (Istimewa)

JAKARTA - Baru-baru ini isu perihal UU Cipta Kerja kembali jadi perbincangan publik. Pasalnya, diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian besar permohonan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. MK juga mengubah sejumlah pasal dalam UU tersebut.

Adapun uji materi ini diajukan oleh Partai buruh dan sejumlah serikat pekerja lainnya. Dalam permohonannya, Partai Buruh dkk menggugat puluhan pasal dalam UU Ciptaker.

"Mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023, pada Kamis 31 Oktober 2024.

Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Para pemohon mengajukan 71 poin petitum yang terdiri dari tujuh klaster dalil, yakni dalil mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).

Berikut  10 poin penting dalam putusan tersebut :

1.  UU Ketenagakerjaan dipisah 
Dalam putusan kemarin MK meminta pembentuk undang-undang segera untuk membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru terpisah dari UU cipta kerja.

Hal ini didasarkan karena terkait Ketenagakerjaan dinilai sulit dipahami awam dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan yang berkepanjangan.

2. Utamakan tenaga kerja Indonesia daripada tenaga asing 
MK membatalkan baleid multitafsir yang sebelumnya tidak mengatur pembatasan secara tegas soal masuknya tenaga kerja asing dan hakim menambahkan klausul dengan mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada pasal 81 angka 4 UU cipta kerja.

3. Jenis outsourcing dibatasi 
Dalam putusan kemarin hakim meminta supaya undang-undang kelak menyatakan agar menteri menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih Daya atau outsourcing demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.

Tak hanya itu penyedia jasa outsourcing dan pekerja perlu punya standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dibuat outsourcing, sehingga buruh Hanya bekerja sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian.

4. Durasi kontrak kerja dipertegas
MK menegaskan lagi soal aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu atau PKWT yang sebelumnya dikembalikan pada perjanjian atau kontrak kerja.

Melalui putusan ini, demi melindungi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh, MK menegaskan bahwa durasi PKWT maksimum 5 tahun--termasuk bila terdapat perpanjangan PKWT.

5. Upah harus mengandung komponen hidup layak

UU ciptaker melenyapkan penjelasan terkait komponen hidup layak pada pasal terkait pengupahan yang sebelumnya diatur pada UU ketenagakerjaan.

Maka dari itu MK meminta pasal soal pengupahan harus mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja atau buruk secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, Perumahan, pendidikan pemakaian kesehatan kemarin rekreasi dan jaminan hari tua.

6. Skala upah harus proporsional 
Dalam putusan tersebut majelis hakim juga merasa perlu menambah frasa "yang proporsional" untuk melengkapi frasa "struktur dan skala upah".

MK juga memperjelas frasa "indeks tertentu" dalam hal pengupahan sebagai "variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh".

7. Upah minimum sektoral berlaku lagi

Dalam UU Cipta Kerja sebelumnya telah menghapus ketentuan upah minimum sektoral (UMS). MK menilai, kebijakan itu dalam praktiknya sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja.

MK menegaskan, UMS harus diberlakukan karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan. Sehingga, dihapusnya UMS dinilai bisa mengancam standar perlindungan pekerja.

8. Serikat pekerja berperan dalam pengupahan, upah harus memperhatikan masa kerja

Mahkamah juga memasukkan kembali frasa "serikat pekerja/buruh" pada aturan soal upah di atas upah minimum. Pasalnya dalam UU sebelumnya kesepakatan itu dibatasi hanya antara perusahaan dan pekerja.

9. PHK baru bisa dilakukan setelah putusan musyawarah 
MK menegaskan, perundingan bipartit terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Apabila perundingan itu mentok, MK menegaskan bahwa PHK "hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap" sesuai ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

10. Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK)

Mahkamah juga menyatakan bahwa pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah. MK menegaskan, Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "paling sedikit".

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 01 Nov 2024