Tutur Agraris vs Pembangunan Pariwisata dalam "Parasite in Paradise Land"

Karya instalasi "Parasite and Paradise Land" garapan komunitas Abstraculation dalam pameran "Sipp Setiap Saat" di Griya Santrian Gallery.

DENPASAR - Pameran seni rupa "Sipp Setiap Saat" yang digelar di Santrian Gallery masih dibuka sampai tanggal 25 Januari 2021. Pameran yang diikuti puluhan perupa dari 16 komunitas seni di Bali menghadirkan banyak karya penuh makna.

Salah satu karya padat makna yang ditampilkan dalam pameran tersebut adalah karya instalasi berjudul "Parasite and Paradise Land" garapan komunitas Abstraculation. Karya tersebut ditempatkan di luar ruang, tepatnya di sebelah barat laut galeri. Dari perwujudannya, karya tersebut tampak sangat harmonis dengan alam sejalan dengan pesan yng hendak disampaikan.

Abstraculation, Senin (28/12/2020) menyatakan karya kolaborasi tersebut merupakan respons pihaknya terhadap "matinya" pariwisata oleh pandemi Covid-19. Karya tersebut bukan menyoal kritik, namun lebih kepada penyadaran dan perumpamaan terhadap situasi sosial ekonomi Bali saat ini.

"Pandemi menyadarkan kita bahwa yang utama menjadi jantung dan nafas hidup adalah sektor agraris, serta secara sadar menjaga eksistensi ekologis. Tidak bisa kita pungkiri, pembangunan atau infrastuktur penunjang pariwisata itu penting, namun jangan sampai mengeksploitasi secara berlebihan," kata grup tersebut tanpa berkenan menonjolkan pribadi.

Mereka sepakat, pembangunan ada oleh karena kebutuhan masyarakat dalam menjalani hidup. Namun, idealnya diperlukan kesadaran dari setiap orang agar tidak melupakan sudut estetika, sehingga semua dapat bersinegi dan tidak saling menghimpit.

"Secara visual, karya kami menggunakan objek temuan, yakni objek alam seperti kayu, batu, air, tanah, dan ranting pohon, maupun objek pabrikan seperri besi bekas bangunan, seng, cat, dan tali. Semua dirangkai menjadi kesatuan karya instalasi, dimana bahan-bahan tersebut turut menyimbolkan Bali," katanya.

Tali yang digunakan oleh mereka dalam karya tersebut dibentuk seperti Pulau Bali. Tapi ini sekaligus menjadi "bingkai" dari batas Pulau Bali. Lesung batu yang berisi air menjadi simbolisasi danau. "Pohon utuh yg telah mati, disambung dan terangkai oleh dahan-dahan buatan dari besi yang menyerupai dahan aslinya, sehingga terlihat seperti parasit yang "numpang" menempel, menggerogoti pohon itu hingga mati perlahan," jelasnya.

Selanjutnya, besi-besi yang bertebaran menyimbolkan artefak kota mati, daun-daun kering yang jatuh berguguran seperti tergantikan oleh daun-daun buatan yang berkarat. Pada pohon itu juga terdapat kungkungan atau rumah lebah tradisional yang digantung pada pohon. Objek tersebut menjadi simbol dari suara lebah yang khas dan harmoni telah tergantikan oleh raungan knalpot yang mencipta kebisingan.

"Pada prosesnya, karya kolaborasi ini juga menyesuaikan dengan pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan. Kami menggarap karya ini di studio masing-masing, tentunya dengan ide dan konsep yang lebih dahulu telah kami sepakati bersama. Jadi, setiap anggota membuat bagian tertentu, setelah jadi akan dirangkai bersama di areal yang telah disediakan oleh galeri, sehingga karya menjadi kesatuan utuh, bahkan hasil akhirnya ada kejutan visual yang tidak terduga," tutur Abstracultion.

Abstraculation merupakan komunitas seni yang terbentuk pada 23 Desember 2014. Keanggotaannya ada 8 orang anggota, yang terdiri dari 7 orang perupa, dan seorang penulis pendamping. Mereka yang tergabung adalah Tien Hong, Ketut Agus "Dangap", Murdika, Made Kenak Dwi A., Komang Trisno Adiwirawan, Kadek Darmanegara, Putu Sastrawibawa, Piki Suyersa, dan Made Susanta Dwitanaya (penulis pendamping).

Abstraculation merupakan gabungan dari kata abstract dan articulation (abstrak dan artikulasi). Nama komunitas ditentukan oleh kecenderungan para anggotanya yang bermain dalam gaya visual abstrak.

Sejak terbentuk enam tahun silam, Abstraculation telah melakoni enam kali pameran kolektif, yakni "Meraba angin" di Sankara Art Space (2014), "In The Layer" di Art Tomorow Art Apace, Ubud Bali (2015), "Benang merah" di Bentara Budaya Yogyakarta (2016), "Abstract is?" di Bentara Budaya Bali (2017), "Ruang kemungkinan" di Bentara Budaya Jakarta (2019), dan "Sipp Setiap Saat" oleh Gurat institut di Griya Santrian Galerry, Sanur.

Bagikan

Related Stories