Sesat Pikir Hakim MK atas Kebijakan Privatisasi BUMN

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori

Sebagaimana diketahui publik, FSPPB telah melakukan uji materi atas pasal yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada bulan Juli 2020, terutama berkaitan dengan frasa yang terdapat pada Pasal 77 huruf c dan d, yaitu:

Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:

c.Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;

d.Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Sementara itu, pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Sesmen BUMN) Susyanto dalam proses persidangan menyatakan penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi karena yang dijual adalah bukan saham perseroan. Menurut pendapatnya, berdasarkan pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Pada akhirnya, keputusan yang diambil oleh 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang mengadili materi perkara FSPBB tersebut, melalui Ketua MK menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya, dalam pembacaan Putusannya pada Hari Rabu, tanggal 29 September 2021.

Menurut MK, tidak ada larangan privatisasi anak perusahaan BUMN, selain itu tidak menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara. Terlebih lagi sejumlah peraturan perundang-undangan serta putusan MK telah memberi koridor hukum bahwa langkah tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara untuk menjadi penentu dan pengendali kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Bahkan, menurut pendapat hakim konstitusi Saldi Isra sejauh dan dipandang dilakukan dalam koridor dimaksud, norma dalam Pasal 77 huruf c dan d UU Nomor 19 Tahun 2003 tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945.

Menarik untuk dicermati adalah pernyataan wakil pemerintah soal posisi anak sampai cucu-cicit perusahaan BUMN, apabila privatisasi atau penjualan saham anak-cucu perusahaan bukanlah menjual saham induk perseroan BUMN. Benarkah logika ini, dan langkah privatisasi anak-cucu perusahaan sesuai dengan koridor hukum dan norma Pasal 77 huruf c dan d yang dimaksud oleh MK tersebut?  

Pertanyaan substansi bagi hakim MK yang berpendidikan tinggi melalui logika sederhana, yaitu apakah anak-cucu sampai cicit perusahaan BUMN bisa didirikan atau lahir tanpa induk perusahaan? Bagaimana halnya harta kekayaan (asset) milik induk BUMN yang berada pada anak, cucu dan cicit perusahaan? Kalau anak perusahaan BUMN dijual karena bukan BUMN itu sendiri, lalu darimana operasi BUMN yang sebelumnya adalah induk menghasilkan kinerja keuangannya, sementara dukungan operasi selama ini berasal dari anak, cucu dan cicit perusahaan.

Saham Induk-Anak dan Laba

Sesat pikir hakim MK yang lain terkait Putusannya menolak uji materi hukum FSPPB yaitu soal setelah anak perusahaan BUMN diprivatisasikan. Pernyataan MK, bahwa "tidak ada larangan" privatisasi anak perusahaan BUMN karena tidak menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara sesungguhnya ahistoris dan absurd. Jika hakim MK belajar pada sejarah kolonialisme Belanda yang dimulai oleh misi dagang VOC, maka VOC saat itu telah berhasil mengatur jalannya pemerintahan Kerajaan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia).

Langkah kehilangan penguasaan negara itu dapat dilakukan dengan penguasaan sektor ekonomi strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, salah satunya adalah sektor energi. Anak perusahaan BUMN saat ini berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan norma dan koridor hukum yang mengaturnya, termasuk terminologi kepemilikan saham dan pembagian laba atau keuntungan (dividen).

Apabila anak perusahaan BUMN diprivatisasikan, menurut logika Susyanto (Sesmen BUMN) yang dijual bukan saham perseroan dan tujuannya untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Pertanyaannya kepada Sesmen BUMN adalah, apakah jika anak perusahaan BUMN tidak diprivatisasikan memiliki arti, bahwasannya pemilikan sahamnya tidak secara luas oleh masyarakat selama ini? Lalu siapa yang memiliki anak perusahaan BUMN selama ini kalau kemudian privatisasilah yang dianggap menjadi pemilikan saham oleh masyarakat secara luas?

Logika ini amatlah naif jika disampaikan konsekuensi dari privatisasi anak perusahaan BUMN yang berbentuk perseroan terbuka atas pemilikan saham oleh sebagian individu atau kelompok masyarakat. Kenapa hanya menjadi pemilikan saham sebagian masyarakat atau bukan lagi pemilikan saham seluruh masyarakat adalah disebabkan oleh para pembeli yang membeli saham anak perusahaan BUMN tersebut adalah orang yang memiliki modal uang atau kapital (capital). Artinya, privatisasi anak perusahaan BUMN justru merubah struktur kepemilikan saham beserta konsekuensi tata kelola organisasi dan manajemen perseroan terbuka yang mengikutinya.

Misalkan, terkait soal laba atau rugi anak perusahaan yang selama ini disetorkan kepada induknya yang BUMN tidak lagi utuh apabila telah diprivatisasikan. Contoh sederhana saja, apabila selama ini laba anak perusahaan dari kinerja operasinya diperoleh Rp100, maka langsung dicatatkan Rp100 kepada induknya BUMN. Namun, apabila anak perusahaan telah diprivatisasikan, misalkan dengan memecah sahamnya (stock split) ke pasar bursa melalui Initial Public Offering/IPO sejumlah 49 persen, maka otomatis laba usaha tidak lagi utuh disetorkan kepada induknya BUMN.

Dengan menggunakan contoh laba Rp100 itu, maka anak perusahaan BUMN yang telah diprivatisasikan hanya akan menyetorkan laba yang telah disepakati Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk dibagikan sejumlah 51 persen dari Rp100 atau sejumlah Rp51. Sedangkan sisa laba usaha sejumlah Rp49, akan dibagikan kepada para pemegang saham lainnya sesuai porsi kepemilikan sahamnya di pasar bursa yang telah diperjualbelikan tersebut.

Pelajaran lain juga dapat mengambil kasus pada beberapa BUMN yang telah melantai di pasar bursa/modal terhadap saham negara yang telah dipecah sebagian, misalnya BUMN Perbankan, Garuda Indonesia, Aneka Tambang, Krakatau Steel dan lain-lain logika dan contoh sederhana diatas dapatlah diambil simpulan, bahwa dengan melakukan privatisasi BUMN ataupun anak perusahaan BUMN dapat berimplikasi pada kinerja BUMN untuk mencapai kemakmuran semua orang atau seluruh rakyat Indonesia dari perspektif pembagian laba perusahaan yang dicapai. Hanya para pemegang saham sajalah yang akan menerima pembagian laba anak perusahaan yang telah diprivatisasikan tersebut, hal ini berbeda dengan laba yang diterima utuh masuk ke induk BUMN dan Kas Negara ketika tidak diprivatisasikan.

Dalam konteks kepemilikan saham inilah, lambat laun penguasaan negara tidak lagi utuh 100 persen disebabkan RUPS pun harus mengakomodasi kepentingan sebagian para pemegang saham yang bukan saham negara. Oleh karena alasan inilah, maka langkah privatisasi anak perusahaan BUMN seharusnya ditolak oleh hakim MK, bukan malah menolak gugatan FSPPB melalui uji materi UU BUMN yang akan menjadi preseden buruk langkah privatisasi anak, cucu dan cicit perusahaan serta BUMN yang lainnya. 

Kelihatannya hakim MK tidak cermat memahami perbedaan substansial antara Perusahaan Negara atau BUMN dengan Perseroan Terbatas (PT) kaitannya dengan komposisi kepemilikan saham dan konsekuensi laba usaha atas logika diprivatisasikan dan tidak diprivatisasikan. Lagipula, saham negara tidak bisa dipecah dan dibagi-bagikan porsinya dengan tujuan meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan merupakan 2 (dua) alasan yang berbeda.

Justru sebaliknya, dengan langkah MK melegalkan privatisasi ini, maka kepemilikan masyarakat menjadi terbatas, dan posisinya bukan lagi BUMN atau anak perusahaan BUMN disebabkan porsi saham dan penguasaan negara juga hanya sejumlah porsi saham yang tidak dijual, apa ini makna penguasaan negara sebagai pengendali menurut hakim konstitusi yang mulia? Kalau logika sederhana ini saja hakim konstitusi tidak paham, maka publik memang harus mendesak Mahkamah Konstitusi harus dibubarkan! 

Jika boleh dianalogikan dalam sebuah keluarga, ibaratnya MK telah melegalkan pemisahan anak dari Ibunya dengan tidak hanya akan menanggung konsekuensi ekonomi namun juga moralitas pemecahan saham negara yang sarat perburuan mencari selisih lebih (rente) keuntungan jangka pendek semata untuk para pemilik modal, negara dan rakyat banyak yang dirugikan! (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 


Related Stories