Sajian Palegongan Klasik Baru dalam "Campuhaning Rasa" Sanggar Seni Tedung Agung

Pagelaran virtual "Campuhaning Rasa" Sanggar Tedung Agung

Denpasar, Balinesia.id - Hari-hari terakhir hajatan Bulan Bahasa Bali 2021 dimeriahkan sajian Sanggar Seni Tedung Agung. Sesolahan seni sastra bertajuk “Campuhaning Rasa” menghadirkan pementasan daring yang berbasis pada pelegongan klasik.

Penampilan sanggar seni yang berpusat di Ubud, Gianyar ini didukung oleh para seniman muda yang enerjik dan berbakat. Adapun Tabuh Pelegongan Klasik “Anglep Sari” dan Tari Legong “Markandya Lango” menjadi basis dari karya seni virtual yang telah ditayangkan melalui chanel YouTube Disbud Prov. Bali sejak Jumat, 26 Februari 2021 lalu.

Pentas berdurasi 38 menit tersebut terwujud berkat sentuhan penata tabuh, I Wayan Sudirana, dan penata tari, Gede Agus Krisna Dwipayana, serta I Nyoman Cerita sebagai penasehat. Adapun Penanggung Jawab Sanggar Tedung Agung adalah Tjokorda Putra Sukawati, sedangkan Penanggung Jawab Pementasan adalah Tjokorda Agung Ichiro Sukawati.

Sudirana menerangkan, pentas diawali dengan menyajikan tabuh “Anglep Sari”. Tabuh ini merupakan tabuh petegak klasik Pelegongan Gaya Peliatan karya dari Wayan Sudirana sendiri. "Anglep artinya elok atau indah, dan sari artinya inti. Tabuh ini merupakan sebuah rangkuman sari-sari keindahan Gaya Klasik Pelegongan khas Guru Lotring, diantaranya ada Gambangan, Angklungan, dan Sekar Gendot," katanya.

Tabuh itu dinilai sebagai bentuk karya klasik baru, dengan pola ritme dan melodi klasik sebagai pondasi tabuh. "Kalau bedanya, itu tergantung orang yang mendengarkan. Tapi, kalau saya sebagai komposer, kedua karya ini berbentuk klasik baru atau neo-classical. Artinya pola ritme dan melodi klasik menjadi dasar atau pondasi, kemudian dikemas dengan tampilan klasik di jaman sekarang,” tambah Sudirana.

Setelah disuguhkan keindahan nada tabuh "Anglep Sari", Sanggar Seni Tedung Agung kemudian menampilkan tari “Markandya Lango”, sebuah garapan tari palegongan yang juga dikategorikan sebagai klasik baru neo-classical. Tari Legong “Markandya Lango” mengangkat cerita perjalanan Maha Rsi Agung Markandya di Tanah Bali.

Sebagai seni pertunjukan, Markandya Lango ini memang tampak sangat klasik, namun tetap menorehkan beberapa bentuk kekinian. Pakem-pakem klasik pelegongan dipertahankan dengan nafas dan warna khas pelegongan Peliatan. Namun, ada hal-hal baru yang diolah, sehingga tetap saja tampak klasik, misalnya gelungan berbahan janur (ental) yang dirancang begitu indah, bentuknya baru, namun tampak sangat klasik.

"Ide tari ini terinspirasi dari tarian legong klasik. Beberapa poin yang menjadi ciri khas tarian legong tetap dipertahankan. Dalam pentas kami didukung oleh 7 penari, diantaranya 6 penari perempuan dan 1 penari laki-laki, yang berperan sebagai Rsi Markandya," terang penata tari, Gde Krishna Dwipayana.

Terkait kostum, ia pun mengatakan bahwa pihaknya juga ingin menampilkan ciri khas garapan yang ada pada pernak-pernik dari janur (ental) itu. "Janur itu dianyam, namun tidak menghilangkan ciri khas dari tari legong,” imbuhnya. (jpd/and)

Bagikan

Related Stories