Sah Jadi WBTB Indonesia, Akademisi Sebut Prasi Berpeluang Jadi WBTB Dunia

DENPASAR Penetapan prasi sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia disambut baik kalangan akademisi. Penetapan WBTB Indonesia terhadap karya sastra yang bermediakan lontar ini dinilai sebagai langkah awal menjadikannya WBTB dunia.

Hal tersebut diungkapkan akademisi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, I Gede Gita Purnama Arsa Putra, S.S., M. Hum., di Denpasar, Selasa (13/10/2020). Akademisi yang sedang intens meneliti prasi, berharap penetapan tersebut direspons dengan gerakan pendokumentasian prasi, kemudian memperjuangkannya bersama-sama ke dunia untuk menjadi WBTB dunia.

“Barangkali ini bisa jadi jalan untuk menetapkan prasi sebagai bagian warisan budaya dunia, karena persebaran lukisan di atas lontar cukup luas di wilayah Asia Tenggara,” ucapnya.

Ia menjelaskan, selama ini prasi memang belum banyak dilirik oleh kalangan umum. Pada ruang akademis, Prodi Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) menjadi satu-satunya prodi yang secara khusus membuat mata kuliah Prasimologi.

“Harapan saya, tentu langkah tersebut dapat disambut dan ditularkan pada seluruh institusi yang memiliki prodi seni rupa,” imbuhnya.

Gita Purnama mengatakan, prasi merupakan jenis karya seni rupa yang bermediakan daun lontar. Asal mula kelahirannya tidak banyak diketahui. Namun, melihat jenis-jenis yang ditemukannya, prasi diduga merupakan respons dari wacana teks tradisional.

Ketika karya sastra tradisional seperti kidung, parwa, kakawin, dan lain sebagainya menarasikan kisah dalam kata-kata, prasi lahir dan berupaya untuk memvisualkan kisah tersebut.

“Menurut sejumlah sumber, prasi berkembang sudah cukup lama, bahkan diduga menjadi cikal bakal wayang beber dan lukisan wayang Kamasan di Bali. Tapi ini masih perlu riset lebh jauh. Tapi, kemungkinan ini ada, sebab media tulis lontar lebih awal dimanfaatkan oleh tradisi literasi Nusantara ketimbang media tulis kertas atau daluang maupun ulantaga,” jelasnya.

Menurutnya, prasi tidak terkait dengan fungsi ritual atau spiritual. “Jika arahnya pada kebutuhan ritual, maka cenderung disebut rerajahan,” terangnya.

Seiring berjalannya waktu, memang kemudian prasasti merambah industri, khususnya mendukung pariwisata. “Naskah prasi tertua yang ditemukan adalah prasi Dampati Lelangon yang sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional. Prasi ini dibawa dari Lombok ke Batavia dalam misi penyerangan Belanda ke Kerajaan Cakranegara pada tahun 1894,” pungkasnya.

Bagikan
Bambang Susilo

Bambang Susilo

Lihat semua artikel

Related Stories