Putusan Mahkamah Konstitusi soal UU Cipta Kerja Membingungkan

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Rujukan bersama dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Untuk menjalankan UUD 1945 dibentuklah susunan organisasi ketatanegaraan yang terdiri dari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Setelah amandemen konstitusi keempat pada Tahun 2002, maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. 

Dasar hukum operasional Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dan, berbagai putusan telah diambil oleh MK dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya itu, tidak sedikit pula keputusan tersebut tidak selaras dengan UUD 1945. Salah satu yang mutakhir adalah soal Putusan MK terkait gugatan publik atas UU Ciptaker yang tidak menyatakan secara tegas ketentuan hukum tersebut INKONSTITUSIONAL.

Malah, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun ke depan. Apabila tidak diperbaiki, maka UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali. 

MK menyatakan, bahwa pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini demikian dinyatakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pada Hari Kamis, tanggal 25 Nopember 202. Apabila tidak diperbaiki, maka UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali. Pemerintah juga dilarang membuat aturan turunan dan kebijakan turunan dari UU Ciptaker selama 2 tahun ke depan.

Memang benar Putusan MK menyatakan, bahwa bila tidak diperbaiki, maka UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali. Dan, Pemerintah juga dilarang membuat aturan turunan dan kebijakan turunan dari UU Ciptaker selama 2 tahun ke depan. Putusan MK ini jelas membingungkan masyarakat dan pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto langsung menanggapinya, justru semakin membuat tambah tidak masuk akal secara hukum.

Pertanyaan sebelum pemerintah memperbaiki materi dari Omnibus Law atau UU Ciptaker itu, yaitu: apakah Putusan MK berlaku surut kebijakan pemerintah yang mengacu pada UU Ciptaker ini, lalu bagaimana dengan para pemangku kepentingan atau pejabat yang telah menjalankan UU Ciptaker itu, apakah dapat diproses hukum, atau bagaimana?  Konsekuensinya apabila terkait dengan persoalan ekonomi dan keuangan yang telah dikeluarkan, melanggar hukumkah?

Sebenarnya telah lama sebagian pihak bertanya, apakah Mahkamah Konstitusi (MK) kerjanya cuma menunggu uji hukum terhadap konstitusi (Judicial Review/JR) dari publik dan kemudian memutuskan setiap tuntutan yang mereka proses?  Kalau begitu, tidaklah beda dengan dosen penguji skripsi saja. 

Bukankah seharusnya seluruh UU yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dikaji secara kolektif oleh para hakim MK, lalu membuat rekomendasi ke DPR untuk memperbaiki UU yang bertentangan atau tidak sejalan dengan perintah konstitusi. Bukan malah menunggu publik mengajukan Judicial Review (JR) terus, kalau cara kerjanya begitu tentu tidak beda dengan pengangguran yang digaji besar.

Selain itu, berdasarkan UU No 23 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pada Pasal 10 itu, jelas pernyataan dan perintahnya terkait kewenangan MK, lalu pertanyaannya apakah pernah MK menguji UU tanpa adanya JR? Atau jika seandainya tidak ada publik yang mengajukan JR, lalu kerja MK apa? Sementara itu, kelompok masyarakat dan atau pemangku kepentingan (stakeholder) dibiarkan "berkonflik" atas kinerja kewenangan MK menguji Undang-Undang (UU) dengan tidak mengindahkan perintah yang terdapat pada Pasal 10 tersebut.

Maka itu, perlu kiranya publik mencoba melakukan pengujian pula atas kinerja lembaga ini, yaitu dengan cara tanpa melakukan JR lagi ke MK, nanti tentu akan terlihat perkembangannya kinerja sebenarnya atau pekerjaan MK sehari-hari. 

Tidak berbeda halnya dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yangmana
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mengluarkan anggaran setiap bulannya untuk membiayai para anggota lembaga tersebut, tapi tugas pokok dan fungsinya hanya bersidang sekali dalam setahun mendengarkan pidato Presiden Republik Indonesia, melantik dan mengambil sumpah/janji Presiden dan Wapres RI terpilih, apakah ini bukan pemborosan keuangan negara?

Sehubungan dengan Putusan MK itu, maka tentu publik bertanya tentang masih layakkah MK dipertahankan, tidakkah lebih baik mengembalikan peran dan fungsi MPR sebagai lembaga suprastruktur atau tertinggi negara dengan beberapa perbaikan relasi konstituen dan komposisi keanggotaan? Sebab, masih banyak persoalan mendasar ekonomi masyarakat yang mendesak atau prioritas, yaitu penanggulangan kemiskinan, pengangguran yang tidak menurun signifikan dan membutuhkan anggaran besar untuk melepaskan diri Indonesia membangun tidak terlalu bergantung kepada utang luar negeri. (*)

Defiyan Cori, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, (Summer School On Economic And Constitutional Law, Bayreuth Universitat-Germany,2002)


Related Stories