Puputan Margarana Bukan Akhir Perjuangan

Putra Wijaya. (Balinesia.id/jpd)

Denpasar, Balinesia.id – Puputan oleh masyarakat Bali memang dimaknai sebagai titik penghabisan. Namun, Puputan Margarana yang pecah pada 20 November 1946 bukanlah titik akhir perjuangan manusia Bali dalam mempertahankan kemerdekaan negeri.

“Setelah peristiwa heroik itu, meski I Gusti Ngurah Rai gugur, pertempuran-pertempuran masih berlanjut di seluruh Bali, jadi bukan perjuangan terakhir perjuangan masyarakat Bali mempertahankan kemerdekaan,” kata Ketua Pemuda Panca Marga atau PPM Provinsi Bali, Dr. Drs. I Made Gde Putra Wijaya, S.H., M.Si.

Ia menjelaskan, selama Revolusi Fisik, di Bali tercatat ada 131 kali pertempuran. Adapun Puputan Margarana tercatat sebagai pertempuran ke-36, dengan demikian masih ada 95 pertempuran lanjutan pasca-Puputan Margarana.

“Setelah Puputan Margarana pertempuran masih berlanjut, hingga berakhir pada 27 Desember 1949, ketika Belanda benar-benar mengakui kedaulatan Republik Indonesia,” ucapnya.

Lebih jauh dituturkan, Puputan Margarana merupakan puncak dari serangkaian peristiwa heroik yang dilakukan I Gusti Ngurah Rai sejak ditetapkan sebagai Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia atau TRI Sunda Kecil, wilayah Nusa Tenggara saat ini pada awal 1946.

Pada 16 April 1946, Pemerintah Republik Indonesia menugaskannya untuk membentuk Markas Besar Perdjoeangan Oemoem Dewan Perdjoeangan Rakyat Indonesia atau MBO DPRI Sunda Kecil.

Resimen TRI Sunda Kecil kala itu dibentuk dengan jumlah anggota 1.000 orang pemuda terlatih siap perang. Setelah dibentuk, Pasukan Induk MBO DPRI Sunda melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos Belanda di seluruh Bali, utamanya di daerah Tabanan. Namun, Belanda kemudian mengendus keberadaan Pasukan Induk di Munduk Malang.

Pasukan akhirnya dipindah ke Bengkel Anyar, sebuah desa di dekat Gunung Batukaru. Dari sana, penyerangan terhadap kedudukan Belanda terus dilakukan.Belanda sempat menyurati I Gusti Ngurah Rai untuk berunding. Namun, permohonan dalam surat tersebut ditolak, akhirnya dibalas dengan surat yang kini dikenal sebagai surat sakti.

Membaca situasi yang tak lagi kondusif, pimpinan MBO DPRI menyepakati sejumlah hal, yakni memindahkan pusat kekuatan MBO DPRI ke Desa Bon, Petang, Badung dan mengadakan Long March Gunung Agung.

Long March Gunung Agung dilakukan untuk beberapa tujuan, yakni mengalihkan perhatian Belanda dari Bali bagian barat ke timur, melakukan konsolidasi dengan masyarakat dan elemen pergerakan rakyat di seluruh Bali, serta mengurangi tekanan serdadu Belanda di Kabupaten Tabanan.

Long March Gunung Agung dimulai pada 29 Mei 1946 dengan melintasi lereng Gunung Batukaru menuju Desa Gesing, Buleleng. Dari titik itu, Pasukan Induk bergerak ke wilayah Bali bagian timur. Selama perjalanan, mereka berhasil menggelorakan semangat rakyat untuk sama-sama berjuang meski dengan senjata yang kurang memadai.

Sepanjang bulan Juni hingga Juli 1946, Long March Gunung Agung beberapa kali terlibat kontak senjata dengan Belanda. Tercatat sebanyak 7 pertempuran dengan korban anggota Pasukan Induk yang gugur sejumlah 4 orang dan dinyatakan hilang 2 orang.

Pada 10 Juni 1946, kontak senjata terjadi di Sekumpul dan Pangkung Bangka, Buleleng. Dua hari setelahnya pada 12 Juni 1946 dilakukan penyedangan terhadap Pos Tentara Belanda di Lampu, Bangli. Pada 13 Juni 1946 terjadi pertempuran di Bon, yang diakhiri dengan keputusan memindahkan Pusat Komando MBO DPRI Sunda Kecil. Akhir bulan Juni 1946, tepatnya pada 20 Juni 1946, pertempuran pecah di Pemuteran, Buleleng.

Pada Juli 1946, tepatnya tanggal 4 Juli 1946, kontak senjata pecah di Pesagi, Karangasem. Sehari setelahnya, mereka tiba di Tanah Aron. Pertempuran besar tak terhindar pada 7 Juli 1946 yang dikenal sebagai "Pertempuran Besar Tanah Aron". Hasil akhir pertempurab itu adalah kemenangan gemilang Pasukan Induk. Kala itu, 82 orang Belanda tewas. Jumlah Pasukan Induk didukung 400 orang pejuang.

Dari Tanah Aron, mereka bergerak mendaki Gunung Agung, hingga sampai di puncaknya dan bermalam semalam. Dari puncak Gunung Agung pasukan bergerak ke Kabupaten Bangli. Cadangan peluru dan senjata yang terbatas memaksa mereka untuk meminimalisir kontak senjata. Mereka sempat digempur dari darat dan udara ketika melintas di kawasan Desa Songan, namun berhasil selamat seutuhnya. Dari sana mereka bergerak menuju Buleleng.

Pada 23 Juli 1946 Pasukan Induk tiba di Munduk Pengorengan, Buleleng. Di tempat tersebut diadakan rapat pimpinan yang memutuskan bahwa Pasukan Induk MBO DPRI akan dipecah ke daerah masing-masing.

Sebagian Pasukan Induk yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai kembali ke Tabanan, dan sampai di sana pada bulan Oktober 1946. Beberapa pimpinan yang tergabung dalam Pasukan Induk itu adalah I Gusti Bagus Putu Wisnu, I Gusti Ngurah Sugianyar, I Gusti Wayan Debes, dan dua mantan serdadu Jepang, Bung Ali dan Bung Made.

Pasukan Induk di Tabanan bergerak berpindah-pindah mulai dari Batannyuh, Belayu, Kuwum, dan terakhir Desa Marga. Unsur pimpinan Resimen TRI Sunda Kecil juga tercatat pernah berkedudukan di Sobangan, Badung yang dipimpin Cokorda Agung Tresna.

Atas perintah I Gusti Ngurah Rai, pada 18 November 1946 dilakukan penyerangan terhadap Tangsi Polisi Belanda di Tabanan untuk merampas senjata dan peluru. Operasi itu berjalan sempurna. Pada 19 November 1946 malam tersiar kabar bahwa Belanda akan menyerang Desa Marga. Informasi ini direspons Pasukan Induk I Gusti Ngurah Rai, hingga akhirnya membentuk Pasukan Ciung Wanara.

Pagi hari tanggal 20 November 1946, serdadu Belanda mengepung Desa Marga. Pasukan Ciung Wanara tak punya kesempatan menyingkir, hingga pecah perang besar yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Sebanyak 96 orang pahlawan yang tergabung dalam Laskar Ciung Wanara gugur dalam Puputan Margarana. Pada pihak Belanda, tercatat 350 orang prajurit tewas. jpd

Editor: E. Ariana
Bagikan
Bambang Susilo

Bambang Susilo

Lihat semua artikel

Related Stories