Ekonomi & Pariwisata
PT HM Sampoerna Harapkan Pemerintah Tak Naikkan Tarif Cukai dan Harga Jual Eceran Rokok pada 2021
JAKARTA - Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan penurunan volume penjualan PT HM Sampoerna hingga dua digit. Terkait kondisi itu, perusahaan rokok terbesar di negeri ini berharap pemerintah tidak menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran rokok pada 2021 mendatang.
Presiden Direktur PT HM Sampoerna, Mindaugas Trumpaitis, Jumat (18/09/2020) mengatakan, pada industri rokok ada dua faktor yang menyebabkan penurunan volume penjualan. Pertama adalah pandemi Covid-19, sedangkan yang kedua adalah kenaikan tarif cukai rata-rata dan harga eceran rokok.
"Kenaikan tarif cukai rata-rata 24 persen dan harga jual eceran sebesar 46 persen yang berlaku pada 2020, serta pandemi Covid-19 menjadi dua faktor utama yang memberikan dampak signifikan pada kinerja industri ini, yang telah menyebabkan penurunan volume penjualan hingga dua digit,” kata Mindaugas melalui paparan publik yang digelar secara virtual.
Dijelaskannya, selama semester I 2020, volume industri rokok mengalami penurunan sebesar 15 persen, tidak termasuk dampak dari estimasi pergerakan inventaris perdagangan, dimana penurunan tersebut secara umum terjadi pada segmen pajak golongan 1.
Daya beli konsumen yang lebih rendah, sebutnya, memiliki tren penurunan kian cepat. Penurunan konsumsi dari produk dengan pajak dan harga yang lebih tinggi menjadi produk dengan pajak lebih rendah terjadi, sehingga produk dijual dengan harga yang lebih rendah sebagai tingkat pajak golongan 2 dan golongan 3.
Selanjutnya selama periode April-Juni 2020 Covid-19 kembali memberi hantaman yang signifikan, hingga menyebabkan koreksi terhadap kinerja perusahaan. Pihaknya pun menjelaskan bahwa sepanjang semester I 2020, total pangsa pasar perusahaan mencapai 29,3 persen atau turun 3,1 percentage point, sementara volume pengiriman 38,5 miliar batang mencerminkan penurunan sebesar 18,2 persen.
“Sampoerna menyesuaikan strategi perusahaan untuk mempertahankan daya saing bisnisnya dan menjawab tren yang berubah. Sebagai contoh, kami meluncurkan produk SKM atau sigaret kretek mesin tar tinggi untuk merespon pergeseran permintaan ke produk tar yang lebih tinggi," katanya.
Lebih jauh, Mindaugas mengatakan bahwa sepanjang 2019, pangsa pasar sigaret kretek tangan atau SKT Sampoerna tercatat mencapai 36,3 persen, sedangkan pangsa pasar sigaret putih mesin atau SPM dan SKM masing-masing sebesar 57,2 persen dan 29,6 persen.
"Sampoerna berkomitmen untuk terus mendukung pemerintah menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kondusif bagi industri tembakau, termasuk perlindungan terhadap bisnis SKT yang merupakan sektor yang paling padat karya," katanya.
Sampoerna, lanjutnya, dengan total karyawan langsung dan tidak langsung sebesar lebih dari 60 ribu orang merupakan produsen SKT terbesar di Indonesia. Sebanyak 50 ribu di antaranya merupakan karyawan SKT di empat pabrik SKT Sampoerna dan 38 mitra produksi sigaret yang tersebar di 27 kota/kabupaten di Pulau Jawa.
Ia menjelaskan, sepanjang 2015-2019, volume penjualan SKT Sampoerna terus terkoreksi. Berdasarkan perhitungan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) 5 tahun, volume penjualan SKT perseroan rata-rata berkontraksi 5,4 persen per tahun dari 23,1 miliar batang pada tahun 2015 menjadi 18,4 miliar batang rokok pada tahun 2019.
“Kunci utama untuk melindungi segmen SKT yang padat karya adalah dengan membuat kebijakan cukai yang mendukung daya saingnya dibandingkan rokok mesin, baik SKM maupun SPM, yang jauh lebih sedikit menyerap tenaga kerja. Untuk itu, kami berharap ada keberpihakan bagi segmen SKT dengan tidak menaikkan tarif cukai dan harga jual eceran untuk 2021," harapnya.
Kebijakan tersebut dipandang sangat dibutuhkan dalam iklim bisnis rokok karena akan berimbas pada perekonomian lebih luas, terlebih di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. "Selain sebagai segmen padat karya, keberadaan pabrik SKT juga memiliki multiplier effect yang signifikan di bidang sosial dan ekonomi di wilayah lokasi pabrik,” tegas Mindaugas.
Sementara itu, untuk segmen rokok mesin, pihaknya mengusulkan kenaikan pajak yang sesuai dengan inflasi dan kebijakan tarif menurut kategori yang ditetapkan untuk tarif downtrading dari segmen golongan 1 pajak tinggi menjadi segmen golongan 2 dan golongan 3. "Kami meyakini bahwa pemerintah dapat mengoptimalkan Penerimaan Perpajakannya dari produk-produk tembakau,” pungkasnya.
