Budaya
Pesan Jaga Kelestarian Hutan Sekala-Niskala dalam Fragmentari "Abhisekaning Ratu"
Denpasar, Balinesia.id - Fragmentari "Abhisekaning Ratu" dipersembahkan Sanggar Seni Maha Gita Dwijendra dalam hajatan Bulan Bahasa Bali 2021. Garapan yang disajikan secara virtual tersebut bisa disaksikan dalam kanal YouTube resmi Dinas Kebudayaan Bali, Disbud Prov. Bali, sejak Sabtu (20/2/2021).
Sejalan dengan tema Bulan Bahasa Bali 2021 "Wana Kerthi: Sabdaning Taru Mahottama", sesolahan seni sastra tersebut kental dengan pesan menjaga hutan secara sekala-niskala.
Koreografer garapan, Ida Ayu Novita Yogan Dewi,S.Pd.,M.Pd., mengatakan fragmentari tersebut berpijak pada kisah perjalanan Dang Hyang Nirartha. "Kami ingin menggambarkan perjalanan Dang Hyang Nirarta itu seperti apa yang ada dalam lontar. Untuk memberikan rasa indah dan dinamis, saya juga memanfaatkan gamelan Semarapagulingan sebagai iringannya,” katanya.
Adapun inti sajian dari fragmentari tersebut terkait dengan anugerah Dang Hyang Nirartha kepada putrinya sebagai Bhatari Melanting. Pihak penyaji menggunakan Gamelan Semarapagulingan untuk menggambarkan suasana relegi, serta seorang dalang untuk mempertegas pesan. Gamelan pengiring dipercayakan kepada komposer, I Gede Yusma Hanggara Putra, S.Sn.
Lebih jauh, Novita menambahkan bahwa melalui garapan tersebut pihaknya tidak hanya bermaksud memberi tontonan pada masyarakat, tapi juga memberi tuntunan. "Kami dari Sanggar Seni Maha Gita Dwijendra ini ingin menghibur masyarakat lewat sesolahan sastra ini, namun tetap menyelipkan pesan. Apalagi, saat ini dimasa pandemi, situasi ekonomi serba sulit masyaralat perlu diingatkan untuk tetap menjaga hutan tetap lestari, sehingga sumber-sumber air juga terjaga,” bebernya.
Dijelaskan, hutan tidak hanya berpeean sebagai sumber oksigen secara sekala. Secara niskala, hutan di Bali juga diyakini dijaga oleh pasukan Bhatari Melanting. Sesolahan
"Abhiseka Ratu" mengisahkan Bhatari Melanting yang diangkat sebagai penjaga hutan di sisi Barat Pulau Bali. Sumber kisah ini adalah "Babad Brahmana Catur" dan "Dwijendra Tattwa".
"Dikisahkan Dang Hyang Nirartha bersama keluarganya memutuskan untuk menuju Pulau Bali setelah kerajaan Majapahit runtuh. Hanya bersaranakan daun labu, beliau menyeberang Segara Rupek, lalu tiba di hutan sisi barat Pulau Bali," tuturnya.
Sampai di sana, seekor kera menunjukkan jalan kepada Dang Hyang Nirartha untuk memasuki hutan. Di tengah hutan, lalu bertemu seekor naga yang tengah membuka lebar mulutnya.
"Dang Hyang Nirartha memasuki mulut naga itu, lalu mendapatkan teratai berwarna warni.
Ketika keluar dari mulut naga, wajah Dang Hyang Nirartha berkilau, berwarna hitam dan emas," tutur Novita.
Melihat hal itu, putra-putri sangat terkejut, lalu lari tunggang langgang. Dang Hyang Nirartha kemudian mencari ke berbagai sudut hutan, hingga akhirnya menemukan putrinya itu. Kala itu, putri Dang Hyang Nirartha menyatakan diri tidak bisa melanjutkan perjalanan dan tinggal di hutan itu. Ia kemudian meminta anugerah kepada ayahnya agar bisa bertubuh halus dan abadi.
"Permintaan itu dikabulkan Dang Hyang Nirarta dan putrinya dipuja sebagai Batari Melanting hingga saat ini," katanya.
Fragmentari ini melibatkan 38 orang seniman tari, tabuh dan seorang dalang. Semua kisah itu disajikan melalui gerak tari yang ritmis dan indah. Disamping mengutamakan ekpresi dari setiap penari, pola lantai juga diolah sangat manis, sehingga membuat garapan itu menjadi lebih indah. Sajian tersebut juga diperkuat oleh kostum para penari, sehingga memperkuat karakter dari setiap tokoh dalam fragmentari itu. (jpd-and)
