Pernah Jadi Ibu Kota Sunda Kecil, Singaraja Miliki Potensi Besar Dikembangkan Jadi Wisata Sejarah

Jembatan di Pelabuhan Buleleng, salah satu tinggalan sejarah ikonik Singaraja. (Balinesia.id/IST)

Denpasar, Balinesia.id - Singaraja menjadi kota terbesar di Bali Utara yang memiliki jejak sejarah panjang. Pada masa kolonial, Singaraja dijadikan pusat pemerintahan Kolonial Belanda. Peran itu pun bertahan sampai masa pascakemerdekaan, yang dijadikan Ibu Kota Provinsi Sunda Kecil.

Perjalanan sejarah tersebut membuat Singaraja memiliki banyak tinggalan arsitektur. Warisan budaya ini pun berpeluang dikembangkan menjadi wisata sejarah. Terkait dengan hal tersebut, Universitas Warmadewa (Unwar) pun melakukan kajian pengembangan model wisata arsitektur kolonial di Kota Singaraja.

Tim Peneliti yang terdiri atas tiga akademisi lintas bidang yakni Dr. Ir. Agus Kurniawan, S.T., M.T., Dr. Drs. I Nyoman Muliana, M.Hum., dan Dewa Ayu Nyoman Sriastuti, S.T., M.T., pun berhasil memetakan model dan memberikan sejumlah saran terhadap rencana pengembangan Singaraja sebagai kota sejarah.

"Singaraja di Bali Utara menyimpan banyak kekayaan budaya, termasuk Jalur Belanda. Setelah menguasai wilayah Bali pada tahun 1846 dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahannya, Pemerintah Kolonial Belanda membangun kantor, bangunan komersial, fasilitas pelayanan publik, dan rumah dinas," kata Agus Kurniawan.

Melihat tinggalan tersebut, pihaknya pun menilai ada potensi pemanfaatan unsur perkotaan di Singaraja sebagai daya tarik wisata merupakan salah satu cara melestarikan bangunan bersejarah tersebut. "Rencana ini merupakan sebuah terobosan yang berpotensi untuk mendongkrak pariwisata. Melalui penelitian kami, kami mencoba mengajukan pola penataan dan pengembangan pada kawasan yang dianggap pusaka sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya," katanya.

Selain itu, lanjut dia, Undang-Undang R.I. No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan juga  mengamanatkan agar sumber daya dan modal kepariwisataan dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Harapannya adalah berhasil terwujudkan kawasan pusaka yang selaras dengan kondisi lingkungan di sekitarnya serta dapat menjadi kawasan berkelanjutan sesuai Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan implementasi RTRW kabupaten/kota sebagai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

"Berdasarkan hasil analisa kami, kami menyimpulkan bentuk partisipasi masyarakat dalam konservasi bangunan kolonial di kawasan Jalur Belanda," kata dia.

Ia menjelaskan, bangunan kolonial di Singaraja  didominasi oleh fungsi bangunan pemerintah dan rumah tinggal, sehingga bentuk partisipasinya meliputi pemberian penyuluhan pelestarian bangunan bersejarah; mengadakan diskusi tentang rasa memiliki dan kebanggaan dengan bangunan bersejarah bersama tokoh masyarakat; dan pendampingan terhadap masyarakat melalui kerjasama dengan pemerintah dan tokoh masyarakat.

"Selanjutnya adalah pengecatan ulang bangunan sehingga memunculkan suasana kota lama Singaraja; mengadakan festival budaya, kerjasama dengan pemerintah, profesional dan masyarakat; dan pengupayaan pendaftaran bangunan lama yang belum terdaftar untuk menjadi bangunan bangunan kolonial," kata dia. Jpd

Editor: E. Ariana
Bagikan

Related Stories