Penggalian Nilai-nilai Pancasila Harus Dimulai dari Keariafan Lokal

Rembug Sastra Sarasastra tentang Pancasila sebagai rangkaian dari Ubud Royal Weekend, Sabtu (12/6/2021).

Gianyar, Balinesia.id - Akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Gusti Agung Paramita, berpandangan bahwa nilai-nilai Pancasila harus digali dari kearifan lokal. Upaya ini penting dilakukan untuk menjaga Pancasila agar tidak tercabut dari akar-akar kebudayaan Indonesia, asal tempatnya lahir.

"Jika Pancasila tercabut dari akar kebudayaan Indonesia, maka itu akan jadi masalah yang serius bagi Pancasila itu sendiri, sebab Pancasila digali dari akar kultural Indonesia," katanya dalam Rembug Sastra Sarasastra edisi Juni 2021 bertajuk "Pancasila Bhineka Tunggal Ika Triwikrama Yuga: Pembumian Nilai Kebangsaan yang Berakar Kebudayaan untuk Menjawab Tantangan Jaman" sebagai bagian dari Ubud Royal Weekend 2021 di Museum Puri Lukisan Ubud, Sabtu (12/6/2021).

Dalam hal pembumian nilai-nilai Pancasila, Paramita berpandangan agar negara tidak selalu memposisikan diri sebagai subjek Pancasila, sedangkan rakyat sebagai objek Pancasila. Pandangan ini dipandang terbalik, sebab Pancasila telah berada pada kebudayaan rakyat itu sendiri.

"Saat ini pemerintah seakan selalu jadi subjek, sedangkan rakyat jadi objek, padahal Pancasila sudah berada di dalam akar kebudayaan dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran Pancasila harus dihubungkan dengan karakter kebudayaan Indonesia," tandasnya.

Sementara itu, narasumber lainnya I Gde Agus Darma Putra, menjelaskan Bhineka Tunggal Ika dalam tiga zaman berbeda. Menurut peneliti lontar ini, salah satu tantangan dalam menafsir suatu teks adalah mendekati pengalaman dan kondisi saat teks tersebut diciptakan.

"Pada masa lalu, di abad ke-14, saat Kakawin Sutasoma atau Purusadasanta dilahirkan, Bhineka Tunggal Ika, merujuk pada ajaran Buddha dan Siwa, di mana ajaran Buddha dan Siwa oleh pengarangnya, Mpu Tan Tular adalah Dharma," katanya.

Selanjutnya, masih pada masa lalu, yakni pada abad ke-20, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila catatan keduanya dapat dijejak pada Dokumen Penerangan R.I. pada tanggal 1 Juni 1964 yang berjudul "Tjamkan Pantja Sila! Pantja Sila Dasar Falsafah Negara" yang berisi kumpulan pidato Soekarno mengenai Pancasila.

"Bhineka Tunggal Ika sendiri diresmikan sebagai semboyan negara pada 17 Oktober 1951 melalui PP RI No. 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara," katanya.

Ke depan, Bhineka Tunggal Ika yang memiliki semangat persatuan sangat penting untuk masa depan. Persatuan yang kuat dapat menciptakan negara berdaulat yang kuat.

Pada masa kini, menyitir pernyataan Soekarno, "Merdeka Sekarang", Darma Putra memaknai frasa itu sebagai kebebasan mendapat pendidikan dan sumber-sumber bacaan. "Untuk memahami sumber-sumber bacaan yang barangkali bersumber dari berbagai macam bahasa, maka sangat baik jika mempelajari banyak bahasa," tandasnya. jpd


Related Stories