Menyoal Kinerja Dirut Garuda Indonesia, Menhub dan Menteri BUMN

ILustrasi mskapai Garuda Indonesia

Irfan Setiaputra telah lebih dari setahun menjabat sebagai Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Garuda Indonesia menggantikan I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau dikenal dengan Ari Askhara yang sebenarnya dari penilaian kinerja manajerial justru melakukan perbaikan cukup baik pada perusahaan negara ini.  Ari Askhara dicopot dari jabatannya karena terkait dengan permasalahan hukum (belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) skandal penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton di dalam pesawat Garuda.

Dengan melihat kenyataan pencopotan pimpinan BUMN yang sesuka hati ini, meskipun Pasal 14 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberikan kewenangan (diskresi) sangat besar pada sosok Menteri BUMN, maka perlu kiranya dipertimbangkan hal-hal mendasar dalam sebuah organisasi dan manajemen yang mengelola usaha atau bisnis untuk kepentingan orang banyak, paling tidak diantaranya adalah, rekam jejak dan kompetensi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), memang memberikan ruang waktu tanpa batas untuk melakukan penggantian pimpinan atau Direksi dan Komisaris BUMN, bahkan dengan istilah Luar Biasa (RUPSLB) Menteri BUMN bisa setiap saat mencopot jajaran Dewan Manajemen BUMN.

Posisi seperti "digantung" inilah yang terkadang membuat tidak aman, bebas dan nyaman para sosok pimpinan BUMN yang diminta untuk memenuhi sasaran (target) kinerja perusahaan negara yang telah ditetapkan. Untuk itulah, perlu perubahan dalam mengelola BUMN secara lebih profesional dan mengurangi mutasi dan rotasi atau pemberhentian tanpa alasan yang jelas dan sesuka hati (like and dislike), termasuk intervensi politis.

Berdasarkan pada data kinerja manajemen keuangan Garuda Indonesia dengan mengambil kasus semasa dipiloti oleh Ari Askhara dan Irfan Setiaputra, maka dapat diperbandingkan secara berhadap-hadapan (apple to apple). Dimasa kepemimpinan Ari Askhara, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mencatatkan laba bersih sebesar US$6,98 Juta pada pembukuan Tahun 2019, berbalik dari posisi rugi pada Tahun 2018 sebesar US$231,15 Juta.

Sementara diera Irfan Setiaputra, terjadi penurunan kinerja manajemen disebabkan oleh pendapatan usaha Garuda yang anjlok, hanya US$ 1,13 Miliar per-September 2020. Pandemi Covid-19 yang sedang dialami Indonesia membuat kinerja PT Garuda Indonesia Tbk (kode BEI: GIAA) makin terpuruk. Maskapai penerbangan milik negara tersebut harus menanggung kerugian senilai US$ 1,07 Miliar atau setara Rp 15,34 Triliun hingga Triwulan III 2020 (asumsi kurs: Rp 14.280 per dolar).


Berdasarkan laporan keuangan Garuda yang dirilis melalui keterbukaan informasi, pada Hari Kamis 5 Nopember 2020,  kinerja Kuartal III Tahun  2020 ini berbanding terbalik dengan capaian laba (profit) pada periode yang sama tahun lalu (2019). Garuda saat itu mampu meraih laba bersih US$ 122,42 Juta atau Rp 1,74 Triliun.

Bahkan seolah ingin mengalihkan isu kinerja ini, Menteri BUMN Erick Thohir justru mengangkat masalah kontrak 12 pesawat dengan pihak Bombardier CRJ 1.000 yang digunakan PT Garuda Indonesia dengan mengakhiri kontrak sewa operasi (operating lease) dengan Nordic Aviation Capital (NAC) yang sebetulnya masih akan jatuh tempo pada tahun 2027 mendatang. Apakah memang benar ini permasalahan utama Garuda Indonesia sehingga berkinerja buruk, jangan sampai ibarat pepatah, "memercik air didulang terpercik muka sendiri".

Kondisi keuangan yang buruk ini tentu saja tidak bisa diarahkan pertanggungjawabannya hanya pada Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia, tetapi harus dibebankan juga pada penanggungjawab RUPS, yaitu Menteri BUMN. Tentu saja mengganti Dirut Garuda Indonesia menjadi sebuah keharusan manajerial, tetapi menseleksi secara cermat dan tepat sesuai rekam jejak (track record) dan kompetensi sosok penggantinya jauh lebih penting. 

Disamping itu, dan ini lebih penting terkait kebijakan dalam industri perhubungan atau transportasi (darat, laut dan udara) juga harus tepat dan masuk akal (reasonable), memperketat pelaksanaan persyaratan rapid tes dan macam-macam tes lainnya justru akan memperburuk kinerja industri transportasi sebagai jalur distribusi dan logistik nasional. Untuk itu kinerja Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga harus dievaluasi, apakah ada maksud dan tujuan lain dibalik kebijakan ini!?

Dengan beban utang yang mencapai Rp70 Triliun lebih, maka salah satu upaya mengatasi rendahnya kapasitas terisi penumpang Garuda Indonesia adalah dengan menghentikan persyaratan tes rapid antigen yang tak masul akal sebelum menaiki pesawat, sebab tidak semua calon penumpang berkenan melakukannya. Sebaiknya, disiplin atas protokol kesehatan non tes saja yang dianjurkan supaya ketersediaan kursi penumpang kembali menuju normal dan Garuda Indonesia secara bertahap dapat memulihkan kondisi keuangannya. 

Tentu masih banyak cara lain untuk menyelamatkan kinerja maskapai kebanggaan milik bangsa ini semenjak masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, kehandalan dan kepiawaian Erick Tohir yang katanya salah seorang pengusaha sukses korporasi swasta dipertaruhkan atau lebih baik mengundurkan diri saja daripada lebih banyak BUMN yang ambruk dengan alasan Covid19! (*)

*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories