Ekonomi & Pariwisata
Menguak Potensi dan Tantangan Penerapan Energi Nuklir di Indonesia
JAKARTA – Utusan Khusus Indonesia di COP 29, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia tetap berkomitmen untuk melaksanakan semua janji yang telah dibuat oleh para presiden sebelumnya terkait transisi energi, sejalan dengan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim.
“Kami akan terus memenuhi komitmen-komitmen tersebut. Akan ada program baru yang ditawarkan oleh Presiden Prabowo dan pemerintahannya kepada dunia,” ujar Hashim dalam sambutannya sekaligus membuka Paviliun Indonesia di COP 29, Baku Azerbaijan, Senin, 11 November 2024, dikutip dari keterangan tertulis PLN.
Hashim mengatakan, salah satu program yang ditawarkan Presiden Prabowo adalah program penambahan pembangkit listrik sebesar 100 gigawatt yang akan diterapkan oleh pemerintah dalam 15 tahun ke depan. “Di mana 75% atau 75 gigawatt akan berasal dari energi baru terbarukan yang memerlukan investasi sebesar US$235 miliar,” katanya.
- BRI Salurkan Kredit Rp199,83 Triliun untuk Pertanian, Perkuat Ketahanan Pangan Nasional
- Pewaris Grup Djarum, Lucy Agnes Memilih Jalan Hidup Sebagai Biarawati
- 5 Rekomendasi Film Asia dan Hollywood Terbaru Tayang di Bioskop Desember 2024
Dia menambahkan, ada komitmen lain dalam upaya mereduksi emisi karbon melalui penerapan Carbon Capture and Storage. Pemerintah Indonesia siap menjalin kerja sama dengan perusahaan multinasional dan pihak lain yang berminat berinvestasi di sektor tersebut.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berkomitmen melakukan diversifikasi sumber energi dan mengurangi emisi karbon. Salah satunya dengan mempertimbangkan energi nuklir sebagai bagian dari rencana penyediaan tenaga listrik yang lebih bersih dan tetap andal.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya energi memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi pada level global. “Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia akan menjadi bagian integral dari strategi energi untuk memasukkan energi nuklir ke dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN),” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman P. Hutajulu, dilansir dari esdm.go.id.
Jisman menekankan tantangan utama dalam pengembangan teknologi nuklir terletak pada persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap energi nuklir. Edukasi dan sosialisasi yang tepat menjadi kunci untuk mengubah pandangan publik dan membangun kepercayaan terhadap keamanan serta manfaat teknologi ini.
Pakar energi dari Universitas Gadjah Mada Tumiran menyatakan, pemanfaatan energi nuklir untuk penyediaan listrik adalah langkah positif dalam mendukung upaya pemerintah mengurangi ketergantungan pada energi fosil. “Nuklir adalah salah satu opsi yang dapat dipilih Pemerintah untuk sistem listrik di Indonesia di masa depan,” ujarnya.
Sangat beralasan jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar, dengan pemerataan akses listrik terutama di daerah terpencil dan perbatasan. Selain itu, sektor industri juga memerlukan pasokan listrik dalam jumlah besar.
Jika melihat kembali perjalanan rencana pembangunan PLTN di Indonesia, hingga saat ini masih menuai pro dan kontra. Namun, insiden kecelakaan PLTN Fukushima, Jepang, ternyata tidak mempengaruhi pengembangan PLTN di seluruh dunia.
“Sejak Fukushima tidak mempengaruhi pembangunan PLTN, bahkan trendnya semakin tinggi. Jika go nuclear tinggal memilih teknologinya saja,” papar Kepala BATAN, Djarot S. Wisnubroto, Senin, 15 Januari 2018, dilansir dari bapeten.go.id.
Sementara, Kepala BAPETEN Jazi Eko Istiyanto menekankan pentingnya menyusun infrastruktur untuk deteksi dini, seperti pemasangan Radiological Data Monitoring System (RDMS). “Potensi ancaman tidak hanya berasal dari PLTN, sehingga tidak punya pun ancaman tetap ada.”
Perdebatan program nuklir di Indonesia tidak lepas dari aspek sosial politik, ditambah dengan kurangnya prioritas terhadap energi nuklir. Pengamat nuklir Bakri Arbie berpendapat, dibutuhkan keberanian DPR dan pemerintah untuk mengambil keputusan yang memberikan kesejahteraan masyarakat demi terciptanya keadilan.
Dilansir dari jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, dengan judul Pemenfaatan Energi Nuklir Guna Mendukung Net Zero Emission dalam Rangka Terwujud Ketahanan Energi Nasional, pengelolaan energi nuklir memerlukan standar keselamatan yang sangat ketat untuk mencegah risiko yang dapat membahayakan, baik bagi manusia maupun lingkungan.
Ini berarti setiap aspek, mulai dari perencanaan, konstruksi, operasi, hingga pengelolaan limbah nuklir, harus dilaksanakan dengan tingkat disiplin yang sangat tinggi. Teknologi nuklir merupakan teknologi yang sangat kompleks dan memerlukan pemahaman teknis yang mendalam.
Negara yang berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir harus memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam berbagai aspek, seperti desain reaktor, teknik pengayaan bahan bakar, pengelolaan limbah radioaktif, serta penanganan keadaan darurat.
Penguasaan teknologi ini juga mencakup kemampuan untuk berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi baru di bidang nuklir. Tanpa penguasaan teknologi yang memadai, risiko kesalahan teknis dapat meningkatkan potensi terjadinya bencana nuklir secara tinggi.
Pembangunan PLTN di Indonesia saat ini masih menuai pro dan kontra, terutama terkait keamanan dan risiko bencana dari unsur radioaktif yang dapat membahayakan kesehatan serta merusak lingkungan.
Melihat dampak radioaktif dari bencana PLTN Fukushima, Jepang pada 2011, Chernobyl, Ukraina (dahulu Uni Soviet) pada 1986, dan beberapa insiden PLTN lainnya, membuat masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap pembangunan PLTN di Indonesia.
Pro dan kontra dapat diminimalisir dengan penggunaan teknologi dan desain nuklir yang lebih aman bagi masyarakat. Kelompok yang pro dengan pembangunan PLTN berpendapat bahwa PLTN dapat meningkatkan bauran pasokan energi nasional dan menggantikan PLTU yang akan ditutup di Indonesia.
Sementara, masyarakat yang kontrdengana pembangunan PLTN berargumen PLTN tidak diperlukan selama Indonesia memiliki sumber energi yang lebih aman dan dengan biaya yang lebih rendah.
Pembangunan PLTN memang memerlukan biaya awal yang cukup besar dan pengelolaan limbah yang memakan waktu lama. Namun, keuntungan yang diperoleh jauh lebih beragam, seperti waktu pengoperasian yang lebih dari 80 tahun, rendahnya emisi CO2, dan minimnya penggunaan lahan.
Kelebihan dan Kelemahan Penggunaan Energi Nuklir
Energi nuklir memiliki efisiensi yang tinggi. Dalam reaktor nuklir, reaksi fisi inti atom menghasilkan energi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti batu bara atau minyak bumi. Sejumlah kecilbahan bakar nuklir dapat menghasilkan daya yang besar, sehingga memungkinkan tercapainya efisiensi energi yang tinggi.
Energi nuklir menggunakan uranium sebagai bahan bakar utama, dan pasokan uranium yang ada saat ini memungkinkan pemanfaatan energi nuklir untuk jangka waktu yang panjang.
Selain itu, teknologi reaktor generasi baru juga dapat memanfaatkan bahan bakar nuklir yang lebih melimpah, seperti thorium. Ini menunjukkan potensi energi nuklir sebagai sumber energi yang berkelanjutan di masa depan.
Dilansir dari Greenpeace, pabrik dan reaktor nuklir menjadi target empuk untuk tindakan kriminal seperti ancaman teroris, kecelakaan pesawat baik yang disengaja maupun tidak, serangan siber, dan peperangan. Struktur bangunan pabrik dan reaktor nuklir, yang mengandung material radioaktif, tidak dirancang untuk mengatasi ancaman tersebut.
Pembangkit listrik tenaga nuklir memiliki tingkat risiko yang berbeda jika terjadi kerusakan, dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. Hal ini terbukti pada bencana yang terjadi di Fukushima Daiichi dan juga dalam konflik militer yang melibatkan fasilitas nuklir.
Biaya untuk menghasilkan tenaga surya berkisar antara 36 hingga 44 dolar AS per megawatt-hour (MWh), menurut laporan dari World Nuclear Industry, sementara biaya untuk menghasilkan tenaga angin berkisar antara 29 hingga 56 dolar AS per MWh. Di sisi lain, biaya untuk menghasilkan tenaga nuklir berkisar antara 112 hingga 189 dolar AS per MWh.
Selama satu dekade terakhir, laporan tersebut memperkirakan biaya tenaga surya telah turun hingga 88%, sementara biaya tenaga angin menurun hingga 69%. Namun, biaya untuk tenaga nuklir justru meningkat sebesar 23%.
Selain itu, banyaknya tahapan dalam siklus bahan bakar nuklir menyebabkan produksi limbah dengan kandungan radioaktif yang tinggi. Hingga kini, belum ada pemerintah yang mampu memecahkan solusi yang untuk mengolah limbah tersebut dengan aman.
- Triliunan Rupiah Raib ke Judol, Ini 4 Jurus Pemerintah untuk Menumpasnya
- Cara Memulai Usaha Warmindo dengan Modal Rp6 Juta
- Permohonan PK Alex Denni Dinilai Mampu Dorong Isu Pentingnya Reformasi Peradilan
Sebagian dari limbah nuklir ini akan tetap memiliki tingkat radioaktif yang tinggi selama ribuan tahun, yang tentu menjadi ancaman bagi lingkungan dan generasi mendatang.
Pengelolaan limbah nuklir juga membebani para pembayar pajak, baik di Eropa maupun Amerika Utara. Pada tahun 2019, laporan dari US Energy Department mengungkapkan estimasi biaya untuk pembersihan limbah nuklir dalam jangka panjang meningkat pesat, mencapai 100 juta dolar hanya dalam satu tahun.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 18 Nov 2024