Mengenang Kisah Heroik Perjuangan I Gusti Ngurah Rai

Ilustrasi Puputan Margarana. (Balinesia.id/sudajidesaku.blogspot.com)

Badung, Balinesia.id – Rentang Desember 1945 hingga November 1946 menjadi bulan-bulan yang sangat penting dalam perjuangan revolusi fisik di Bali. Antara bulan itulah I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya melakukan konsolidasi kekuatan laskar pejuang Bali hingga akhirnya pecah Puputan Margarana tanggal 20 November 1946.

Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Bali, Dr. I Made Gde Putra Wijaya, menuturkan pada 31 Desember 1945, I Gusti Ngurah Rai bersama yakni I Gusti Bagus Putu Wisnu, Subroto Aryo Mataram, Cokorda Bagus alias Cokorda Brengos, dan I Wayan Ledang menggelar Ekspedisi Lintas Laut dari Bali menuju Yogyakarta untuk memohon dukungan kepada pemerintah pusat yang tengah beribukota di Yogyakarta.

“Perjalanan beliau melalui Pantai Celukan Bawang, Buleleng menggunakan perahu seorang nelayan dan sampai di Banyuwangi, Jawa Timur pada 1 Januari 1946. Dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju Yogyakarta dengan menyamar untuk menghindari endusan intel-intel dan serdadu Jepang berjaga sangat ketat,” tutur turunan pejuang 45 ini di Badung, Sabtu (10/10/2020).

Di Yogyakarta, I Gusti Ngurah Rai bersama rombongan menghadap Presiden Soekarno, Menteri Pertahanan, Amir Syarifudin, dan Kepala Staf Umum, Letnan Jenderal Urip Sumodiharjo di Markas Tertinggi Tentara Republik Indonesia (TRI), termasuk bertemu Panglima Besar Sudirman.

Akhir dari pertemuan itu adalah dilantiknya I Gusti Ngurah Rai sebagai Komandan Resimen TRI Sunda Kecil. Pangkatnya diangkat dari Mayor menjadi Letnan Kolonel oleh Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia, Urip Sumodiharjo, atas nama Panglima Besar.

Setelah sukses menerima dukungan dari Pemerintah Pusat, rombongan kembali ke Bali dan sampai di Pantai Yeh Kuning, Jembrana pada 5 April 1946. Dari titik itu, mereka menuju Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, Tabanan. “Kala itu sudah terjadi perubahan politik di Bali, dimana Pasukan Sekutu yang menggandeng Belanda, di bawah Serdadu Gajah Merah telah mendarat di Bali dan berhasil menguasai kota di seluruh Bali. Mereka mengambil alih kekuatan Jepang dan mempengaruhi Dewan Raja-raja di Bali,” tuturnya.

Pada 16 April 1946, I Gusti Ngurah Rai mendapat mandat dari Pemerintah Pusat untuk mendirikan Markas Besar Perdjoeangan Oemoem Dewan Perdjoeangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil. Resimen TRI Sunda Kecil kemudian dibentul dengan jumlah anggota 1.000 orang pemuda terlatih siap perang. Merekalah dikenal sebagai Pasukan Induk MBO DPRI Sunda Kecil.

“Tak lama setelah dibentuk, Pasukan Induk MBO DPRI Sunda melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos Belanda di seluruh Bali, utamanya di daerah Tabanan. Namun, Belanda kemudian mengendus keberadaan Pasukan Induk di Munduk Malang. Kondisi ini membuat pusat komanda dipindah ke Bengkel Anyar, sebuah desa di dekat Gunung Batukaru,” terangnya.

Putra Wijaya menuturkan, dari titik itulah kemudian perlawanan terus dilakukan. Markad MBO DPRI dipindahkan ke Desa Bon, Petang, Badung. “Pasukan induk juga menggelar Long March Gunung Agung yang dimulai pada 29 Mei 1946. Selama Long March Gunung Agung sepanjang Juni-Juli 1946, terjadi 7 kontak senjata dengan Belanda dengan yang terbesar adalah Pertempuran Tanah Aron, Karangasem pada 7 Juli 1946. “Dari 7 pertempuran, ada 4 orang anggota Pasukan Induk yang gugur dan 2 lainnya dinyatakan hilang,” katanya.

Pada 23 Juli 1946, Pasukan Induk menggelar rapat pimpinan di Munduk Pengorengan, Buleleng. Dari sana disepakati bahwa Pasukan Induk akan dipecah ke daerah masing-masing. Pasukan yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai kembali ke Tabanan, dan sampai pada bulan Oktober 1946. Beberapa pimpinan yang tergabung dalam Pasukan Induk itu adalah I Gusti Bagus Putu Wisnu, I Gusti Ngurah Sugianyar, I Gusti Wayan Debes, dan dua mantan serdadu Jepang, Bung Ali dan Bung Made.

“Pasukan Induk di Tabanan bergerak berpindah-pindah mulai dari Batannyuh, Belayu, Kuwum, dan terakhir Desa Marga. Atas perintah I Gusti Ngurah Rai, pada 18 November 1946 dilakukan penyerangan terhadap Tangsi Polisi Belanda di Tabanan untuk merampas senjata dan peluru. Operasi itu berjalan sempurna,” jelasnya.

Namun, pada 19 November 1946 malam tersiar kabar bahwa Belanda akan menyerang Desa Marga. Informasi ini direspons Pasukan Induk I Gusti Ngurah Rai, hingga akhirnya membentuk Pasukan Ciung Wanara. “Pagi hari tanggal 20 November 1946, serdadu Belanda mengepung Desa Marga. Pasukan Ciung Wanara tak punya kesempatan menyingkir, hingga pecah perang besar yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Sebanyak 96 orang pahlawan yang tergabung dalam Laskar Ciung Wanara gugur dalam Puputan Margarana. Pada pihak Belanda, tercatat 350 orang prajurit tewas,” tutur Putra Wijaya.

Editor: E. Ariana
Bagikan
Bambang Susilo

Bambang Susilo

Lihat semua artikel

Related Stories