Ekonomi & Pariwisata
Mengenal Profil dan Aset 7 BUMN di Bawah Pengelolaan BP Danantara
JAKARTA – Pemerintah Indonesia diketahui telah membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BP Danantara), yang dirancang sebagai superholding untuk mengelola sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta entitas kekayaan negara lainnya.
BP Danantara didirikan untuk mengonsolidasikan aset negara dalam satu lembaga, guna meningkatkan pengelolaan yang lebih optimal dan efisien. Kepala BP Danantara Muliaman Darmansyah Hadad menyatakan badan ini diharapkan dapat menciptakan model pengelolaan investasi yang terintegrasi, mirip dengan Temasek di Singapura.
Ada tujuh perusahaan pelat merak akan dialihkan pemerintah dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke BP Danantara. Jumlah ini merupakan tahap awal, setelah badan baru tersebut diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
- Mengintip Budaya Kerja di Perusahaan Korea Selatan yang Disiplin dan Dinamis
- Turunkan Kredit Macet, Dirut BRI Paparkan Strategi Peningkatan Kualitas Aset
- Kualitas Aset Membaik, Ini Langkah BRI Tekan Rasio Kredit Bermasalah
BUMN yang akan dikelola BP Danantara antara lain PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), PT PLN (Persero), dan PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID.
Mengenai hal ini, yuk kita intip profil dari masin-masing perusahaan pelat merah tersebut!
Bank Mandiri
Dilansir dari bankmandiri.co.id, PT Bank Mandiri didirikan sebagai Persero berdasarkan Akta No.10 pada 2 Oktober 1998 dan dikenal sebagai PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pembentukan Bank Mandiri merupakan bagian dari program restrukturisasi perbankan yang dilaksankan pemerintah Indonesia.
BMRI menghelat initial public offering (IPO) pada 14 Juli 2003, di mana perusahaan melepas 2,9 miliar saham dengan harga Rp675 per saham.
Pada Juli 1999, empat bank milik negara—Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia—bergabung menjadi Bank Mandiri, di mana masing-masing bank sebelumnya memiliki peran penting dalam mendukung perkembangan ekonomi Indonesia.
Setelah melalui proses konsolidasi dan integrasi bisnis, Bank Mandiri menggelar IPO pada 14 Juli 2003. Kala itu, emiten melepas 2,9 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp675 saham.
Sepanjang perjalanannya, Bank ini menjalankan berbagai aksi korporasi untuk memperkuat bisnisnya di sektor keuangan dan perbankan, termasuk program transformasi yang mulai diterapkan sejak 2005. Pada tahun 2014, Bank Mandiri ditargetkan untuk meraih kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia dan masuk dalam jajaran lima besar bank di Asia Tenggara (ASEAN).
Pada tahun 2020, Bank Mandiri menetapkan target untuk menjadi salah satu dari tiga bank terbesar di ASEAN dalam hal kapitalisasi pasar serta berperan sebagai pemain utama di kawasan tersebut.
Kinerja Bank Mandiri semakin gemilang, dilihat dari performa perusahaan di 2023, terlihat dari pertumbuhan aset konsolidasi sebesar 9,12% YoY yang mencapai Rp2.174 triliun. Kredit konsolidasi juga mengalami peningkatan sebesar 16,29% menjadi Rp1.398 triliun.
Dana Pihak Ketiga (DPK) naik menjadi Rp1.577 triliun, tumbuh 5,78%. Laba bersih konsolidasi mencapai Rp55,1 triliun, tumbuh 33,7%. Tingkat NPL konsolidasi tercatat pada 1,19%, turun 73 bps YoY, dengan rasio coverage NPL sebesar 326,34%.
Di tahun ini, strategi bisnis Bank Mandiri berfokus pada percepatan pertumbuhan di berbagai sektor potensial guna memperkuat dominasinya di industri perbankan.
BRI
Dilansir dari bri.co.id, Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan salah satu bank milik negara terbesar di Indonesia. Bank ini didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja pada tanggal 16 Desember 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah.
Sejak 1 Agustus 1992, berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 7/1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21/1992, status BRI berubah menjadi perseroan terbatas, dengan kepemilikan sepenuhnya di tangan pemerintah.
Pada tahun 2003, pemerintah memutuskan untuk menjual 30% saham BRI, sehingga menjadi perusahaan publik dengan nama resmi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, yang masih digunakan hingga sekarang.
Saat itu, perusahaan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (Bursa Efek Indonesia), dengan kode saham BBRI. Kepemilikan saham BRI mayoritas dimiliki negara sebesar 56,75%, sementara sisanya dimiliki pemegang saham publik.
Saat penawaran perdana, harga saham Bank BRI ditawarkan sebesar Rp875 per lembar, namun pada 2010 telah melampaui Rp12.000 per lembar. Kenaikan harga saham ini mencerminkan kinerja Bank BRI yang terus tumbuh dari tahun ke tahun.
Kinerja Bank BRI semakin kuat, terbukti pada kuartal II/2024 perusahaan beserta entitasnya berhasil mencatatkan laba kinerja positif sebesar Rp29,90 triliun. Berdasarkan laporan keuangan, pada kuartal III/2024, laba bersih mencapai Rp45,36 triliun.
Selain laba, hingga akhir September 2024, BRI berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp1.353,36 triliun, tumbuh 8,21% secara tahunan. Dari jumlah kredit tersebut, sekitar 81,70% atau Rp1.105,70 triliun disalurkan ke segmen UMKM. Pertumbuhan kredit ini berkontribusi pada peningkatan aset BRI sebesar 5,94% menjadi Rp1.961,92 triliun.
Bank BRI terus berinovasi dalam produk dan layanan perbankan yang mengikuti perkembangan zaman untuk memenuhi kebutuhan para nasabah.
BNI
Dilansir dari bni.co.id, PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (selanjutnya disebut BNI atau Bank) awalnya didirikan di Indonesia sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946, tertanggal 5 Juli 1946.
Kemudian, melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1968, BNI ditetapkan menjadi Bank Negara Indonesia 1946 dan statusnya berubah menjadi Bank Umum Milik Negara. Peran BNI sebagai bank yang diberi mandat untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan berkontribusi dalam pembangunan nasional dikukuhkan oleh Undang-Undang No. 17 tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19/1992, BNI mengubah status hukumnya menjadi Perseroan Terbatas (Persero). Saat ini, 60% saham BNI dimiliki oleh negara, sementara 40% sisanya dimiliki oleh masyarakat, termasuk individu dan institusi, baik domestik maupun asing.
BNI kini menjadi bank nasional terbesar ke-4 di Indonesia berdasarkan total aset, total kredit, dan total dana pihak ketiga. Untuk memberikan layanan keuangan yang terintegrasi, BNI didukung oleh sejumlah anak perusahaan, yaitu BNI Multifinance, BNI Sekuritas, BNI Life Insurance, BNI Ventures, BNI Remittance, dan hibank.
BNI menunjukkan kinerja yang positif. Hingga kuartal III/2024, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar Rp16,3 triliun, meningkat 3,5% secara tahunan (YoY) dibandingkan Rp15,75 triliun tahun sebelumnya. Selama sembilan bulan pertama, BNI berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp735,02 triliun, naik 9,5%.
Seiring dengan peningkatan kredit, aset BNI juga mengalami kenaikan menjadi Rp1.068,08 triliun pada September 2024, tumbuh 5,8% dibandingkan dengan September 2023 yang tercatat sebesar Rp1.009,31 triliun.
Sementara, dana pihak ketiga mencapai Rp769,74 triliun, tumbuh 3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang sebesar Rp747,59 triliun.
PLN
Dilansir dari web.pln.co.id, pada 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN (Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara), yang mengelola bidang listrik, gas, dan kokas, namun dibubarkan pada 1 Januari 1965.
Pada waktu yang bersamaan, dua perusahaan negara, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang bertanggung jawab atas pengelolaan tenaga listrik negara dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mengelola gas, resmi didirikan.
Pada tahun 1972, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18, status Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan diberikan kuasa sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), dengan tugas utama menyediakan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang memberi peluang bagi sektor swasta untuk terlibat dalam bisnis penyediaan listrik, PLN beralih statusnya pada tahun 1994 dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Persero (Persero) dan tetap berperan sebagai PKUK dalam penyediaan listrik untuk kepentingan umum hingga sekarang.
PLN membukukan nilai asset setelah melakukan transformasi bisnis selama empat tahun terakhir. Terhitung sejak 2020, aset PLN yang awalnya Rp1.588 triliun menjadi Rp1.691 triliun di semester I/2024 atau naik Rp102 triliun. Pertumbuhan aset ini menjadikan PLN sebagai BUMN utilitas terbesar di Indonesia.
Selain itu, perusahaan juga berhasil mengelola aset dengan baik, yang berdampak pada peningkatan jumlah pelanggan sebesar 15,3%, dari 79 juta pelanggan pada tahun 2020 menjadi 91,1 juta pelanggan pada pertengahan 2024.
Upaya peningkatan aset dan jumlah pelanggan ini didukung oleh konsolidasi proses bisnis yang menjadikan PLN perusahaan yang lebih modern dan siap menghadapi perubahan iklim bisnis global.
Saat ini, PLN terus mengoptimalkan pemanfaatan aset yang dimilikinya, termasuk melalui inovasi bisnis di luar kelistrikan, atau Beyond kWh, yang menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan. Langkah ini sejalan dengan perubahan iklim industri dan meningkatnya kebutuhan masyarakat.
Pertamina
Eksistensi Pertamina dimulai pada sekitar 1950-an, ketika pemerintah Indonesia menunjuk Angkatan Darat untuk mendirikan PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara guna mengelola ladang minyak di wilayah Sumatera.
Perusahaan tersebut kemudian berganti nama menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (Permina) pada 10 Desember 1957, yang kini diperingati sebagai hari kelahiran Pertamina.
Pada tahun 1960, PT Permina bertransformasi menjadi Perusahaan Negara (PN) Permina. Selanjutnya, pada 20 Agustus 1968, PN Permina bergabung dengan PN Pertamin untuk membentuk PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).
Peran Pertamina semakin strategis setelah pemerintah melalui UU Nomor 8/1971 menetapkan perusahaan ini untuk bertanggung jawab atas produksi dan pengolahan migas dari ladang-ladang minyak serta penyediaan kebutuhan bahan bakar dan gas di Indonesia.
Melalui UU Nomor 22/2001, pemerintah mengubah status Pertamina sehingga penyelenggaraan Public Service Obligation (PSO) kini dilaksanakan melalui kegiatan usaha. Pertamina dipercaya pemerintah untuk menjadi perusahaan induk di sektor energi sejak ditetapkan oleh Kementerian BUMN pada 12 Juni 2020.
Saat ini, Pertamina mengelola enam subholding yang beroperasi di berbagai bidang energi, yaitu Upstream Subholding yang dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi, Gas Subholding yang dikelola oleh PT Pertamina Gas Negara.
Refinery & Petrochemical Subholding yang dijalankan PT Kilang Pertamina Internasional, Power & NRE Subholding yang dijalankan PT Pertamina Power Indonesia, Commercial & Trading Subholding yang dijalankan oleh PT Pertamina Patra Niaga, serta Integrated Marine Logistics Subholding yang dikelola oleh PT Pertamina International Shipping.
Peran penting yang dijalankan Pertamina menandai babak baru dalam perjalanan bisnis perusahaan, setelah lebih dari enam dekade memberikan kontribusi nyata dalam menyediakan energi yang telah mendukung kehidupan bangsa Indonesia serta berbagai wilayah internasional.
Empat tahun setelah restrukturisasi organisasi dan bisnis, periode 2020-2023 mencatatkan pertumbuhan signifikan pada aset Pertamina, yang meningkat 32% menjadi US$91,1 miliar atau sekitar Rp1.390 triliun pada akhir 2023.
Menurut laporan tahunan 2023, aset perusahaan tercatat sebesar US$69,14 miliar pada 2020, kemudian meningkat menjadi US$78,05 miliar pada 2021. Jumlah aset kembali naik menjadi US$87,8 miliar pada 2022, dan pada akhir 2023 mencapai US$91,1 miliar atau sekitar Rp1.390 triliun.
Dilansir dari pertamina.com, di masa depan, Pertamina menargetkan produksi sebesar 650 ribu BOEPD (Barrels of Oil Equivalent Per Day) pada 2025 dari operasi internasional, sebagai bagian dari total target produksi 1,9 juta BOEPD pada 2025, dalam upaya untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi Indonesia.
Telkom Indonesia
Dilansir dari telkom.co.id, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) adalah BUMN yang bergerak pada layanan teknologi informasi, komunikasi, dan telekomunikasi digital di Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia memiliki mayoritas saham Telkom sebesar 52,09%, sementara 47,91% sisanya dimiliki publik. Telkom juga memiliki 12 anak perusahaan yang bergerak di berbagai sektor, memberikan dampak positif bagi investor maupun rakyat Indonesia.
Pendirian PN Telekomunikasi, sesuai PP No. 30 tanggal 6 Juli 1965, bertujuan untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional yang sesuai dengan ekonomi terpimpin, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan rakyat, menjaga ketenteraman, dan menciptakan suasana kerja yang tenang dalam perusahaan.
Dalam proses transformasinya, TelkomGroup menerapkan strategi bisnis dan operasional yang fokus pada pelanggan (customer-oriented). Transformasi ini bertujuan membuat organisasi TelkomGroup lebih ramping (lean) dan lincah (agile) dalam menanggapi perubahan cepat di industri telekomunikasi.
Dengan organisasi yang baru, diharapkan dapat tercipta efisiensi dan efektivitas yang lebih tinggi dalam menghadirkan pengalaman pelanggan yang berkualitas. Menutup pertengahan 2024, Telkom Indonesia mencatatkan total aset sebesar Rp285,99 triliun, dengan liabilitas sebesar Rp138,71 triliun dan ekuitas yang tercatat sebesar Rp147,27 triliun.
MIND ID
Dilansir dari mind.id, Mining Industry Indonesia (MIND ID) merupakan holding BUMN di sektor industri pertambangan Indonesia yang terdiri dari PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT INALUM, dan PT Timah Tbk.
Pada tahun 2017, pemerintah membentuk BUMN yang bergerak di bidang Holding Industri Pertambangan, yang awalnya menggunakan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebagai induk perusahaan dengan mayoritas saham di tiga perusahaan tambang, yaitu Antam, Bukit Asam, dan Timah.
Pada 2019, Holding Industri Pertambangan bertransformasi menjadi MIND ID (Mining Industry Indonesia) untuk membedakan fungsi Inalum sebagai pengelola pabrik peleburan aluminium dan sebagai holding company.
Dalam lima tahun terakhir, aset MIND ID meningkat sebesar 57,22%, dari Rp164,84 triliun pada 2019 menjadi Rp259,18 triliun pada 2023. Sementara itu, tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) aset grup MIND ID selama periode 2019-2023 tercatat sebesar 9,47%.
- Harga Sembako di Jakarta: Cabe Rawit Merah Naik, Ikan Lele Turun
- Protes Buang Susu Boyolali Membesar, Asosiasi Balik Tuduh Peternak
- IHSG Hari Ini 12 November 2024 Dibuka Naik 44,12 ke 7.310,58
MIND ID juga mengelola portofolio dan melakukan akuisisi aset pertambangan multinasional untuk mendukung program hilirisasi. Dalam lima tahun terakhir, perusahaan berhasil mengakuisisi saham perusahaan tambang besar, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Vale Indonesia.
Selain itu, MIND ID terus berinvestasi dalam hilirisasi, termasuk pembangunan fasilitas pemurnian tembaga Freeport Indonesia di Gresik dengan investasi sebesar Rp58 triliun dan proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah dengan nilai investasi Rp16 triliun.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 12 Nov 2024