Mengapa Pekalongan Ditetapkan Sebagai Kota Batik, Bukan Solo atau Jogja?

Mengapa Pekalongan Ditetapkan Sebagai Kota Batik, Bukan Solo atau Jogja? (indonesiakaya)

JAKARTA – Setiap tanggal 2 Oktober, masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Batik Nasional. Kerajinan batik berkembang pesat di Yogyakarta dan Solo. Kendati seni batik tumbuh dari kedua kota tersebut, gelar Kota Batik justru melekat pada Pekalongan.

Pertanyaannya, apa yang menjadi alasan Kabupaten Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik? Mengapa bukan Solo atau Yogyakarta, yang memiliki keraton dan telah menjadikan batik sebagai bagian dari pakaian kebanggaan mereka selama bertahun-tahun?

Raden Mas Utaryo mengatakan, “Pekalongan tanpa industri perbatikan bukanlah Pekalongan.” Ketika menyebut Kota Pekalongan, banyak orang akan membayangkan jemuran kain batik dan bau malam yang khas yang bisa dijumpai setiap harinya di berbagai sudut kota.

Dilansir dari Jurnal bertajuk, ‘Pekalongan Sebagai Kota Batik 1950-2007’ oleh Chusnul Hayati, Pekalongan sebagai kota batik mengacu pada mata pencaharian warga yang sebagian besar bergantung pada batik. Batik menjadi salah satu pilar ekonomi Kota Pekalongan, setelah sektor perikanan.

Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik. Hal itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Berkembanganya batik Pekalongan didukung kuatnya tradisi membatik yang tidak hanya merupakan kebutuhan ekonomi, melainkan dorongan untuk mengekspresikan karya seni yang indah.

Batik Pekalongan yang tumbuh dan berkembang menjadi salah satu produk unggulan, dikenal sejak lama, baik di tingkat nasional maupun internasional. Batik sebagai identitas Kota Pekalongan adalah hal yang tepat, mengingat pada awal abad ke-20, Broersma sudah mengatakan bahwa Pekalongan diwarnai dengan batik yang dibuat oleh penduduk pribumi.

Meskipun perusahaan batik di Pekalongan bukan industri besar, pembuatan batik di Hindia Belanda merupakan kerajinan rumah tangga yang dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat. Batik Pekalongan merupakan kerajinan tangan yang penting artinya bagi kehidupan ekonomi.

Meski tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, diperkirakan batik sudah ada di sana sejak sekitar tahun 1800. Bahkan, menurut data yang tercatat di Disperindag Pekalongan, beberapa motif batik sudah dibuat pada tahun 1802, termasuk motif pohon kecil yang digunakan sebagai bahan pakaian.

Perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berlangsung antara tahun 1825-1830. Konflik ini mendorong banyak anggota keluarga keraton Mataram dan pengikutnya untuk meninggalkan daerah kerajaan yang besar dan berpindah ke wilayah Timur dan Barat. Di daerah-daerah baru tersebut, mereka mulai mengembangkan seni batik.

Ke arah timur berkembang dan mempengaruhi batik yang ada di Mojokerto, Tulunggagung, hingga menyebar ke Gresik, Surabaya, dan Madura. Sedangkan ke barat berkembang di banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan.

Dengan adanya migrasi ini, batik Pekalongan yang sudah berkembang sebelumnya mengalami kemajuan yang lebih pesat, terutama di wilayah sekitar pantai, seperti di Kota Pekalongan, Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.

Inger McCabe Elliott dalam buku Batik Fabled Cloth of Java menyebut, batik telah diperdagangkan di Pekalongan sejak tahun 1840-an atau bahkan lebih awal. Banyak pedagang China dan Arab yang memesan batik dari pengrajin yang tersebar di desa-desa dan menjadikannya sebagai komoditas yang menguntungkan. Hal ini menunjukkan Pekalongan telah menjadi pusat batik terkemuka sejak lama.

Dari segi motif, batik Pekalongan sebenarnya mirip dengan batik dari Solo dan Yogyakarta. Keunggulan batik Pekalongan terletak pada penggunaan warnanya. Sehelai kain batik dapat menggunaka hingga delapan warna, sehingga tampil lebih indah dan menarik dibandingkan dengan batik dari daerah lain.

Warna-warna yang digunakan meliputi gradasi merah muda, merah tua, kuning cerah, jingga, cokelat, biru muda, hijau muda, hijau tua, dan ungu.

Motif batik Pekalongan berkembang secara dinamis seiring dengan perubahan zaman. Pada masa pendudukan Jepang, muncul batik Pekalongan dengan motif pagi sore atau motif Jawa Hokokai, yang menyerupai motif kimono Jepang. Selanjutnya, muncul pula motif tritura pada tahun 1960-an. Lalu muncul motif tsunami.

Usaha batik Pekalongan mengalami kejayaannya pada tahun 1950-an. Koperasi-koperasi batik bermunculan, memperkuat posisi Pekalongan sebagai pusat industri batik. Berbagai pabrik mori berdiri megah di Setono, Pringlangu, Buaran, Kedungwuni, dan Pekajangan. Kondisi ini menjadikan Pekalongan sebagai salah satu penghasil mori terbesar sekaligus pemasok untuk seluruh pulau Jawa.

Industri batik Pekalongan bertopang oleh ratusan usaha rumahan yang memproduksi batik secara tradisional. Namun, industri batik menghadapi tantangan akibat munculnya batik printing yang menguasai pasar domestik, ditambah dengan penggunaan pewarna sintetis atau kimia yang semakin memperburuk keadaan.

Namun, saat banyak perusahaan batik tradisional di Indonesia terpaksa tutup, para perajin batik Pekalongan berhasil mengatasi tantangan tersebut. Mereka memperkenalkan teknik pewarnaan baru yang dikenal sebagai coletan, di mana larutan zat pewarna disapukan menggunakan kuas, sehingga dapat menghemat waktu dan bahan pewarna.

Hingga kini, Pekalongan tetap menjadi penghasil batik terbesar di Indonesia, produksinya tersebar ke seluruh Nusantara dan diekspor ke berbagai negara. Ini didukung oleh keberadaan Pasar Grosir Setono, yang didirikan pada tahun 1941, sebagai pusat penjualan batik terbesar dan terlengkap. Selain itu, terdapat juga sentra belanja batik lainnya seperti Pasar Banjarsari dan International Batik Center.

Di dalam negeri, batik Pekalongan dipasarkan hingga ke daerah di luar Jawa, seperti Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jambi, Minahasa, dan Makassar. Umumnya, motif yang dipesan disesuaikan dengan adat daerah setempat. Sementara, untuk pasar internasional, batik Pekalongan diekspor ke Malaysia, Thailand, dan beberapa negara di Timur Tengah.

Perkampungan batik banyak ditemukan di kota ini.  Kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai sudut kota diwarnai dengan kesibukan yang terkait dengan batik. Batik menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 02 Oct 2024 

Editor: Redaksi

Related Stories