Mendesaknya Penyelesaian Kasus Utang-Piutang BUMN Pertamina untuk Kemerdekaan Energi Bangsa

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Utang-piutang merupakan hal yang biasa dalam kehidupan interaksi sosial-ekonomi masyarakat, yang memiliki kelebihan dana atau kekayaan (asset) biasanya memberikan pinjaman kepada pihak lain, dan sebaliknya. Selain pengertian secara umum itu, ada pula pengertian utang dan piutang dalam ilmu akuntansi. Menurut sudut pandang akuntansi, utang adalah uang tunai dan non tunai atau barang yang yang dipinjam dan merupakan hak milik pihak orang lain dan peminjam memiliki kewajiban mengembalikan. Sementara piutang  adalah sebuah pemberian pinjaman berupa uang tunai atau nontunai kepada orang lain. Secara akuntansi pihak yang berutang disebut debitur atau disebut dengan pinjaman modal, sedang pemberi utang disebut kreditur.

Pada Hari Selasa, tanggal 17 Agustus 2021 bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan yang ke-76 Tahun, sejatinya seluruh komponen bangsa merayakannya dengan penuh suka cita. Namun, kami memohon maaf kalau uraian mengenai utang-piutang terkait usaha atau bisnis minyak dan gas bumi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedikit mengganggu kegembiraan perayaan HUT RI ini.

Perhatian penuh publik kami minta atas kasus utang-piutang yang terjadi pada Anak Perusahaan (AP) BUMN PT. Pertamina, yaitu PT. Pertamina Patra Niaga (PPN) dengan pengusaha Samin Tan pemilik PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), anak usaha Borneo Lumbung Energi & Metal (BLEM) sejumlah  Rp451,66 Miliar.

Kasus utang macet yang keterlaluan lamanya ini bukanlah perkara perdata murni apabila diamati dari penyelesaian utang Samin Tan yang selalu berakhir melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Untuk menyelamatkan keberlanjutan kehadiran atau eksistensi BUMN strategis ini dalam mendukung agenda pembangunan bangsa dan negara, maka kami mendesak kepada Pemerintah, khususnya Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo hal-hal sebagai berikut:

1. Perjanjian utang piutang antara PPN dengan pihak AKT melalui Samin Tan berawal dari jual beli BBM jenis solar atau high speed diesel (HSD) pada tanggal 10 Februari 2009. Namun setelah lebih dari 10 tahun berlalu, tidak ada tanda-tanda pengusaha Samin Tan (pemilik AKT) ini untuk segera melunasi utang dimaksud.


2. Mengacu pada Perjanjian Jual Beli antara Patra Niaga dan AKT, sesuai nota permintaan pembelian (purchasing order note) disepakati harga jual HSD dari Patra Niaga kepada AKT adalah sama dengan harga publikasi Pertamina dikurangi potongan sebesar 4% empat persen dari harga MOPS (Mean Oil Platts Singapore), dan jumlah  volume yang disepakati pada awalnya diperkirakan sebesar 1.500 kiloliter (kl) per bulan yang berlaku untuk 1 (satu) tahun efektif. Metode pembayaran berdasarkan Pasal 7 Perjanjian Jual Beli,  diatur secara kredit 30 hari kalender setelah tanggal berita acara penerimaan BBM, dan atau dengan menggunakan L/C (letter of credit) serta SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri).

3. Selanjutnya, berselang 1 (satu) tahun, tepatnya pada tanggal 9 Februari 2010, terjadi perubahan (addendum) perjanjian I, yaitu berupa perubahan terhadap jangka waktu pembayaran pembelian yang diperpanjang satu tahun dengan volume pengiriman juga mengalami peningkatan, yaitu menjadi sejumlah 6.000 KL per bulan. Kemudian, cara pembayaran dan volume pembelian  pada tanggal 1 Juni 2011 kembali mengalami perubahan ke-2. Pada perubahan ke-2 Perjanjian Jual Beli ini terjadi lagi pergeseran waktu efektif perjanjian berlaku, yaitu dari tanggal 10 Februari 2009 hingga 9 Februari 2013, termasuk kesepakatan perubahan potongan harga menjadi 5,5 persen MOPS dan penambahan volume pengiriman menjadi 7.500 kl per bulan.


4. Selama masa pelaksanaan Perjanjian Jual Beli HSD tersebut, ternyata AKT tidak membayar tagihan pihak PPN sesuai dengan jadwal yang telah disepakati atau melakukan wan prestasi atas kontrak. Akumulasi Wan prestasi tersebut terjadi dalam rentang waktu Tahun 2009-2016, pasokan HSD oleh PT. Pertamina Patra Niaga yang belum dibayar oleh pihak AKT mencapai lebih dari US$ 39,56 Juta ditambah Rp 21,34 Miliar. Terhadap kerjasama usaha buruk dari pihak Samin Tan (pemilik AKT) atas kemacetan pembayaran tagihan kewajiban atau utang usahanya, maka pada bulan Juli 2012 Patra Niaga menghentikan pasokan HSD kepada pihak AKT, dengan total tagihan yang dihitung hingga Tahun 2012 adalah sejumlah US$ 36,39 Juta ditambah Rp 18,33 Miliar.

5. Pihak PT. Pertamina Patra Niaga (PPN) telah secara terus menerus mengupayakan penagihan hak atas piutang tersebut tetapi tidak berhasil, dan atas kegagalan pihak PPN menagih piutang pada pihak AKT tersebut akhirnya terjadilah *kesepakatan* ke-1 mengenai mekanisme penyelesaian utang bermasalah (macet) Samin Tan tersebut melalui pola angsuran yangmana pihak PPN beberapa kali berhasil melakukan penagihan piutang dengan pembayaran yang telah disepakati tersebut, yaitu pada Tahun 2013 sejumlah US$ 2,29 Juta dan dilakukan rekonsiliasi utang piutang yang belum berhasil direkonsiliasi dan penerbitan credit note.

Pada Tahun 2014, pihak PPN berhasil melakukan penagihan sejumlah US$1,65 Juta sehingga total pembayaran kewajiban utang Samin Tan yang berhasil diperoleh selama 2 (dua) tahun hanya sejumlah US$3,94 Juta atau setara Rp 54,37 Miliar disertai sejumlah temuan indikasi korupsi oleh Satuan Pengawas Internal (SPI) Pertamina atas tagihan yang macet tersebut.

6. Namun, pada Tahun 2016, pihak AKT mengajukan secara sepihak (voluntary) PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) kepada Pengadilan Niaga. Dan, hasilnya adalah disahkannya Putusan Homoligasi pada tanggal 4 April 2016, yaitu jumlah tagihan pihak PPN yang diakui oleh Pengurus Persero sebagai utang usaha pihak ketiga dan berhak untuk mengikuti voting atas rencana perdamaian adalah sejumlah Rp451,66 Miliar atas konversi US$33,59 Juta (kurs US$1 = Rp13.890) dikurangi lagi sejumlah Rp 15,16 Miliar.

Dan, setelah itu komitmen pelaksanaan pembayaran oleh pihak AKT semakin tidak jelas di satu sisi, sedangkan pada sisi lain, tidak tampak upaya yang serius dari manajemen PPN yang 100% sahamnya dikuasai Pertamina, maupun manajemen Pertamina untuk menyelesaikan kasus utang perusahaan AKT milik Samin Tan itu.

7. Mengacu pada kronologis Perjanjian Jual Beli BBM jenis solar HSD itu, maka terdapat kelalaian pihak PPN atas penambahan volume dari awalnya sejumlah 1.500 KL menjadi 6.000 KL hanya dalam selang waktu 1 (satu) tahun, yaitu terdapat persetujuan tambahan volume dari pihak PPN sejumlah 4.500 KL atau naik sebesar 300%, sebuah kenaikan yang fantastis dari rekam jejak pembayaran tagihan yang macet dari pihak AKT atau Samin Tan, menunjukkan adanya indikasi kolusi para pihak yang merugikan PPN. Sebab, tentu tidak mudah bagi pihak manapun memperoleh kepercayaan mengelola transaksi jual beli BBM jenis solar HSD dalam volume besar tanpa ada kompensasi pada pihak didalam sebuah Persero.

Berdasar kasus utang piutang itu, dan terkait Surat Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020 tentang susunan Direksi Pertamina yang baru dan restrukturisasi organisasi serta rencana IPO beberapa sub holdingnya. Selain menetapkan jajaran Direksi dan Komisaris Pertamina yang baru pada bulan Juni 2020, maka disebutkan tugas Pertamina sebagai holding akan diarahkan pada pengelolaan portofolio dan sinergi bisnis di seluruh Pertamina Grup, mempercepat pengembangan bisnis baru, serta menjalankan program-program nasional. Sementara sub-holding akan menjalankan peran untuk mendorong operational excellence.

Melalui struktur baru ini, diharapkan Pertamina dapat menjadi lebih lincah, fokus, dan cepat dalam pengembangan kapabilitas kelas dunia di bisnisnya masing-masing sehingga dapat mengakselerasi pertumbuhan skala bisnis untuk menjadi perusahaan energi terdepan dengan nilai pasar U$ 100 Miliar serta menjadi penggerak pengembangan sosial pada 2024.

Maka, sebelum menindaklanjuti SK Menteri BUMN yang juga telah digugat oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) karena menganggap adanya upaya segregatif terhadap BUMN Pertamina oleh Erick Tohir sebagai Menteri BUMN dan adanya potensi melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) atas Anak Perusahaan sebagai sub holding milik PT. Pertamina, maka kami meminta pemerintah menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan manajerial utang piutang oleh pihak ketiga atas BUMN Pertamina dan AP nya, tidak saja pada kasus Wan prestasi Samin Tan, namun juga dengan pihak lainnya agar semakin tidak berpengaruh pada kinerja BUMN Pertamina, apalagi akibat piutang usaha yang macet itu diatasi oleh korporasi dengan berutang pula ke pihak asing dalam rangka mengelola kebijakan energi nasional yang dibebankan Pemerintah melayani konsumen, rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, mendesak masing-masing aparat pemeriksa dan hukum, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif atas tindak penyimpangan kenaikan nota permintaan pembelian (purchasing order note) yang dikeluarkan pihak PPN kepada Samin Tan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI untuk melakukan penyelidikan atas adanya upaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sehingga memperkaya diri dan kerabat pejabat PPN dan Pertamina.

Last but not least, sebagaimana diketahui publik juga, pihak AKT melalui pemiliknya Samin Tan tidak hanya mempunyai kasus di BUMN Pertamina, tetapi juga kasus korupsi lain diindustri batu bara yang melibatkan anggota DPR RI, dan hanya diganjar hukuman penjara selama 3 (tiga) tahun.

Menuntut pihak berwenang untuk tidak hanya memenjarakan para pihak yang telah terlibat kasus perdata atau pidana dengan kerugian negara yang sangat besar untuk juga menagih kewajiban atas kerugian keuangan BUMN dan Negara tersebut. Tanpa penyelesaian yang tuntas atas berbagai tindak KKN sebagaimana yang telah dilakukan Samin Tan dan yang lainnya, maka kemerdekaan bangsa hanya dirayakan secara semu, sementara secara keuangan BUMN banyak tunggakan pembayaran sebagai akibat pihak pengusaha yang menunggak, maka Indonesia tidak merdeka walau sekeras apapun teriakan MERDEKA! (*)

*Penulis adalah  Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

_______________________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.


Related Stories