Mendesaknya Kebijakan Perlindungan Nasabah atas Perkembangan Perbankan Digital

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori (Istimewa)

Perkembangan digitalisasi telah merambah ke segala negara dan masuk ke berbagai sektor, tidak terkecuali disektor energi dan perbankan akan menjelma bagaikan pisau bermata dua. Yaitu, bisa memudahkan dan bermanfaat, tapi juga menyulitkan serta mendatangkan mudharat. Maka, pentingnya suatu kebijakan atau regulasi yang mengatur digital banking, agar memberikan keamanan dan kenyamanan kepada nasabah, dan menjaga kesehatan perbankan nasional mendesak dilakukan! Hal ini merupakan tindak lanjut dari perkembangan sektor ini, yaitu:  

Pertama Telah terjadinya pemisahan saham atau di spin off-nya Maybank, dan diakuisisi oleh investor baru, Bank Net Syariah yang kemudian saat ini resmi beroperasi. Bank Syariah ini akan menjalankan bisnisnya dengan platform digital banking.

Kedua, Gojek masuk menjadi pemegang saham Bank Jago (ARTO). Bahkan, ada Sovereign Wealth Fund asal Singapura GIC Private Limited yang juga akan menjadi pemegang saham Bank ini sehingga operasional bisnis Bank Jago akan dilaksanakan melalui skema digital banking.

Ketiga, Bank Banten (BEKS) diberitakan akan ganti platform bisnisnya menjadi digital banking.

Keempat, GRAB pada bulan Januari 2021 lalu akan masuk ke Bank Capital, dan menyaingi Gojek, dengan  menjadikan bank ini sebagai digital banking.

Kelima Sea Group, induk usaha Shopee, berencana atau telah mengakuisisi Bank Bumi Arta (BNBA), dan memjadikannya sebagai digital banking.

Sebelum kelima isu terkini itu, sudah ada beberapa bank lain yang berencana melaksanakan operasional bisnisnya dengan platform digital banking. Digital banking dipilih, karena bank tidak perlu membuka cabang secara fisik di berbagai daerah di Indonesia.

Semua hal ini terkait layanan perbankan, bisa dilakukan secara mudah (simpel) melalui telepon selular (ponsel), tanpa ada batasan dan kendala wilayah. Bagi Bank BUKU II, perbankan melalui pelayanan digitalisasi (digital banking) ini sangat menolong, untuk tetap dapat ekspansi bisnis, ditengah ketatnya likuiditas, yang umumnya dialami bank di kelas tersebut.

Namun, fenomena baru yang sedang berkembang ini tentunya perlu dicermati dengan hati-hati. Disebabkan oleh industri perbankan merupakan industri yang diatur secara ketat (highly regulated), karena menyangkut keamanan nasabah dan kesehatan industri perbankan itu sendiri.

Kenapa data nasabah sangat krusial? Karena rerata bank BUKU II yang melakukan digital banking ini dibeli dan dikuasai oleh investor asing, yang sebagian besar bisnis intinya (core business) adalah berbasis konsumen. Sebut saja sebagai contoh, misalnya Gojek, Grab, Shopee, dan lain-lainya. Ada potensi data nasabah dimanfaatkan untuk kepentingan lain oleh pemegang saham (shareholder) dari sejumlah bank tersebut.

Di sisi lain, Rata-rata bank  BUKU II, sumber dananya sebagian besar adalah dana mahal dan rate yang ditawarkan menjadi lebih tinggi ketimbang bank BUKU IV. Hal itu tak jauh berbeda dengan layanan financial technology (fintech) yang menawarkan pinjaman tanpa jaminan dengan tingkat bunga/rate sangat tinggi dan mencekik leher bagaikan lintah darat.

Tak ketinggalan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, pinjaman fintech ke segmen ritel tersebut, mencatat peningkatan NPL yang signifikan, yaitu per Juni 2020 sebesar 6,1 persen. Bukan tak mungkin hal itu juga terjadi pada bank pelaku digital banking. Tentu saja masalah ini perlu perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan atau regulator. Sebab, dari sisi nasabah terutama yang berdomisili di daerah atau yang jauh dari kota besar, bisa mengalami ketidaknyamanan saat mengajukan keluhan  kepada pelaku digital banking.


Begitupula dari sisi banknya sendiri, masih rentannya pelaksanaan prinsip tata kelola korporasi yang baik (Good Corporate Governance/GCG) di Bank Buku II dan dikuasainya bank tersebut oleh provider toko online/market place, berpotensi meningkatkan NPL yang bisa mengganggu bisnis Bank dan pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan publik, sehingga merusak reputasi perbankan nasional.

Terkait permasalahan kebijakan perbankan tersebut, maka konsumen atau nasabah harus memperhatikan hal-hal berikut sebagai pesan kunci dan langkah antisipatif serta preventif, yaitu:


Perlunya regulasi yang ketat dari OJK terhadap  digital banking, agar tidak merugikan reputasi perbankan nasional, jika terjadi mismanagement di digital banking.


Menekankan pentingnya prinsip menjaga kerahasiaan data nasabah, sehingga tidak dimanfaatkan shareholder digital banking.


Pentingnya masyarakat memilih bermitra dengan Bank yang memiliki likuiditas bagus, dengan jaringan kantor cabang di seluruh Indonesia, didukung oleh sistem IT yang canggih, serta dikelola secara GCG oleh manajemen yang sudah teruji. Umumnya Bank itu adalah Bank BUKU IV, diantaranya, adalah BRI, Mandiri, dan BNI. (*)

* Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 
 


Related Stories