Ekonomi & Pariwisata
Masih Pantaskah Penghargaan Menkeu Terbaik Dunia Disandang?
Pertumbuhan Ekonomi tahunan di 2022 kembali dalam posisi yang stabil, tidak membuat kejutan, bahkan tak ada perubahan angka signifikan atau cukup dan diangka biasa-biasa saja, yaitu sebesar 5,31 persen.
Angka ini menunjukkan, bahwa pengelolaan ekonomi nasional relatif tidak mengalami perubahan berarti dibanding capaian tahun-tahun sebelumnya yang rerata antara 4-5% saja, tidak pernah mencapai 6% sekalipun! Apalagi kekhawatiran yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani akan adanya pengaruh krisis atau resesi di Eropa dan USA pada perekonomian Indonesia tidak terbukti sama sekali.
Artinya, kompetensi Sri Mulyani dalam hal ini patut dipertanyakan sebagai Menteri Keuangan terbaik dunia dalam melakukan analisis dan kajian komprehensif dengan data dari sumber utama dibawah kewenangannya!?
Lebih aneh lagi, dibidang investasi pun tidak ada memberikan pengaruh apapun dalam bentuk kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tahunan atau tak ada daya ungkit (leverage) yang berarti sedikitpun.
Lalu, bagaimana sebenarnya tugas pokok dan fungsi Kementerian Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia selama ini, apakah hanya sibuk ke sana kemari plesiran!? Sebab, sumber pertumbuhan ekonomi yang terbesar justru berasal dari industri pengolahan, yaitu sebesar 1,01 persen.
Harapan Presiden Joko Widodo untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi menjadi sia-sia, dan mudah-mudahan tidak sirna oleh buruknya kinerja Bahlil Lahadalia.
Faktor lain yang mempengaruhi kinerja ekonomi makro, adalah pada komponen pengeluaran, sumber pertumbuhan ekonomi terbesar masih berasal dari konsumsi rumah tangga, yang berhasil tumbuh sebesar 4,93 persen dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional sebesar 51,87 persen.
Bahkan, sektor transportasi dan pergudangan mencatatkan pertumbuhan yang tertinggi diantara semua sektor, yaitu sebesar 19,87 persen pada tahun 2022. Dibandingkan dengan capaian sektoral tahun 2021 yang hanya tumbuh sebesar 3,24 persen saja, artinya ada kenaikan kontribusi signifikan sebesar 16,63 persen.
Hal ini membuktikan, bahwa kinerja perekonomian dari sektor industri pertanian belum memberikan kontribusi yang signifikan, meskipun pemerintah mengklaim terjadi kenaikan nilai tukar petani.
Yang terjadi, justru pertumbuhan ekonomi 2022 malah lebih didorong oleh meningkatnya harga komoditas pertambangan melalui peningkatan ekspor yang tumbuh sebesar 16,28 persen.
Peningkatan harga komoditas ini jelas berpengaruh bagi penerimaan negara yang harus tercermin setidaknya pada data Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dibawah koordinasi Menteri Keuangan. Akan ganjil terasa apabila kenaikan harga komoditas pertambangan mineral dan batu bara tidak berdampak pada kenaikan penerimaan yang berasal dari pajak dan bukan pajak.
Pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara juga akan terpuruk kalau Kementerian Kesehatan berencana ingin menerapkan kembali kebijakan wajib vaksinasi.
Sama tidak logisnya sedikitpun atas kasus kenaikan harga komoditas pertambangan, apabila dikaitkan dengan kondisi kinerja perekonomian nasional berdasar data terkini tersebut! Sebab, kebijakan vaksinasi dan atau penerapan pembatasan kegiatan masyarakat ini secara langsung akan kembali menekan kontribusi sektor transportasi dan logistik serta pergudangan.
Tidakkah ini sebuah kebijakan yang kontradiktif dengan keinginan Presiden dalam rangka mencapai sasaran (target) pertumbuhan ekonomi nasional terbaik, yaitu diatas 6 persen!? Apakah kejanggalan kebijakan ini akan diteruskan!?
Yang lebih memprihatinkan publik, yaitu temuan terbaru kasus penggelapan uang negara sejumlah Rp349 triliun oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD pada jajaran Kementerian Keuangan semakin menunjukkan bobroknya pengelolaan keuangan negara.
Padahal, posisi Menteri Keuangan juga dijabatnya diera pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang saat itu merebak kasus dana bantuan penyelamatan dari kebangkrutan (bail out) untuk Bank Century sejumlah Rp6,76 triliun atas keputusannya. Sekali lagi, ini menunjukkan bukti keruntuhan moralnya sebagai Menteri Keuangan terbaik yang disematkan kepada Sri Mulyani oleh lembaga internasional The World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF).
Berkebalikan dengan pandangannya melalui tulisan pada Tahun 2015 yang berjudul *Dirty Money And Development*, seperti menunjukkan sikap dan keinginan kuat atas pemberantasan korupsi, birokrat yang bersih atau anti uang kotor dalam pembangunan.
Kasus penggelapan atau uang kotor pada lembaga Menteri Keuangan ini tidak saja mengusik rasa Pancasilais kita, khususnya sila ke-2 Kemanusian yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terlebih lagi kasus tersebut meruak ditengah jumlah penduduk miskin pada September 2022 sejumlah 26,36 juta orang (9,57%), meningkat 0,20 juta orang dibanding per-Maret 2022
Capaian para Menteri Kabinet Indonesia Maju ini semakin menegaskan komposisi kabinet Presiden Joko Widodo jauh dari harapannya sendiri sejak periode pertama (2014-2019) memimpin pemerintahan, yaitu berjanji memilih para Menteri yang kompeten dan tidak melakukan transaksional dalam pengisian pos-pos Menteri.
Namun fakta yang terjadi malah sebaliknya, atau ibarat pepatah justru jauh panggang dari api Tidak hanya 1 atau 2 orang saja menteri yang telah terlibat kasus penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangannya dalam hal pengelolaan keuangan negara atau bersih dari kasus korupsi, bahkan pada institusi Menteri Keuangan terbaik dunia.
Atas berbagai fakta kinerja perekonomian dan kasus korupsi itu, maka menuntut kepada WB dan IMF mempertimbangkan kembali pemberian penghargaan Menkeu terbaik dunia tersebut disebabkan prestasi yang bersangkutan sangat berkebalikan.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka akan berpengaruh pada kredibilitas WB dan IMF sebagai lembaga keuangan dunia yang berpengalaman (sophisticated), bersih dan berwibawa serta berdampak runtuhnya kepercayaan negara-negara anggotanya. Bagi Presiden Joko Widodo, perkembangan ekonomi dan politik nasional itu jelas mempersulit posisi pribadinya pasca tidak menjabat lagi. Sedangkan bagi pemerintah, adalah merosotnya kepercayaan dunia internasional, khususya lembaga donor dan para investor yang akan menanamkan modalnya ke Indonesia.(*)
* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta