Kenapa Pemerintah Selalu Ulangi APBN Defisit Berkelanjutan?

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori

Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022/APBN 2022 akan menstimulasi perekonomian dengan sasaran (target) pembangunan yang telah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dihadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Maka itu, postur APBN 2022 yang diajukan meliputi pendapatan negara direncanakan sebesar Rp1.846,1 Triliun dan belanja negara sebesar Rp2.714,2 Triliun. 

Namun anehnya, secara matematis APBN 2022 tersebut masih membuat defisit Rp868,1 Triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Menkeu Sri Mulyani Indrawati secara bertahap, defisit APBN akan diturunkan dari 6,14% pada Tahun 2020 menjadi 5,7% dari PDB pada Tahun 2021, dan untuk Tahun 2022 menjadi 4,85% dari PDB.

Sebagai catatan bagi publik, bahwa meskipun rancangan APBN dirancang akan terjadi penurunan defisit, faktanya realisasi APBN 2020 mengalami defisit sejumlah Rp947,70 Triliun dengan adanya tambahan luar biasa tak masuk akalnya di tengah pandemi Covid-19. 

Lalu, apa yang istimewa dari rancangan APBN yang telah diajukan oleh Menkeu Sri Mulyani dengan tetap mempertahankan defisit? Sepertinya publik perlu khawatir akan terjadinya pengulangan atas kesalahan rancangan APBN yang selalu tidak pernah keluar dari defisit. 

Artinya, pembangunan tetap dibiayai dengan istilah "lebih besar pasak daripada tiang", apakah ini disebut prestasi dalam mengelola keuangan?

Sasaran Tidak Realistis

Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 telah disepakati bersama antara Pemerintah dan DPR untuk menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022, pada Hari Kamis tanggal 30 September 2021.

Menkeu menyampaikan, bahwa APBN 2022 tetap menjadi instrumen penting dalam mendukung pemulihan ekonomi, melanjutkan reformasi, dan melindungi masyarakat dari bahaya Covid-19. Benarkah demikian data dan fakta yang telah terjadi selama masa pandemi Covid19 berlangsung?

Faktanya tidak demikian, justru kelompok korporasi lebih memperoleh perhatian serius dari pemerintah dengan menggelontorkan lebih besar alokasi untuk mereka dibandingkan kelompok masyarakat terbesar. 

Setidaknya hal itu terjadi pada pembiayaan korporasi, yang sebelumnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pada Tahun 2020 sejumlah Rp 44,57 Triliun. Namun, pada pertengahan tahun (bulan Juni 2020) jumlah tersebut mengalami peningkatan Rp 9 Triliun menjadi Rp 53,57 Triliun.

Sementara itu, alokasi angaran penanganan Covid-19 untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya lebih dari 14 jutaan totalnya hanya senilai Rp123,46 Triliun. Dan, yang dialokasikan untuk subsidi bunga hanya sejumlah Rp35,28 Triliun, serta penempatan dana pemerintah untuk restrukturisasi Rp78,78 Triliun, dan belanja imbal jasa penjaminan Rp5 Triliun. Hasilnya, hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi kontraksi sebesar 2,07 persen pada Tahun 2020.

Tidak masuk akalnya APBN itu kembali diulangi oleh Menkeu dengan melanjutkan, upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid19 melalui proyeksi pertumbuhan ekonomi Tahun 2022 diperkirakan mencapai 5,2%. 

Dalam kondisi ketidakpastian perekonomian dunia, perkiraan yang dibuat oleh Sri Mulyani Indrawati ini tidaklah cukup realistis apalagi tidak adanya dukungan reformasi struktural perekonomian, perdagangan internasional, serta risiko ketidakpastian kinerja perekonomian di masa 10 tahun ke depan. Apalagi kinerja ekonomi Tahun 2022 juga akan mengandalkan topangan  konsumsi masyarakat, investasi, dan juga perdagangan internasional.

Lebih tidak realistis lagi dan tidak melihat data sejarah/historis, bahwa stabilitas makroekonomi tersebut disebut akan menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada tahun 2022, yaitu tingkat kemiskinan diharapkan dapat turun kembali pada kisaran 8,5-9%, tingkat pengangguran terbuka 5,5-6,3%, dan gini ratio atau rasio ketimpangan akan menurun menjadi 0,376-0,378.

Sementara indeks pembangunan manusia akan meningkat di 73,41-73,46. Indikator dimasa pandemi Covid19 selama Tahun 2020-2021 saja belum menunjukkan kinerja yang positif, atas dasar apa Menkeu menetapkan sasaran yang diluar nalar data terkini? 

Kalau hanya mengandalkan sektor konsumsi, maka APBN yang diajukan Menkeu dan telah disahkan itu hanya berorientasi mendorong perekonomian untuk konsumtif atau tidak produktif melalui produksi. Apalagi mendorong investasi dari luar yang berarti akan menciptakan ketergantungan pada kandungan impor (impor content) yangmana nilai tambahnya akan lebih banyak dinikmati negara asing.

Tidak berbeda dengan postur APBN yang dibuat pemerintah, yangmana belanja atau konsumsi lebih besar dari penerimaan negara sejumlah Rp868,1 Triliun akan bergantung lagi kepada utang. 

Lalu sampai kapan harus membuat APBN defisit dan tergantung dengan utang, baik dalam maupun luar negeri, siapa yang akan menanggungnya setelah pemerintahan berganti? 

Semestinya, langkah yang diambil adalah melakukan reformasi anggaran dengan mengefisienkan belanja negara melalui reformasi struktural dan kelembagaan negara yang banyak tumpang tindih, mengurangi fasilitas dan tunjangan bagi DPR yang sangat lemah kinerja legislasinya serta pos-pos pengeluaran lainnya yang tidak mendesak. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.
 

Editor: Rohmat

Related Stories