Kelebihan Jatah Kuota BBM Seharusnya Tak Perlu Terjadi

Pihak Pertamina telah memutuskan menaikkan harga BBM Non Subsidi menjadi Rp12.500 per liter yang mulai berlaku tanggal 1 April 2022 pukul 00:00 waktu setempat. (Pertamina)

Apakah itu over quota atau kuota yang selalu dikaitkan dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, seperti untuk jenis solar dan pertalite (dulu premium).

Sederhananya mungkin sebagai berikut, misalnya sebuah rumah tangga memiliki jumlah anak 10 orang, 5 diantaranya masih bergantung kepada orang tuanya yang berarti masih diberikan belanja (subsidi), sedangkan 5 orang lainnya sudah mandiri. Dengan begitu, alokasi belanja pokok rumah tangga hanyalah untuk jatah (quota) bagi 5 orang saja, tidak lebih.

Atau analogi yang lainnya, misalnya sebuah kendaraan angkutan barang atau truk hanya bisa memuat kapasitas barang atau jatah volumenya (quota) 1.000 kilo gram (kg), tetapi oleh pemilik disebabkan untuk tujuan tertentu dilebihkan menjadi 1.500 kg.

Tentu saja, truk tersebut melebihi kapasitas yang telah diatur standarnya oleh pabrikan, dan jika itu dilakukan berulang-ulang tentu akan berakibat pada stabilitas operasional truk yang berdampak pada keamanan dalam perjalanan sampai ke tujuan.

Lalu, bagaimana halnya dengan jatah (quota) BBM bersubsidi, apakah memang tidak ada standar penetapan yang baku sehingga terjadi kelebihan? Apabila terminologi jatah (quota) BBM bersubsidi dikaitkan dengan kelompok masyarakat miskin yang berhak menerima subsidinya, jelas data jumlah penduduk miskin Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap periodik harus menjadi dasar penetapan jatah (quota).

Tetapi, jika data kemiskinan itu tidak dianggap representatif, maka dapat juga menggunakan jumlah kendaraan bermotor pribadi dan umum yang dimiliki oleh Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas) sehingga kelebihan jatah (quota) BBM bersubsidi takkan mungkin terjadi.

Namun faktanya, kelebihan jatah (over quota) BBM bersubsidi tidak hanya terjadi pada Tahun 2022 ini dan telah terjadi berulangkali, bahkan telah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pada Tahun 2004, BPK menemukan banyak kejanggalan dari hasil auditnya terhadap penetapan angka subsidi BBM 2004 yang terlalu tinggi (mark up), yaitu sejumlah Rp3,6 triliun.

Temuan tersebut meliputi pemeriksaan terhadap kegiatan pengadaan minyak tanah dan produk pengelolaan, perhitungan harga pokok kilang, serta distribusi BBM bersubsidi yang dijatahkan Tahun 2004.

Realisasi penyaluran jatah (quota) BBM bersubsidi dengan demikian telah terjadi selama 18 tahun terakhir dengan jumlah yang berbeda-beda. 

Sebagai contoh, realisasi penyaluran jatah (quota) BBM bersubsidi tahun 2012 totalnya berjumlah 44.986.705 Kilo Liter (KL), terdiri dari bensin (premium) sejumlah 28.243.700 KL, minyak tanah 1.183.091 KL, dan minyak solar 15.559.914 KL.

Sedangkan realisasi tahun 2013, untuk bensin (premium) dengan volume 29.256.686 KL, minyak tanah 1.109.046 KL dan minyak solar sejumlah 15.884.613 KL atau total volumenya 46.250.345 KL. Terjadi kenaikan realisasi kelebihan jatah (over quota) BBM bersubsidi antara tahun 2012 dengan 2013 sejumlah 1.263.640 KL, padahal selama tahun anggaran masing-masingnya juga telah kelebihan jatah (over quota).

Bahkan, kejadian terus berulang konsumsi BBM bersubsidi yang merupakan penugasan pemerintah (Public Service Obligation/PSO) periode Januari sampai dengan Desember 2014 dibandingkan periode yang sama tahun 2013 untuk jenis bensin (premium) terjadi peningkatan konsumsi sebesar 1.28% (lebih rendah dibandingkan peningkatan konsumsi pertumbuhan 2013 vs 2012).

Untuk jenis BBM solar terjadi penigkatan konsumsi sebesar 0,53% (lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 2013 vs 2012). Sementara, konsumsi minyak tanah terjadi penurunan sebesar 17,35% (lebih rendah dibandingkan penurunan 2013 vs 2012). Realisasi jatah (quota) BBM bersubsidi tahun 2014 sejumlah 46.516.362 KL, sedangkan alokasi jatahnya 45.640.953 KL atau kelebihan jatah (over quota) sejumlah 875.409 KL.

Sebenarnya di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dirjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Evita H. Legowo telah mengajukan usulan adanya pembatasan penggunaan BBM bersubsidi yang diperkirakan dapat menghemat 2,3 juta KL.

Terkait rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi tersebut, pemerintah kala itu mengusulkan tiga opsi pada bulan Juli 2010. Tapi, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa sudah menyiapkan dua opsi pembatasan BBM bersubsidi.

Pertama, semua kendaraan roda 
empat plat hitam tidak mendapatkan BBM bersubsidi, dan hanya angkutan umum, kendaraan roda dua dan tiga serta nelayan yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Opsi kedua, BBM bersubsidi tidak diberikan pada kendaraan roda empat plat hitam keluaran tahun 2005 ke atas

Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dilakukan karena realisasi rata-rata penyaluran BBM bersubsidi tahun 2010 sudah melebihi kuota yang ditetapkan yaitu antara 6-9%. Padahal, dalam UU APBN-P 2010, volume BBM bersubsidi ditetapkan sebesar 36.504.775 kilo liter.

Hasil dari ketiadaan pengendaliannya, data realisasi jatah volume BBM bersubsidi tahun 2010 membengkak mencapai 38,6 juta KL atau kelebihan jatah sejumlah 2 juta KL lebih. Sebaliknya, selisih total alokasi dan realisasi jatah (quota) BBM bersubsidi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terdapat pengurangan (under quota) disebabkan adanya pengurangan kuota BBM bersubsidi pada tahun 2015 hanya 17,85 juta KL (hanya 2 jenis BBM), atau turun sebesar 62 persen dibandingkan dengan alokasi jatah dan realisasi tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 40- 46 juta KL.

Oleh karena itu, seharusnya berdasarkan data yang telah dipublikasikan oleh Kementerian ESDM dan BPH Migas itulah pengendalian BBM bersubsidi dijadikan kebijakan standar, termasuk mengubah terminologi jatah (quota) yang kesannya bagi-bagi saja.

Kelebihan jatah (over quota) BBM bersubsidi tidak mungkin terjadi dengan data yang telah tersedia dengan valid disertai pengalaman kedua instansi pemerintah itu dalam mengelola kebijakan migas. Maka, pengendalian melalui pembatasan penggunaan BBM bersubsidi atas kebijakan penyaluran mekanisme terbuka ditambah disparitas harga yang lebar tidak akan efektif dan berpotensi terjadinya  kelebihan jatah (over quota) secara berkelanjutan.

Kebijakan penyaluran dengan mekanisme tertutup dan disparitas harga lebih kecil akan meminimalisir potensi kelebihan jatah (over quota) alokasi BBM bersubsidi. Relevansi penggunaan MyPertamina dengan data kelonpok pengguna BBM yang valid akan memungkinkan alokasi BBM bersubsidi tepat sasaran. Opsi inilah yang harus dimasukkan dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan mendesak disahkan agar sesegera mungkin diberlakukan. (*)

*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

 

Tags Defiyan CoriBagikan

Related Stories