Kecilnya Pengaruh PMN Pada Kinerja BUMN

Ilustrasi BUMN (BUMN)

Negara melalui Pemerintah telah mengeluarkan dana sangat besar dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meskipun data dan informasi jumlah total uang negara untuk PMN masih simpang siur antara Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan disebabkan beragamnya bentuk PMN yang digelontorkan. 

Namun, mengacu pada data yang dipublikasikan oleh lembaga katadata, maka PMN yang telah dikucurkan oleh pemerintah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN (UU 19/2003) dan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003) kepada berbagai BUMN sampai dengan tahun 2021 sejumlah Rp2,65 kuadriliun. Jumlah yang luar biasa fantastis apabila ditambahkan dengan kucuran PMN periode 2022 sejumlah Rp2.909 triliun yang hanya menghasilkan dividen sejumlah Rp426 triliun pada periode 2012-2022 atau 10 tahun terakhir!

Maka itu, wajarlah publik sebagai pemegang saham Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanya mengenai manfaat dan dampak PMN itu bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebagaimana perintah konstitusi ekonomi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 

Sebagaimana halnya suatu organisasi badan hukum usaha berbentuk Persereon Terbatas (PT) dikenal adanya pemegang saham (shareholder) sebagai tanda kepemilikan individu-individu atas perusahaan/korporasi saat pertama kali didirikannya. Porsi penguasaan saham sekaligus menentukan besar kecilnya manfaat (dividen atas laba) maupun konsekuensi yang harus ditanggung oleh para pemegang saham selama perusahaan beroperasi dan dibubarkan. Secara konstitusi, PT diatur dan tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UU 40/2007).

Lalu, bagaimana halnya manfaat atau dividen yang telah diberikan oleh BUMN atas PMN tersebut? Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan melalui Nota Keuangan RAPBN Tahun Anggaran  2014 dinyatakan, bahwa peningkatan PMN telah mencapai 304 persen selama periode 2008-2012. 

Mirisnya, peningkatan jumlah PMN ini tidak disertai adanya peningkatan  kinerja keuangan yang signifikan dari BUMN-BUMN. Sebagai contoh, rasio perolehan laba BUMN atas PMN yang dikucurkan kecenderungannya semakin menurun, dari 11,6 pada tahun 2008 menjadi hanya 4,1 saja pada tahun 2012 atau turun sebesar rasio 7,5. 

Bahkan, jumlah total kekayaan (asset) BUMN berdasarkan publikasi Kementerian BUMN per tahun 2022 hanya sejumlah Rp5.290,17 triliun tak sebanding dengan jumlah PMN yang telah dikucurkan.

Melihat kenyataan itu, patutlah publik mempertanyakan efektifitas dan efisiensi alokasi dan distribusi PMN kepada BUMN dari indikator kontribusi laba yang telah dihasilkan atau dividen yang telah diberikan kepada negara. 

Oleh karena itulah, mendesak kiranya Presiden Joko Widodo memperketat mekanisme PMN yang telah ditetapkan melalui Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 (perubahan atas PP No.44 Tahun 2005) tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Persereon Terbatas tersebut. 

Apalagi adanya fakta BUMN yang telah melantai di Pasar Bursa (BEI) dengan adanya kebijakan Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO) melalui pemecahan saham milik negara (stock split) untuk tujuan meningkatkan nilai kapitalisasi dan kinerja perusahaan justru tetap masih dikucurkan PMN.

Kecilnya manfaat dan dampak kepada negara secara ekonomi apalagi dampak kepada masyarakat yang tak signifikan membuat keuangan negara hanya dihambur-hamburkan begitu saja secara sia-sia tak berhasil guna. 

Maka itu, perlu ditetapkan segera seleksi kriteria BUMN yang berhak memperoleh PMN, misalnya didasarkan pada komposisi kepemilikan saham negara yang 100 persen masih milik negara saja. Sedangkan yang telah dijual sebagian sahamnya ke publik melalui IPO atau melantai di BEI serta nota bene tidak seluruh laba atau dividennya masuk ke Kas Negara tidak perlu lagi dikucurkan PMN, termasuk Persero yang berkinerja buruk disebabkan oleh buruknya profesionalisme dewan manajemen. Perkecualian PMN dapat diberikan jika kinerja Persero terganggu oleh adanya musibah atau bencana alam (force majeur).

Sebelum adanya ketentuan seleksi kriteria PMN yang ketat dan sebisa mungkin klausul ini dapat menjadi bahagian pasal yang dimasukkan dalam revisi UU 19/2003, ada baiknya kebijakan moratorium PMN ditetapkan! Sebagai langkah awal untuk menyelamatkan keuangan negara, maka Presiden harus menolak usulan PMN untuk tahun 2024 sejumlah Rp58 triliun kepada BUMN! (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Related Stories