Jebakan Pandemi Covid19 dan Upaya Mengatasi Peningkatan Kredit Macet

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori

Sebuah keniscayaan teori dan praktek ekonomi makro, apabila terjadi kebijakan pembatasan ruang gerak sosial-ekonomi, maka akan berpengaruh pada kinerja perekonomian nasional. Begitu pula halnya dalam skala ekonomi mikro, tentu beberapa komoditas akan mengalami penurunan permintaan dan terjadi kelebihan pasokan (excess supply) di satu sisi. 

Di sisi yang lain, ada komoditas dalam suatu industri kesehatan justru menghadapi kenyataan sebaliknya, mengalami pertumbuhan dan menangguk  keuntungan ditengah pandemi covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia. 

Posisi ini tidaklah mudah bagi perusahaan mempertahankan kinerja terbaiknya, apalagi yang berhubungan dengan industri perbankan dalam urusan kredit termasuk pihak bank sebagai pemberi pinjaman dan pengelola dana pihak ketiga. Berbagai permasalahan yang kompleks dialami oleh hampir seluruh sektor perekonomian selama periode Tahun 2019, termasuk perbankan. 

Kompleksitas masalah juga dihadapi oleh 4 (empat) BUMN Perbankan, yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN dalam mengelola korporasi yang tidak saja harus menyelamatkan kinerja perusahaan, tapi juga harus menerapkan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance/GCG) berdasar Undang-Undang dan peraturan yang berlaku.

*Kinerja Diantara Berbagai Kebijakan*

Dalam perspektif pengelolaan BUMN inilah, maka perlu kiranya menelusuri kinerja BUMN Perbankan ini dengan mendasarkan pada 2 (dua) faktor penting dan merupakan tugas pokok dan fungsi utama BUMN dengan 2 (dua) Undang-Undang yang melekat (UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), yaitu kepeduliaan terhadap lingkungan dan kinerja perusahaan sebagai sebuah organisasi bisnis.

Tidaklah mudah mengelola BUMN yang sangat besar dengan 2 (dua) tanggungjawab UU yang harus dijalankan, apalagi dibawah pengendalian dan pengawasan yang melekat dalam perUndang-Undangan dan peraturan lainnya, ditambah lagi oleh dampak yang harus dihadapi akbat perkembangan pandemi covid 19 saat ini. 

Atas dasar inilah, jika ada sebuah perusahaan besar (korporasi) mampu bertahan dan menunjukkan kinerja merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Itulah yang telah ditunjukkan oleh BUMN Perbankan Indonesia terhadap industri perbankan nasional yang bertindak sebagai lembaga penyantara (intermediary institution) keuangan, diantaranya tabungan dan simpan pinjam (kreditur-debitur) dalam melayani masyarakat nasabah atau konsumen sampai ke pelosok negeri. 

Bahkan, langkah-langkah antisipasi telah dilakukan bank-bank milik negara untuk membantu permasalahan yang dihadapi pelaku usaha atau debitur, seperti merestrukturisasi kredit khususnya dikelompok UMKM. Mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan menyalurkan kredit ke UMKM, dan melakukan pencadangan atas kredit-kredit bermasalah. 

Bila saja pekerjaan rumah masa lalu ini dilakukan sejak awal pemerintahan tentu usaha dan upayanya (effort) akan lebih baik. Mungkin, masalahnya adalah Kementerian BUMN tidak terlalu serius dan fokus untuk menyelesaikan permasalahan utamanya yang menjadi prioritas bagi beban perusahaan negara di masa depan.  

Padahal, mengacu Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian yang disusun usaha bersama itu turunannya adalah BUMN harus sinergis di dalam membangun perekonomian bangsa. Kenyataannya, selama reformasi, BUMN bekerja secara sendiri. 

Ditambah lagi, BUMN dibebani oleh UU Perseroan Terbatas No. 40 yang mengharuskan BUMN mengejar/berorientasi profit (profit oriented). Kalau melihat secara keseluruhan beban BUMN, tidaklah fair juga menilai BUMN kinerjanya buruk jika terdapat kerugian, tetapi dampak keburukan kinerja BUMN tersebut sangat mungkin diakibatkan oleh pengelolahan BUMN yang terjadi di masa lalu. 

Kalau kemudian adanya peningkatan harta (asset) dan berbagai aksi korporasi lainnya bagi BUMN mudah untuk melakukannya, dengan meningkatkan valuasinya. Salah satunya dengan nilai perusahaan dan kinerja yang baik, maka akan memperoleh "nama baik" (image) untuk tambahan modal dengan menawarkan global bond. 

Sehingga, jajaran direksi saat ini memiliki beban yang cukup berat untuk memompa kinerja BUMN lebih leluasa dan memacu kinerja lebih baik. Apalagi di tengah melambatnya perekonomian dunia dan stagnannya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju yang mengarah ke resesi perekonomian dunia oleh berbagai turbulensi politik.

Dalam melihat kinerja BUMN, maka harus diperhatikan dan dicermati secara kasus per kasus (case by case) karena masing-masing BUMN memiliki karakter yang berbeda. Meskipun berbagai kebijakan (UU dan peraturan lainnya) justru menjadi pemicu (trigger) di balik semua masalah yang dihadapi lebih pelik dibanding persaingan dalam industri, khususnya perbankan. 

Perangkat Undang-Undang justru terkadang tidak mendukung jajaran manajemen BUMN yang beroperasi secara sektoral itu untuk mencapai sasaran dan tujuan perusahaan negara secara efektif dan efisien. 

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang sektoral khusus perbankan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan perubahannya melalui UU Nomor 10 Tahun 1998, Selain itu, pengaturan tanggungjawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR), terutama dalam Pasal 74 UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas tidak menjadi beban biaya bagi korporasi swasta. Dan, sejak 20 April 1999, UU no 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen atau UUPK mulai sah diberlakukan. 

Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen,semakin membuat kebutuhan posisi kapasitas dan kapabilitas pimpinan BUMN Perbankan bukanlah sosok yang biasa-biasa saja.

*Alokasi Kredit Dan Kredit Macet*

Kinerja manajemen merupakan sebuah penilaian obyektif yang menjadi sasaran dan tujuan secara periodik, dan pencapaian semua itu tidak datang dengan sendirinya. Tata kelola BUMN, khususnya bank yang profesional dan mengedepankan kepatuhan pada prinsip GCG maupun Prudential Banking, harus diterapkan dan hal ini telah berjalan sejak lama pada bank-bank milik negara. 

Bankir bank BUMN, terutama bank-bank yang tergabung dalam Himpunan bank-bank milik Negara (Himbara) juga sudah teruji kepiawaiannya dalam mengelola bank dengan berbagai peraturan yang melekat. Di satu sisi selalu mencari business opportunity, namun di sisi lain, sukses menjaga tingkat kesehatan kreditnya. Hal itu yang membuat banyak bankir khususnya dari Mandiri, yang ditempatkan pemerintah selaku pemegang saham, ke sejumlah bank milik negara lainnya, bahkan, menjadi pimpinan ke korporasi BUMN lainnya, termasuk menjadi pejabat negara.

Khususnya di Bank Mandiri, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko telah dilakukan sejak lama. Bahkan, hal itu terus dilakukan Bank dengan harta kekayaan (asset) terbesar di Indonesia ini sejak dipimpin oleh Kartika Wirjoatmodjo yang selanjutnya beralih ke Royke Tumilaar dan saat ini dibawah kepemimpinan Darmawan Junaidi. 

Ketiga Direktur Utama (Dirut) tersebut, telah menerapkan prinsip kehati-hatian dan GCG pada seluruh aspek bisnis Bank Mandiri. Terbukti, Bank Mandiri mengalami penurunan laba terkecil daripada bank lainnya pada kinerja 2020, sebagai imbas dari Pàndemi Covid-19. 

Mengelola bank dengan harta kekayaan bernilai sangat besar (asset jumbo), bukanlah perkara yang mudah, sebagaimana mengelola bank swasta yang minimal intervensi politik atau malah nihil. 

Ketatnya penerapan prinsip GCG dan kehatian-hatian (Prudential Banking), oleh manajemen bank yang tergabung dalam Himbara (BRI, BNI, Mandiri dan BTN), terbukti membuat keempat bank tersebut berhasil melalui perjalanan kinerja manajerial periodiknya melalu kompetensi BOD-nya. 

Keempat bank itu mencatat pencapaian kinerja yang cukup baik, bahkan berhasil survive ditengah turbulensi ekonomi sebagai imbas dari pandemi covid-19 yang "memukul" perekonomian global, tak terkecuali perekonomian Indonesia. Pertanyaannya, dengan berbagai peraturan perUndang-Undangan dan kebijakan lainnya yang begitu sarat dan ketat terhadap BUMN dibandingkan dengan perbankan swasta, mampukah para bankir mengendalikan rasio kredit macet atau bermasalah?

Fakta pandemi Covid-19 yang terus berlarut dan inkonsistensi kebijakan penanganannya telah membuat rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) perbankan menanjak. Para bankir sependapat bahwa PPKM darurat akan membuat dampak terjadinya peningkatan pada NPL sejalan dengan melambatnya perekonomian. 

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL perbankan pada bulan Mei 2021 telah berada pada level 3,35%. Posisi itu terus naik dibandingkan bulan Desember 2020 yang masih berada diposisi 3,06% dan pada bulan Mei 2020 rasionya hanya 3,00%, atau terjadi peningkatan kredit bermasalah sebesar 0,35%. 

Jika, tidak perubahan mendasar atas kebijakan penanganan pandemi Covid19 oleh pemerintah, maka mengacu pada data OJK itu, sampai bulan Desember 2021 akan terjadi peningkatan kredit bermasalah menjadi 4% lebih apabila rata-rata triwulan naik sejumlah data OJK tersebut. 

Lalu, apa penyelesaian atau solusi yang akan ditempuh oleh pemerintah atas peningkatan kredit bermasalah ini, tentu tidak bisa hanya dengan penjadwalan ulang atau pemotongan jumlah cicilan utang para debitur saja. Perlu langkah lain agar krisis ekonomi dan moneter tidak kembali berulang, salah satu kuncinya adalah keberpihakan pada sektor yang selama menjadi penyelamat perekonomian bangsa dan negara dengan rasio kredit bermasalah paling rendah, tidak lebih dari 2% saja, yaitu Koperasi dan UMKM.

Sektor UMKM merupakan sektor strategis dan berdasarkan perkembangannya telah menjadi fokus bisnis utama BRI untuk meraih kinerja terbaik dalam jumlah penyaluran kredit. Salah satu strategi BRI untuk menggarap sektor UMKM adalah dengan mendigitalisasi UMKM, dengan tujuan “menaikkan kelas” para pelaku UMKM. Proporsi penyaluran kredit ke sektor UMKM oleh BRI pada Tahun 2016 sebesar 72,2 persen menjadi awal penegasan posisi ceruk pasar bisnisnya. Posisi ini berbanding dengan proporsi penyaluran kredit ke kelompok korporasi yang hanya sebesar 27,8 persen.

Sebagai BUMN, berdasarkan UU No. 19 tahun 2003 pasal 66, diberikan tugas kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) yang tak terdapat pada korporasi swasta disatu sisi. Namun di lain sisi, BUMN yang berbentuk PT juga diminta untuk mengejar keuntungan (profit) sebagai salah satu variabel penilaian kinerja manajemen. Melalui 2 (dua) tugas dan tanggungjawab ini saja tidaklah ringan mengelola dan menjalankan operasi perusahaan negara, dan itulah yang membedakan BUMN dengan korporasi swasta. P

Untuk itulah, dibutuhkan perangkat UU yang membuat gerakan operasional BUMN itu secara hukum dapat dipayungi oleh kebijakan negara. Untuk menjawab persoalan ini, perlu adanya revisi UU No 19 tahun 2003 yang sudah lebih dari 15  tahun harus segera dirampungkan. Termasuk juga keberadaan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memisahkan antara kekayaan BUMN dengan kekayaan negara.

Revisi diperlukan, karena bukan saja sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, lebih dari itu, telah bertentangan dengan konstitusi bahwa penguasaan negara itu adalah mutlak 100 persen. Artinya untuk BUMN strategis pada cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah mutlak. Begitu juga dasar hukum konstitusi dalam penyusunan dan penetapan kebijakan sektoral yang jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, pasal demi pasal yang ada dalam UU sektoral harus disesuaikan agar beban kompetisi dengan korporasi swasta menjadi imbang. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 


Related Stories