Ini 24 Teks Tradisional yang Ungkap Tata Bangunan Tradisional Bali

GIANYAR - Naskah tradisional Bali berupa lontar merupakan salah satu puncak kebudayaan batin Bali. Dari berbagai varian isi yang disajikan, naskah yang menguraikan tata bangunan tradisional menjadi ragam yang cukup banyak ditemukan di masyarakat.

Sulinggih asal Griya Kaniten Bun "Dukuh Agung" Jukutpaku, Singakerta, Ubud, Gianyar, Ida Padanda Gede Putra Bun, menguraikan setidaknya ada 24 judul teks tradisional Bali yang menjelaskan persoalan tata bangunan tradisional Bali. Teks-teks tersebut menyajikan materi beragam, mulai dari pemilihan bahan, tata ukur pekarangan dan bangunan, puja-mantra, etika undagi, hingga acuan-acuan membuat produk arsitektur yang khusus seperti bade dan angkul-angkul.

"Ada banyak pustaka tradisional yang membicarakan soal arsitektur tradisional Bali, misalnya Aji Janantaka; Asta Bhumi; Asta Kosala Kosali, Asta Bhumi; Dharmaning Asta Kosala Kosali; Asta Kosali, Umah, Wadah, Mantra-mantra; Asta Loma; Asta Patali; Bhama Kertih; Cakepan Asta Kosala Kosali; Gagelaran Undagi; Indik Makarya Bade; Indik Ngawangun Marajan; Indik Taru; Kaputusan Sang Hyang Anala; Kramaning Ngukur Karang; Kori, Lawang, Angkul-angkul; Mendem Padagingan; Ngawangun Parahyangan; Padma bhuwana; Pamanes Karang; Panugrahan Bhagawan Wiswakarma; Pustaka Eta Etu; Tutur Lebur Gangsa; dan Wiswakarma Tattwa," katanya dalam Rembug Sastra "Arsitektur Tradisional Bali Menurut Teks dan Perkembangannya" Ubud Royal Weekend akhir pekan lalu.

Dituturkan, pustaka Aji Janantaka menguraikan berbagai jenis kayu yang hidup di bumi serta kastanya. Teks ini menarasikan bahwa kayu-kayu yang digunakan untuk keperluan bangunan merupakan penjelmaan dari Ratu Prattipa, raja Kerajaan Janantaka, beserta para pejabat istana. Mereka menjelma menjadi kayu akibat sakit lepra yang dideritanya.

Menurut teks tersebut, sang raja menjelma menjadi kayu nangka, sang patih menjadi kayu jati, arya menjadi kayu benda dan tahep, rangda menjadi kayu sentul, demung menjadi kayu tangi dan kayu kadian, tumenggung menjadi kayu kepundung, pacalang menjadi kayu boni, prabekel menjadi kayu bengkel, kliyan banjar menjadi kayu pulet, dan rakyat lainnya menjadi kayu rerencang atau sembarang kayu.

"Suatu ketika Dewa Dharma melalaui Bhatara Sakti Wawu Rawuh datang dan meruwat segala kayu itu dan diberikan berbagai macam fungsinya. Selain itu, kayu cendana dinyatakan sebagai wujud Sang Hyang Paramasiwa, majagahu sebagai Sang Hyang Sadasiwa, cempaka putih sebagai wujud Sang Hyang Siwa Jati," tuturnya.

Berbagai jenis kayu-kayu itu juga dimuliakan dengan menyatakan bahwa kayu Sang Hyang Siwa Tiga merupakan roh dari semua kayu. Majagahu merupakan tenaga dari kayu, cendana sebagai pikirannya, dan cempaka sebagai kata-katanya. Dengan demikian, masyarakat Bali diharapkan tidak sembarangan dalam memanfaatkan kayu. Penghormatan pada kayu juga ditegaskan dalam lontar Indik Taru.

Pustaka Asta Bhumi, Asta Kosala Kosali, Dharmaning Asta Kosala Kosali, Asta Patali, Kramaning Ngukur Karang, dan lain sebagainya menyajikan tentang ukur-ukuran dalam membuat suatu pekarangan maupun membangun suatu bangunan. Selain ukur-ukuran, teks-teks tersebut juga menjelaskan etika seorang undagi.

Varian lain dari isi teks-teks di atas adalah teks-teks yang menyajikan tata cara membersihkan suatu pekarangan secara rohani atau niskala. Suatu ruang kadangkala mengalami suatu kadurmanggalan atau dalam kondisi kotor, sehingga disarankan untuk melakukan langkah-langkah pembersihan. "Uraian-uraian itu ada di Bhama Kertih, Gagelaran Undagi, Mendem Padagingan, Pamanes Karang, Ngawangun Parahyangan, Pustaka Eta Etu, Tutur Lebur Gangsa, dan Wiswakarma Tattwa," jelas Ida Padanda Gede Putra Bun.

Sementara itu, beberapa pustaka suci juga menjelaskan pembangunan bangunan yang sangat spesifik, misalnya cara membuat bade atau wadah untuk orang yang meninggal pada lontar Indik Makarya Bade; tata cara membangun tempat suci dalam lontar Indik Ngawangun Marajan dan naskah Ngawangun Parahyangan; serta tata cara membangun berbagai jenis pintu tradisional Bali pada pustaka Kori, Lawang, Angkul-angkul.

Bagikan
Bambang Susilo

Bambang Susilo

Lihat semua artikel

Related Stories