Inflasi Bali Juni 2025 Terkendali, Tekanan Harga Pangan Meningkat Jelang Musim Liburan

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja (Humas BI Bali)

Jakarta- Inflasi Provinsi Bali pada Juni 2025 tercatat sebesar 0,44% (mtm), menunjukkan kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi -0,47% (mtm). 

Secara tahunan, inflasi Bali mencapai 2,94% (yoy), meningkat dari 1,92% (yoy) di Mei 2025. Data ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali pada 1 Juli 2025.

Meskipun masih dalam rentang target 2,5%±1%, inflasi Bali lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang masing-masing tercatat 0,19% (mtm) dan 1,87% (yoy). 

Kondisi ini mendorong Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) untuk memperkuat upaya pengendalian inflasi, terutama menjelang musim puncak kunjungan wisatawan mancanegara seiring periode liburan musim panas.

Secara spasial, seluruh kabupaten/kota Indeks Harga Konsumen (IHK) di Bali mengalami inflasi bulanan dan tahunan. Kabupaten Badung mencatat inflasi bulanan tertinggi sebesar 0,53% (mtm) atau inflasi tahunan 2,11% (yoy). 

Diikuti oleh Kota Denpasar dengan inflasi bulanan 0,48% (mtm) dan tahunan 3,30% (yoy). Sementara itu, Kota Singaraja dan Kabupaten Tabanan juga mencatat inflasi bulanan masing-masing 0,37% (mtm) dan 0,29% (mtm), dengan inflasi tahunan 2,79% (yoy) dan 3,38% (yoy).

Penyumbang utama inflasi bulanan di Bali adalah Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan komoditas hortikultura dari sentra produksi akibat iklim kemarau basah dan gangguan distribusi. Komoditas yang mengalami kenaikan harga signifikan meliputi cabai rawit, tomat, sawi hijau, buncis, dan cabai merah. 

Namun, kenaikan inflasi tertahan oleh penurunan harga daging babi, bawang putih, daging ayam ras, jeruk, dan bensin. Penurunan harga daging babi dan jeruk disebut karena normalisasi permintaan pasca Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).

Antisipasi Risiko Inflasi dan Strategi Pengendalian

Ke depan, Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali mengidentifikasi beberapa risiko inflasi, antara lain peningkatan permintaan barang dan jasa selama musim puncak wisatawan, kenaikan biaya pendidikan menjelang tahun ajaran baru, serta kenaikan harga emas perhiasan seiring tingginya harga emas global. Ketidakpastian cuaca pada musim kemarau basah juga berpotensi mengganggu produksi hortikultura.

Untuk mengatasi potensi risiko tersebut, BI Provinsi Bali terus mendorong sinergi dan inovasi dengan seluruh pemerintah kabupaten/kota di Bali melalui strategi pengendalian inflasi berbasis 4K: Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi yang Efektif.

Dalam jangka menengah hingga panjang, BI Bali dan TPID akan fokus pada penjagaan stabilitas harga dan penguatan ketahanan pangan melalui peningkatan produktivitas pertanian. 

Upaya ini mencakup pengendalian hama, optimalisasi regulasi perlindungan lahan pangan berkelanjutan, perbaikan infrastruktur pengairan, penggunaan benih unggul, dan pengembangan hilirisasi pertanian.

Lebih lanjut, BI bersama TPID Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali akan memperkuat dan memperluas pelaksanaan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP). Inisiatif ini akan fokus pada penguatan produktivitas pertanian, optimalisasi kerja sama antar daerah, dan peningkatan efisiensi rantai pasok dengan membangun ekosistem ketahanan pangan yang melibatkan BUMDES, Perumda pangan, dan koperasi. 

Sinergi ini juga akan mencakup kolaborasi hulu-hilir antara petani, penggilingan, perumda pangan, dan pelaku Horeka (Hotel, Restoran, dan Kafe), didukung oleh penguatan regulasi dalam pemanfaatan produk pangan lokal oleh Horeka.

Melalui langkah-langkah strategis ini, Bank Indonesia Bali optimis bahwa inflasi di Provinsi Bali pada tahun 2025 akan tetap terjaga dalam rentang sasaran inflasi nasional sebesar 2,5%±1%. ***


Related Stories