Ilusi Peringkat Kota Terpolusi Dari Lembaga Bergengsi?

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Penetapan peringkat kota-kota dengan kualitas terburuk di dunia telah menimbulkan polemik dan membuat kegaduhan ditengah publik Indonesia. Pasalnya, DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditempatkan sebagai kota dengan kualitas terburuk di dunia berdasarkan data IQAir yang dipublikasikan pada Hari Selasa 21 Juni 2023, pukul 08.00 WIB. Dinyatakan dalam publikasi itu, bahwa kualitas udara dan polusi di Jakarta termasuk kategori tidak sehat dengan skor mencapai 158.

Diurutan ke-2 ditempati oleh Beijing, Republik Rakyat China (RRC) dengan skor kualitas udara dan polusi di Beijing mencapai 157, hanya selisih satu angka atas Jakarta. Diperingkat ke-3, adalah Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) yang kualitas buruk udara dan polusinya diberikan skor mencapai 156, hanya selisih dua angka dengan Jakarta. 
Selanjutnya, sesuai urutan ditempati oleh New Delhi, India, Kota Kuwait, Ibukota Kuwait, Santiago, Ibu Kota Chili, Santiago, menjadi kota keenam dan Chengdu, RRC diperingkat terburuk ke-7 atau disebut sensitif terhadap kota lain.

Memang aneh publik di Indonesia, tiba-tiba begitu percaya saja dengan hasil pemeringkatan kota berudara kotor dan tidak sehat di dunia itu tanpa mempertanyakan keabsahan perusahaan swasta yang berkantor pusat di Goldach, Swiss tersebut. 

Lebih tak masuk akal lagi, tanggapan pemangku kepentingan (stakeholders) atau otoritas pemerintah yang saling menuding dan menyalahkan satu sama lain terkait  sumber penyebabnya. Tanpa mempertanyakan metodologi yang digunakan IQAir sebagai perusahaan swasta terkait isu kualitas buruk udara yang disebabkan oleh pollutan.

Setidaknya, hasil pemeringkatan itu dapat dibantah oleh data terbesar jumlah kendaraan bermotor berBahan Bakar Minyak (BBM) dan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Uang (PLTU) bersumber batubara terbesar di dunia yang tidak berada di kota-kota Indonesia. 

Untuk jumlah kendaraan bermotor, maka mengacu pada data Pusat Penelitian Pew dan BBC, maka Thailand merupakan negara pemakai sepeda motor terbesar peringkat-1 di dunia, yaitu 87 persen rumah tangga di Thailand masing-masing memiliki satu sepeda motor. Negara ini bahkan diberi julukan sebagai “negeri 100 juta skuter” karena banyaknya sepeda motor dengan berbagai macam merek.

Sedangkan, jika PLTU sumber batubara yang divonis sebagai penyebab udara kotor dan tidak sehat di Jakarta, maka data Carbon Brief justru membantahnya. Dari total kapasitas pembangkit batu yang dimiliki Indonesia (apalagi Jakarta), justru RRC lah pemilik terbesar PLTU dengan total kapasitas mencapai 972,5 ribu Megawatt (MW). Negara RRC ini memiliki 97 ribu MW dalam radius 250 kilometer sepanjang delta Sungai Yangtze yang berlokasi disekitar Shanghai. Lalu, tepatkan BUMN Pertamina dan Peusahaan Listrik Negara menjadi tertuduh dan biang keroknya, bagaimana halnya dengan pengusaha atau industriawan penyebab polusi dan kerusakan lingkungan lainnya?

Selain itu, Carbon Brief juga mencatat 10 negara dengan pembangkit batu bara terbesar laiinnya di dunia. Sekitar 86% total pembangkit listrik dunia berada di negara-negara, yaitu India dan Jepang yang masing-masing memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 220,7 ribu MW dan 45,6 ribu MW. Barulah kemudian negara Asia lainnya, diikuti oleh Korea Selatan dan Indonesia dengan kapasitas masing-masing 37 ribu MW dan 29,3 ribu MW.

Dengan menggunakan logika sederhana saja, hasil pemeringkatan yang diterbitkan oleh IQAir dan data pemilik kendaraan bermotor dan pengguna PLTU terbesar tidak menemukan kenyataan obyektif dan wajar (fair). Sebab, apabila kendaraan bermotor BBM divonis menjadi sumber pollutan, maka Bangkok, Thailand lah seharusnya berada diperingkat pertama terburuk. Begitu juga halnya dengan pengguna PLTU berbahan batubara, hasil sesuai data obyektif pemeringkatannya semestinya Beijing, RRC yang berada pada peringkat terburuk pertama di dunia, bukan Jakarta, Indonesia.

Oleh karena itu, hasil pemeringkatan yang telah diterbitkan oleh IQAir dapat disebut sebagai ilusi dan tidak berdasar apalagi sesuatu yang ilmiah, apakah ini menunjukkan sebuah hasil yang kredil dari lembaga yang bergengsi? Pemeringkatan kota-kota dengan udara terburuk dan tidak sehat di dunia tersebut disinyalir memiliki tendensi politik ekonomi tertentu, apalagi setelah wabah atau pandemi Covid-19 yang baru saja dialami masyarakat Indonesia, termasuk adanya isu transisi energi dari fosil ke Energi Baru dan Terbaharukan (EBT). Pemerintah Indonesia patut bersikap hati-hati dan tidak serta merta memercayai hasil pemeringkatan IQAir itu, meskipun pemerintah dan Presiden Joko Widodo harus serius, sungguh-sungguh dan bersikap tegas menegakkan  peraturan dan per-Undang-Undangan terkait dengan sektor energi. (*)

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.


Related Stories