Harga BBM Bersubsidi Tidak Hanya Soal Beban APBN

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Membengkaknya realisasi alokasi subsidi BBM mencapai Rp502,4 Triliun ditanggapi oleh pemerintah sebagai sebuah beban. Dan, tidak jarang para ekonom dan pengamat juga menanggapi keluhan pemerintah yang disampaikan oleh Presiden Joko.Widodo ini dengan reaktif tanpa analisis latar penyebabnya.

Bahkan, hanya dengan satu alasan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan menyebabkan permasalahan ekonomi makro lainnya. Reaksi ini tidaklah sepenuhnya salah, tapi bisa jadi tidaklah tepat untuk kasus komoditas Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang bergerak bukan dalam pasar persaingan sempurna atas hukum permintaan dan penawaran (demand and supply side).

Perlu juga ditinjau perspektif lain, diantaranya yaitu bisa jadi beban subsidi dalam APBN disebabkan oleh adanya penyimpangan penerima manfaat dan ketiadaan seleksi kriteria secara ketat. Maka itu, beberapa hal patut diperhatikan oleh publik terkait kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah, yaitu pertama soal besaran kenaikan harga, dan yang kedua soal BBM bersubsidi.

Terhadap penetapan harga BBM selama ini, maka kita meminta pemerintah untuk terbuka soal alasan mengikuti ketentuan harga keekonomian minyak mentah dunia tersebut. Pasalnya, adalah sebagian besar harga BBM yang dijual oleh korporasi swasta nasional dan asing telah lebih besar dibandingkan dengan harga jual BBM oleh BUMN Pertamina.  

Namun, alasan ini tidak bisa dijadikan pembenaran (justifikasi) oleh pemerintah serta merta menaikkan harga BBM bersubsidi ditengah tingginya angka inflasi Triwulan II 2022 (sesuai data BPS) sebesar 3,34 persen. Padahal, diwaktu yang sama pada Tahun 2021 inflasi hanya sebesar 1,52 persen, dan khusus bulan Juli 2022 inflasi telah mencapai sebesar 0,64 persen sehingga berpotensi menuju angka berganda (double digit).

Apalagi melalui desakan banyak pihak yang membandingkan harga jual jenis BBM bersubsudi oleh Pertamina terhadap harga jual BBM korporasi lain yang  juga pengelolaan kebijakannya berada dalam penguasaan negara masing-masing. Seperti halnya perusahaan Migas  Petronas milik Malaysia dan perusahaan milik negara Brunei Darussalam, Brunei Shell Petroleum (BSP) yang berpatungan dengan Shell Petroleum Group menjual harga BBM lebih murah tanpa mengetahui faktor penyebab kemurahannya.

Sangat naif rasanya publik menilai murahnya harga BBM pada kedua perusahaan tersebut tanpa mengenal lebih jauh model pengelolaan minyak dan gas bumi dan konsep harga (pricing concept) yang diterapkannya. Jelas ini bukanlah perbandingan yang sejajar (Apple to Apple).

Lebih dari itu, sampai dengan bulan Agustus 2022 ini, Pertamina tidak bisa menyampaikan secara terbuka berapa Harga Pokok Produksi dari minyak mentah yang diolah menjadi bensin & solar (Pertalite, Pertamax, Pertamax Dex, Pertamax Turbo dll).

Jika Indonesia memang masih bisa memproduksi minyak 700-800 ribu barrel/hari dan melakukan impor atas kekurangan konsumsi 1,6 juta barrel/hari sejumlah 700-800 ribu barrel/hari, lalu apa alasan penentuan harga jual BBM ke konsumen harus menggunakan harga keekonomian internasional? Apalagi, jika kemudian pemerintah memaksakan kebijakan kenaikan harga BBM tetap dijalankan, tidak saja akan menambah angka laju inflasi, bahkan juga pengangguran dan kemiskinan.

Alih-alih bisa memecahkan kelebihan kuota atas BBM subsidi yang dialokasikan pada APBN bisa teratasi, justru permasalahan beban subsidi akan terjadi kembali jika perangkat pengendalian dan pengawasan atas penerima manfaatnya tidak jelas seleksi kriterianya.

Oleh karena itu,  terkait BBM bersubsidi agar tepat sasaran, maka pemerintah tidak bisa hanya melakukan anjuran verbal melalui pernyataan oleh otoritas yang berwenang. Beban alokasi yang sedemikan besar bengkaknya harus diatasi melalui kebijakan yang komprehensif.


Tidak bisa diharapkan hanya dengan anjuran agar konsumen masyarakat membeli BBM bersubsidi dan melarang bagi yang tidak berhak. Tapi, lebih jauh dari itu sudah harus dirumuskan secara rinci (detail) kepada seleksi kriteria para pihak atau orang dan kendaraan seperti apa secara alokatif berhak menerima subsidi BBM sekaligus menghapuskan terminologi kuota yang secara gramatikal prakteknya diselewengkan! Inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius (concern) Presiden Joko Widodo terkait kemana arah beban yang dimaksud mengalirnya? *

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi , alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 

Tags Defiyan CoriBagikan

Related Stories