Happy Salma: Sastra Bentuk Karakter Manusia

Happy Salma (tengah) dan Made Adnyana Ole (kanan) dalam Rembug Sastra Sarasastra Yayasan Janahita Mandala Ubud, yang digelar belum lama ini.

Gianyar, Balinesia.id - Artis ternama Indonesia, Happy Salma, memandang sastra tidak hanya penting bagi seorang sastrawan dan penikmat sastra. Sastra juga wajib diketahui oleh masyarakat umum, sebab sastra merupakan cermin hidup.

Hal itu dinyatakan Happy Salma ketika menjadi narasumber dalam gelaran Rembug Sastra Sarasastra bertajuk "Manifestasi Sastra dalam Rimba Kesenian” yang diinisiasi Yayasan Janahita Mandala Ubud secara daring, akhir pekan lalu. Pada acara tersebut juga menghadirkan sastrawan Bali, Made Adnyana Ole.

“Nyastra bukan harus jadi sastrawan. Mencintai sastra itu untuk membentuk karakter kita, orang yang dekat dengan sastra akan menjadikan sastra sebagai kontemplasi hidup,” katanya.

Sementara itu, sebagai seorang pelaku seni, Founder Titimangsa ini mengatakan bahwa praktik alih wahana, yakni membawa karya sastra ke panggung kesenian, juga menjadi praktik yang biasa. Justru, melalui alih wahana itu, spirit sastra bisa dirawat di ruang hati masyarakat.

"Spirit sastra dapat dibawa ke ruang-ruang lain. Sastra bisa dialih wahana, bisa dibawa ke akustik, panggung, kita bisa menginterpretasikan ke ruang-ruang lain. Meski agak sulit kemudian secara teknis membutuhkan interpretasi lebih, tapi ini dibutuhkan,” katanya.

Hal senada dinyatakan Adnyana Ole. Ia mengatakan, ketika para dramawan Yogyakarta belakangan ini ramai-ramai melakukan aktivitas pembacaan dramatik, sebagai salah satu upaya membawa sastra ke ruang berkesenian, Bali justru telah melakoni itu sejak lama. Hal ini tampak pada praktik menyanyikan geguritan. Geguritan adalah karya sastra tradisional, namun kemudian dinyanyikan menurut metrum yang membangunnya.

“Pada tahapan selanjutnya geguritan juga tidak saja dinyanyikan, tapi dibawa ke bentuk-bentuk lain, misalnya teater. Pelaguan geguritan hingga saat ini bertahan di kelompok praktisi bernama sekaa santi. Banyak sekaa santi kemudian berkembang  menjadi kelompok pertunjukan yang bisa ditonton, demikian juga meluas menjadi sekaa arja negak (arja duduk)," katanya.

Kelompok sekaa santi melakukan pembacaan karya sastra dengan mengambil cerita yang lebih banyak serta melibatkan banyak orang untuk memerankan tokoh-tokoh dalam cerita.  Mereka pada akhirnya bisa berkembang menjadi sekaa arja di tas panggung, dengan dilengkapi tarian, nyanyian, dan aksi teatrikal lainnya.

"Sastra modern dapat mengambil napas dari sastra tradisi itu, sehingga menjadi sebuah ekosistem global yang sustainable. Dengan demikian, ingatan atau pemahaman karya sastra tidak hanya menjadi milik sebagian orang namun diupayakan menjadi ingatan kolektif," katanya. jpd

Bagikan

Related Stories