Ekonomi & Pariwisata
Fenomena Career Escape: Saat Pekerja Muda Pilih Rehat dari Kantor Konvensional
JAKARTA – Fenomena career escape kian populer di kalangan generasi muda Indonesia. Daripada menetap dalam pekerjaan kantoran konvensional di dalam negeri, banyak dari mereka kini lebih tertarik menempuh jalur non-tradisional seperti bekerja untuk perusahaan asing, menjadi freelancer, atau melanjutkan studi ke luar negeri sebagai langkah awal menuju karier internasional.
Career escape dalam konteks pekerjaan merujuk pada periode waktu di mana seseorang mengambil jeda dari pekerjaan mereka untuk melakukan sesuatu yang berbeda atau mengejar tujuan lain di luar karier profesional mereka. Ini bisa berupa cuti panjang atau bahkan perubahan karier yang signifikan.
Fenomena ini bukan sekadar soal gaji. Di baliknya, ada cerita tentang kebebasan, fleksibilitas, pencarian makna hidup, dan tentu saja ketidakpuasan terhadap sistem kerja tradisional.
- Didukung BRI, Usaha Sambal Rumahan Berhasil Ekspansi ke Pasar Global
- Menguak Skema De Minimis, Celah Perdagangan yang Dimanfaatkan E-Commerce China
- BRI Yakin Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih Mampu Dorong Ekonomi Kerakyatan
Fanny (26), asal Bandung, baru saja memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai jurnalis di sebuah media besar Indonesia. Alasannya saat itu, ia sedang bersiap melanjutkan studi master di Amerika Serikat (AS) dan tak sanggup berbagi peran sembari bekerja. Akhirnya ia memutuskan untuk rehat secara karier untuk meraih mimpinya itu.
“Uang penting, tapi yang lebih penting adalah peluang. Di luar negeri, gelar master bisa langsung bikin aku naik kelas karier, plus koneksi global. Kalau di sini, seringnya kerja keras enggak langsung dihargai,” kata Fanny kepada TrenAsia.id pada Selasa, 22 Juli 2025.
Baca Juga: Work-life Balance: Investasi Penting untuk Kesehatan dan Karier
Namun setelah melewati serangkaian proses rehat dan mempersiapkan pendidikannya, Fanny merasa backup plan pekerjaan juga penting jadi penunjang selama career break dan freelance jadi jawabannya.
Rehat dalam karir juga dirasakan Faisal (25), mantan jurnalis dari Surabaya, kini bekerja penuh sebagai copywriter freelance untuk startup teknologi berbasis di Jerman. Ia mengaku tidak menyesal keluar dari pekerjaan kantoran yang selama ini memberinya rasa aman, tapi tidak sejalan dengan gaya hidup dan ambisi kariernya.
“Dulu aku kerja 9 to 5 tapi ngerasa enggak pernah cukup. Gaji pas-pasan, kreativitas dibatasi, cuti susah, dan stres terus. Sekarang kerja dari mana aja, jam fleksibel, dan fee-nya bisa tiga sampai lima kali lipat dari dulu,” ujar Faisal.
Faisal menyebut komunitas digital seperti Discord dan LinkedIn membantu dia membangun portofolio dan koneksi global. “Dunia udah tanpa batas, kenapa harus terkurung di sistem kerja lama yang enggak menghargai kita?” tanyanya.
Tantangan Career Escape
Namun career escape bukan tanpa tantangan. Adaptasi budaya, kerja lintas zona waktu, hingga risiko tak punya jaminan karier jangka panjang jadi pertaruhan yang harus dipikirkan matang.
Bagi Fanny dan Faisal, hidup adalah tentang punya kendali dan bisa menentukan arah sendiri. Career escape bukan berarti lari dari tanggung jawab, tapi justru berani mencari ruang yang lebih sesuai dengan value dan ambisi.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota besar. Berdasarkan riset dari Digital Nomad Index dan data freelancer Indonesia, semakin banyak Gen Z dan milenial mapan yang mengejar kebebasan kerja dan pertumbuhan diri, bukan semata gaji tinggi.
Beberapa alasan kuat mereka ikut career escape:
- Ingin kerja fleksibel dan remote
- Tidak percaya dengan sistem promosi kerja yang hierarkis
- Merasa tidak punya ruang untuk berkembang di kantor
- Ingin koneksi global dan pengakuan internasional
- Terlalu sering burnout karena tuntutan kerja kantor
- Merasa lebih dihargai di luar negeri sebagai profesional
Tren ini juga didorong oleh pesatnya platform remote work seperti Upwork, Fiverr, Toptal, hingga rekrutmen langsung via LinkedIn.
Pergeseran ini mengubah cara kita memandang kesuksesan karier. Bukan lagi soal kantor besar, meja pribadi, atau jabatan panjang di kartu nama. Tapi soal otonomi, nilai diri, dan relevansi global.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 22 Jul 2025
